Kanal

Akankah Prabowo Loyal Sebagai “Petugas” Jokowi?


Mengingat besarnya peran Jokowi, bisa jadi Prabowo meneruskan loyalitasnya dan menjadi “petugas Jokowi”. Namun bukan tak mungkin ia tak sepenuhnya loyal. Katakanlah, Prabowo misalnya menangguhkan pekerjaan besar berbiaya berat membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) karena seretnya keuangan negara. Sementara ia pun punya janji sendiri kepada rakyat: makan siang gratis, yang biayanya tak kalah bikin puyeng.

Oleh    :  Darmawan Sepriyossa

Tak sabar dengan pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pasangan mana yang memenangi Pilpres 2024 yang masih puluhan hari di muka, sebagian kelompok masyarakat tampaknya sudah mulai menyebar “Susunan Kabinet Prabowo-Gibran 2024-2029”.

Pada daftar yang mulai berseliweran di medsos sejak Sabtu (17/2) itu, hadir muka-muka lama seperti Tito Karnavian, Erick Thohir, Zulkifli Hasan, Sandiaga Salahudin Uno, Moeldoko, Yusril Ihza Mahendra, Retno L.P. Marsudi dan Yahya Kholil Tsaquf. Nama-nama lainnya, meski sudah dikenal publik, relatif bisa dikatakan baru untuk posisi menteri dan pejabat setingkat menteri, seperti Benny Kabur Herman, Thomas Mulyatna Djiwandono, Asep Saifuddin Chalim, Nachrowi Romli, Boy Rafli Amar, Grace Natalie, Budiman Sudjatmiko, bahkan Fadli Zon yang disebutkan akan duduk sebagai kepala Staf Kepresidenan.

Tentu saja, kita baru bisa menyebut daftar apa pun saat ini sebagai “Daftar Harapan”, yang diuar-uar kelompok yang berharap nama-nama tersebut bisa dilirik presiden terpilih nanti. Cara ini, sebagaimana kebiasaan lima tahun sekali, biasanya melengkapi sekian banyak usulan berbagai kelompok masyarakat, organisasi profesi dsb, yang disampaikan secara pribadi kepada calon yang potensial memenangkan kontestasi.

Akan halnya daftar yang sudah beredar luas itu, ada hal-hal yang dengan segera bisa kita kritisi. Misalnya, dengan gampang kita semua bisa meneroka dari (kelompok masyarakat) mana daftar itu datang. Kedua, tidakkah daftar itu terkesan “Jokowi heavy” alias terlalu kental dengan kepentingan Jokowi dan lingkaran Presiden selama ini?

Benar bahwa sukar untuk menafikan peran signifikan Jokowi untuk—kalau kemudian dinyatakan resmi—memenangkan Prabowo dan mengantarkannya langsung ke kursi presiden. Benar pula kita sering mendengar bahwa Prabowo adalah sosok yang konon tak pernah melupakan budi baik orang. Tentu, sebagai orang yang belum pernah mengalaminya, saya tetap harus memakai kata “konon” untuk hal itu.

Tapi justru karena sifat tersebut, Prabowo kecil kemungkinan melupakan peran partai politik yang selama ini signifikan menyokongnya di Koalisi Indonesia Maju, maju ke Pilpres dan –katakanlah—mungkin ia terpilih nanti. Partai Golkar, terutama. Siapakah yang menggantikan dukungan suara presidential threshold manakala Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meninggalkan Koalisi Indonesia Maju (KIM)? Sebagai pemilik 85 kursi DPR atau 12,31 persen suara, Partai Golkar dengan segera menambal kebocoran 9,69 persen suara akibat keluarnya PKB dari koalisi. Tentu saja, banyak lagi peran Golkar dalam perjalanan perjuangan KIM meraih kursi presiden, yang tidak pada tempatnya diulas panjang di sini. Namun yang jelas, argumen signifikannya peran Partai Golkar itu perlu diangkat di sini, mengingat “Daftar Harapan” Susunan Kabinet Prabowo yang beredar sejak kemarin dulu itu seolah menafikan fakta tersebut.

Akankah Prabowo tetap loyal kepada Jokowi?

Bagi saya, ini pertanyaan menarik sekaligus pula akan membuka ‘identitas asli’ Prabowo. Langkah-langkahnya ke depan sebagai presiden—andaikata ia resmi terpilih—dalam urusan ini akan menentukan sikap, atau paling tidak cara pandang umat Islam Indonesia, terutama para pemilih loyal Prabowo pada dua Pilpres berturut-turut, 2014 dan 2019, kepada Prabowo.

Tentu saja dari banyak kemungkinan, ada dua hal mendasar yang memiliki oportunitas tinggi untuk terjadi, apa pun alasannya. Pertama, Prabowo akan senantiasa loyal dan meneruskan semua kehendak (dan warisan pekerjaan)  Presiden Jokowi. Yang kedua, tentu saja sebaliknya.

