3 Pejabat Sekretariat Komisi XI DPR dan Kadiv Program Sosial BI Dipanggil KPK terkait Suap CSR


Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil tiga pejabat Sekretariat Komisi XI DPR RI untuk menjalani pemeriksaan hari ini sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penyaluran dana CSR Bank Indonesia (BI).

Ketiga pejabat tersebut yakni: Ageng Wardoyo, Kepala Subbagian Rapat Sekretariat Komisi XI DPR RI; Anita Handayaniputri, Kepala Bagian Sekretariat Komisi XI DPR RI; dan Sarilan Putri Khairunnisa, Kepala Bagian Sekretariat Komisi XI DPR RI.

“Menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait penyaluran dana PSBI (Program Sosial Bank Indonesia),” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa (17/6/2025).

Selain ketiga pejabat tersebut, KPK juga memeriksa Hery Indratno, Kepala Divisi PSBI – DKom Bank Indonesia. Seluruh saksi diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” ujar Budi.

Satori dan Heri Gunawan

Sebelumnya, dua anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024 diduga terlibat dalam kasus ini, yakni Satori (S) dari Fraksi NasDem dan Heri Gunawan alias Hergun (HG) dari Fraksi Gerindra. Keduanya telah diperiksa oleh KPK pada Jumat (27/12/2024), namun belum ditetapkan sebagai tersangka karena penyidik masih mendalami alat bukti.

KPK menduga telah terjadi praktik suap dalam penyaluran dana CSR BI yang mengalir ke kantong pribadi anggota DPR, termasuk Satori dan Hergun.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa dana CSR dari BI disalurkan melalui yayasan-yayasan yang terafiliasi dengan oknum anggota DPR, termasuk kerabat dan keluarga dari Satori maupun Hergun. Dana tersebut tidak langsung masuk ke rekening pribadi.

“Jadi begini, BI memiliki CSR. Tapi, CSR itu tidak langsung kepada orang, kepada person. CSR itu harus melalui yayasan. Harus melalui yayasan,” ujar Asep kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, dikutip Jumat (21/2/2025).

Menurut Asep, karena dana CSR tersebut diberikan kepada Komisi XI DPR, Satori dan Hergun kemudian mendirikan yayasan sebagai perantara untuk menampung aliran dana tersebut.

“Jadi setiap orang, karena ini juga memang diberikan kepada Komisi XI, di mana Saudara S ini ada di situ, ini masih termasuk juga Saudara HG ya, itu yayasannya, jadi membuat yayasan. Kemudian melalui yayasan tersebutlah uang-uang tersebut dialirkan,” jelasnya.

Dana CSR yang telah dicairkan ke yayasan milik orang-orang terdekat mereka kemudian ditransfer kembali ke rekening pribadi melalui modus nominee.

“Yang kami temukan, yang penyidik temukan selama ini adalah, ketika uang tersebut masuk ke yayasan, ke rekening yayasan, kemudian uang tersebut ditransfer balik ke rekening pribadinya, ada yang masuk ke rekening saudaranya, ada ke rekening orang yang memang nomineenya mewakili dia,” ujar Asep.

Dana tersebut lalu digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset properti.

“Setelah itu, dia tarik tunai, diberikan kepada orang tersebut, dan dibelikan properti, kepada yang lain-lain, menjadi milik pribadi, tidak digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial,” ungkap Asep.

Untuk menutupi aliran dana tersebut, pihak yayasan membuat laporan fiktif seolah-olah seluruh dana CSR digunakan untuk kegiatan sosial sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Bank Indonesia.

“Tidak keseluruhannya tapi, tetap ada kegiatan sosialnya, ada, tapi itu hanya digunakan untuk kamuflase untuk laporan. Jadi dari 10 misalkan, 10 bikin rumah dikerjakan misalkan 3. Nah itu digunakan untuk laporan. Jadi tetap karena BI juga menerima meminta laporan,” pungkasnya.