Anggaran Pendidikan Dinilai tak Adil, HISMINU: Banyak Orang Tua Terjebak Pinjol Akibat Biaya Sekolah

Ibnu Medium.jpeg

Jumat, 11 Juli 2025 – 17:53 WIB

Pekerja menyelesaikan renovasi bangunan untuk sekolah rakyat di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (9/7/2025). (Foto: Antara)

Pekerja menyelesaikan renovasi bangunan untuk sekolah rakyat di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (9/7/2025). (Foto: Antara)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (HISMINU) menyatakan keprihatinan atas ketimpangan alokasi anggaran pendidikan nasional, khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah. 

Ketua Umum HISMINU, KH Z Arifin Junaidi, menyoroti bahwa anggaran negara masih belum berpihak pada kebutuhan mayoritas peserta didik di Indonesia.

“Bayangkan, lebih dari Rp100 triliun untuk sekolah kedinasan yang hanya menjangkau 13 ribu mahasiswa. Sementara untuk 60 juta siswa dari SD hingga perguruan tinggi, anggarannya hanya Rp92 triliun,” kata Arifin dalam keterangan yang diterima inilah.com di Jakarta, Jumat (11/7/2025).

Arifin menyebut angka tersebut sangat jomplang, terlebih jika dibandingkan dengan anggaran perguruan tinggi negeri. Bahkan menurutnya, anggaran sekolah kedinasan bisa lima kali lipat lebih besar.

Dana BOSP Dinilai Tidak Cukup

Ia juga menyinggung minimnya dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) yang diberikan pemerintah untuk sekolah-sekolah formal. 

“BOSP SD per siswa hanya Rp940 ribu, SMP Rp1,1 juta, dan SMA/SMK sekitar Rp1,5 juta per tahun. Bandingkan dengan sekolah kedinasan yang bisa mencapai Rp8 miliar per mahasiswa per tahun,” paparnya.

Menurut Arifin, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 seharusnya menjadi momentum pemerintah meningkatkan komitmen anggaran terhadap pendidikan dasar dan menengah, termasuk yang dikelola oleh masyarakat seperti sekolah swasta dan madrasah.

Pinjol Jadi Jalan Pintas Pendidikan

Lebih jauh, Arifin menyampaikan bahwa banyak sekolah swasta di bawah naungan HISMINU—yang sebagian besar melayani kalangan menengah ke bawah—tidak mendapatkan cukup dukungan dari pemerintah. 

Bahkan ia menerima banyak keluhan dari masyarakat dan mahasiswa yang terpaksa berutang demi menempuh pendidikan.

“Setiap tahun ajaran baru, para orang tua dan mahasiswa terjerat pinjaman online (pinjol) untuk biaya pendidikan. Ini fenomena darurat. Artinya, masyarakat selama ini mandiri membiayai pendidikan karena negara belum benar-benar hadir,” tegasnya.

Arifin menutup pernyataannya dengan menyerukan agar pemerintah segera mengevaluasi kebijakan alokasi anggaran pendidikan agar lebih adil, berkeadilan sosial, dan sesuai dengan amanat konstitusi.

Topik
Komentar