Anak Buah Sebut Pakai AI, Pengacara Hasto Klaim Pledoi Tulis Tangan

Beda pernyataan antara anak buah Hasto, Guntur Romli dengan pengacaranya Febri Diansyah, soal pledoi yang dibuat oleh terdakwa korupsi Hasto Kristiyanto. Guntur sebut pakai kecerdasan buatan (AI), Febri klaim tulis tangan.

Sekjen PDIP itu disebut telah menyiapkan dua nota pembelaan (pledoi) yang akan dibacakan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).

Adapun pleidoi pribadi Hasto ditulis tangan selama ditahan di Rutan Merah Putih KPK dan setebal 108 halaman. Sedangkan pleidoi dari tim penasihat hukum disertai lampiran bukti dengan total 3.550 halaman.

“Nanti ada dua pleidoi yang akan dibacakan, satu pleidoi pribadi Pak Hasto yang ditulis tangan selama di Rutan Merah Putih dan satu lagi dari tim penasihat hukum,” kata salah satu kuasa hukum Hasto, Febri Diansyah, melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis (10/7/2025).

Dalam sidang tersebut, anggota tim kuasa hukum Hasto lainnya, Maqdir Ismail, meminta majelis hakim menegakkan keadilan. Ia menyebut tuntutan tujuh tahun penjara dari jaksa tidak masuk akal dan terkesan dipaksakan.

“Semoga majelis hakim diberi keteguhan sikap untuk menegakkan kepastian hukum dan keadilan,” tegas Maqdir.

Dia berharap hakim dapat mendengarkan dengan seksama argumen yang disampaikan dan menjatuhkan vonis bebas terhadap Hasto.

“Doa kami semoga hakim diberi keteguhan sikap untuk menegakkan kepastian hukum dan keadilan,” harapnya.

Sementara itu, kuasa hukum lainnya, Todung Mulya Lubis, menegaskan bahwa dalam pleidoi akan uraikan sembilan pelanggaran dalam proses perolehan alat bukti yang dianggap melanggar prinsip due process of law.

“Hal ini kami harap menjadi perhatian serius bagi majelis hakim dan mengesampingkan alat bukti yang diperoleh secara tidak sah. Karena penggunaan alat bukti seperti itu dapat mencederai integritas peradilan,” ujar Todung.

Kuasa hukum Hasto lainnya, Ronny B. Talapessy meminta kliennya dibebaskan. Ia seirama dengan Hasto yang memainkan gendang kriminalisasi dalam proses hukum ini.

“Oleh karena itu, menurut hemat kami adalah layak kalau majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan,” pungkas Ronny.

Sebelumnya, Guntur Romli, mengungkapkan bahwa Hasto menyusun pleidoi tersebut dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dari dalam rumah tahanan KPK.

“Ini akan menjadi pleidoi pertama di Indonesia yang memadukan antara AI dan fakta-fakta persidangan, falsafah hukum, dan nilai-nilai yang diperjuangkan sesuai dengan morality of law,” ujar Guntur saat membacakan surat tulisan Hasto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/6/2025).

Menanggapi tuntutan tujuh tahun penjara dari jaksa, Hasto mengaku tidak terkejut. Ia menilai kasus yang menjeratnya sarat muatan politik, terutama akibat sikap kritisnya terhadap Pemilu 2024 dan dugaan keterlibatan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Jadi kita sudah mendengarkan bahwa saya dituntut 7 tahun dan apa yang terjadi ini sudah saya perkirakan sejak awal. Ketika saya memilih suatu sikap politik untuk memperjuangkan nilai-nilai dan demokrasi, memperjuangkan hak kedaulatan rakyat, memperjuangkan Pemilu yang jujur dan adil, serta memperjuangkan supremasi hukum agar hukum tidak digunakan sebagai alat kekuasaan,” kata Hasto usai persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025).

Ia tetap memainkan gendang kriminalisasi dan menyinggung kasusnya diadakan karena tekanan kelompok-kelompok yang risih dengan sikap kritisnya.

“Sejak awal saya sudah memperhitungkan risiko-risiko terhadap kriminalisasi hukum oleh kekuasaan. Meskipun hal tersebut tadi tidak diakui, tetapi fakta-fakta menunjukkan bahwa dari suara-suara civil society menunjukkan mereka yang kritis saat itu memang ada suatu tekanan dengan menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan,” jelasnya.

Ia menyebut pleidoi telah disusun dan tinggal disesuaikan dengan tuntutan jaksa.

“Pleidoi nanti dipersiapkan dan buat saya sudah 80 persen, tinggal menyesuaikan dengan tuntutan JPU hari ini,” ungkap Hasto.

Dalam surat tuntutan, JPU KPK menuntut Hasto dengan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa menyebut Hasto tidak mengakui perbuatannya dan tidak mendukung pemberantasan korupsi sebagai hal yang memberatkan. Namun, sikap sopan selama persidangan serta catatan hukum yang bersih menjadi pertimbangan yang meringankan.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 7 tahun,” kata Jaksa KPK, Wawan Yunarwanto, saat membacakan tuntutan.

Wawan menjelaskan, tuntutan tersebut didasarkan pada alat bukti yang terungkap di persidangan, bukan sekadar pengakuan terdakwa.

“Penuntut umum meyakini kebohongan di masa saat ini adalah hutang kebenaran di masa akan datang. Yang perlu menjadi catatan, untuk membuktikan perkara ini, penuntut umum tidak mengejar pengakuan terdakwa, tetapi lebih mengacu pada alat bukti yang telah terungkap di persidangan,” jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa tuntutan ini bukan bentuk balas dendam, melainkan bagian dari proses penegakan hukum.

“Bahwa tuntutan pidana ini bukanlah merupakan sarana balas dendam, melainkan suatu pembelajaran agar kesalahan-kesalahan serupa tidak terulang di kemudian hari,” tegasnya.

Dalam perkara ini, Hasto didakwa melanggar Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, junto Pasal 65 ayat (1) KUHP, serta Pasal 5 ayat (1) huruf a junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Ia disebut memerintahkan Harun Masiku menenggelamkan ponselnya saat operasi tangkap tangan (OTT) pada 2020 dan menyuruh stafnya, Kusnadi, membuang ponsel saat pemeriksaan di KPK pada Juni 2024.

Selain itu, Hasto juga didakwa terlibat dalam pemberian suap sebesar Rp600 juta kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan bersama Donny Tri Istiqomah (pengacara PDIP), Saeful Bahri (eks kader PDIP), dan Harun Masiku, melalui mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina. Uang tersebut diduga diberikan untuk mengamankan kursi DPR bagi Harun Masiku melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) periode 2019–2024.