Yang pertama tentu dilandasi utang budi Prabowo kepada Jokowi. Bagaimanapun secara kasat mata dan menafikan hal-hal di luar pengetahuan publik soal Pilpres 2014 dan 2019, ambisi Prabowo menjadi presiden paling besar berpeluang terpenuhi dengan bantuan Jokowi. Persoalannya, Prabowo adalah politisi kawakan dan semoga saja seorang negarawan. Ia akan tahu dan cerdas membedakan mana urusan pribadi dan mana persoalan krusial bagi negeri. Utang budi, apa pun itu, tentu harus diletakkan di bawah kepentingan rakyat dan bangsa yang jelas lebih besar. Ketepatan, kejelian dan tentu saja kecerdasan Prabowo menentukan mana yang hanya urusan pribadinya, dengan mana urusan negara yang mendesak dan urgen, akan menentukan bagaimanana sejarah mencatat dirinya. Untuk tokoh dengan usia se-“ashar” Prabowo, kita tentu berharap ia akan dicatat sejarah sebagai negarawan.

Yang kedua, andai saja Prabowo tak sepenuhnya loyal, yang dibuktikan dengan tidak meneruskan sebagian atau bahkan seluruh warisan kerja Jokowi. Katakanlah, Prabowo misalnya menangguhkan diteruskannya pekerjaan membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) karena kondisi perekonomian negara tak memungkinkan. Apalagi Prabowo sendiri pun puna agenda besar berbiaya “segede gaban” yang harus ditunaikan, yakni makan siang gratis.

Peluang untuk itu cukup besar dihadapkan dengan seretnya keuangan Indonesia saat ini. Konon, menurut seorang sumber yang banyak terlibat dengan politik tingkat tinggi negeri ini, saat ini ada 40-an jembatan di Jawa yang harus diperbaiki, atau bahkan diganti. Umur jembatan-jembatan yang sangat berpengaruh terhadap ekonomi dan kehidupan social warga itu harus diopeni karena rata-rata sudah berusia di atas 40 tahun. Sementara kita tahu, kondisi keuangan Indonesia tengah tidak baik-baik saja, kalaupun tak boleh disebut meriang demam.

Komposisi kabinet sebagai penera

Telah saya katakan di atas, sikap Prabowo terhadap Jokowi ke depan ini akan sangat menentukan cara pandang bagian umat Islam yang memilihnya pada Pilpres 2014 dan 2019. Bagaimanapun sukar menafikan bahwa kalangan ini masih (saja) memandang masuknya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi pada 2019, dan hubungan keduanya setelah itu, sebagai—maaf—tindak khianat.

Sejauh ini, ada bagian dari kalangan itu yang masih memegang sikap baik sangka (husnuz dzan), dengan memandang pindah jalurnya Prabowo itu sebagai strategi, setidaknya taktik. Bagian kalangan ini pula yang selama ini berusaha membesarkan isu tersebut kepada mereka yang cenderung mengambil pilihan “hitam-putih” tersebut.

Artinya, sikap Prabowo ke depan seandainya ia resmi terpilih itu, juga akan menjadi pembuktian bagi kalangan tersebut. Boleh jadi, bahkan mereka akan melupakan apa yang bergulir selama lima tahun terakhir, seandainya Prabowo menunjukkan apa yang meyakinkan mereka.

Pembuktian pertama tersebut tampaknya adalah penyusunan kabinet Prabowo. Bagaimana komposisi kabinet, siapa orang-orang yang mengisi, bagaimana proporsinya terhadap kepentingan unsur-unsur yang ada di KIM serta kepentingan Jokowi, relatif akan menjawab bagaimana posisi Prabowo terhadap Presiden Jokowi. Apakah ia akan menjadi “petugas Jokowi” seperti selama ini ia tegaskan di banyak kesempatan? Sebagaimana kita tahu, berkali-kali Prabowo menegaskan loyalitasnya itu. Setidaknya dua kali ia menyatakan hal tersebut, yakni pada saat mendeklarasikan diri sebagai calon presiden di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (13/8/2023). Yang kedua di kediamannya, Jalan Kertanegara Nomor 4, Jakarta Selatan, Sabtu (18/11/2023).

Namun tentu saja menjadikan komposisi kabinet awal ini bukankah penera yang kokoh. Kita tahu, saat itu Jokowi masih seorang presiden, dan dalam keterbatasan pengetahuan penulis, boleh jadi ia masih punya kekuasaan yang kokoh untuk menekankan kehendak. Boleh jadi, Prabowo pun masih menghitung itu, meski jangan dilupakan pula bahwa mungkin saja sebagai calon presiden—yang mungkin—terpilih, Prabowo bisa memainkan peran tersebut secara maksimal.

Yang lebih fair tentu melihatnya setelah Oktober mendatang, manakala calon terpilih telah dilantik. Bila memang Prabowo yang resmi dinyatakan menang, setelah dilantik itu kita bisa melihat siapa sejatinya ia. Bukankah mungkin saja ia mengubah komposisi kabinetnya di saat-saat akhir? Jangan lupa, negeri ini telah punya pengalaman seperti itu. [dsy]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button