Kanal

Anies, Diogenes dan ”Jangan Menghalangi Matahari…”

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Pada suatu pagi yang beranjak siang di Korinthus, Yunani kuno, seorang raja berpengawalan lengkap melangkah menyusuri jalanan berdebu, menghampiri seorang fakir yang tengah berjemur di pinggiran, setengah telanjang.  Raja muda dan gagah itu memperkenalkan diri.”Aku Aleksander yang Agung,” kata dia. Si Fakir, setengah terganggu membalas woles tanpa merasa harus berdiri menghor-mati, menjawab,”Aku Diogenes, sang anjing.”

Adegan itu dicatat tebal dalam sejarah, bahkan dengan mudah, via Google kita mendapatkan lukisan yang menggambarkan peristiwa itu. Kita tahu siapa Alek-sander yang Agung. Adapun si Fakir, ia bernama Diogenes, seorang bankir bangkrut dari Sinope, yang setelah berguru kepada Antisthenes lalu menjadi filsuf yang mengajarkan kemiskinan dan ketidakberpunyaan sebagai pembebasan. Diogenes meneruskan ajaran sang guru, dan sejarah kemudian mencatatnya lebih besar dibanding Antisthenes sendiri.

Tapi bukan itu yang hendak saya sampaikan.  Setelah percakapan yang singkat dan tentunya garing karena ketidakacuhan khas Diogenes, Aleksander bertanya, apa yang ingin Diogenes minta padanya. ”Jangan menghalangi matahari,”kata Diogenes, meminta Aleksander beranjak dari tempatnya.

Setidaknya ada dua interpretasi atas pernyataan Diogenes tersebut; dan tampaknya itu pun interpretasi post-factum. Pertama, memang Si Fakir meminta Aleksander yang Agung bergeser, karena tempatnya berdiri membuat Diogenes yang tengah berjemur terhalangi dari sinar matahari. Kedua, permintaan Diogenes tersebut bisa jadi memiliki makna yang lebih dalam. Berdasar pada kesederhanaan dan laku zuhud yang dilakoni Diogenes, tampaknya ia mengingatkan Aleksander untuk berlaku sederhana, menyesuaikan diri dengan alam, dan terutama, tahu diri. “Jangan menghalangi matahari.”

Peredaran matahari-–demikian pula bulan—adalah hukum besi alam yang tak akan bisa dilawan manusia. “Lasysyamsuyanbaghii lahaa antudrikal qamara wa lallaylu saa biqunnahaar. Wakullun fii falakin yas bahuun. Matahari tidak akan dapat mendahului bulan. Tidak juga malam dapat mendahului siang, dan masing-masing pada garis edarnya, terus menerus beredar,” firman Allah dalam QS Yasin : 40. Alhasil, Diogenes boleh jadi meminta Aleksander untuk tidak terlalu rakus menaklukan sekian banyak wilayah untuk tunduk di bawah kakinya. Untuk belajar bersahaja, dan sadar bahwa pada akhirnya siap rakus yang tak kenal putus tak akan membawa kebahagiaan. Apalagi, kita tahu, garis tebal filosofi Diogenes mempercayai bahwa kebahagiaan justru jauh di seberang kekayaan dan keberlimpahruahan.

“Orang yang paling mulia adalah adalah mereka yang meremehkan kekayaan, pembelajaran, kesenangan, dan kehidupan; menghargai saat kemiskinan, ketidaktahuan, kesulitan, dan kematian di atas mereka,”kata Diogenes suatu ketika. Ketika rekan sesama filsuf, Aristippos, yang hidup enak dengan menghamba raja, menghinanya sebagai pemakan ubi, Diogenes berkata,”Jika engkau sudah belajar hidup dengan makan ubi, engkau tidak perlu hidup dengan menjadi penjilat raja.“

Lalu apa hubungan cerita panjang itu dengan Anies Baswedan dan politik Indonesia saat ini? Setidaknya ia pengingat kita semua untuk tetap percaya bahwa hukum Tuhan– atau katakanlah “hukum alam” agar tak dikatakan sok relijius—senantiasa berjalan kuat dan pasti, tanpa mengenal waktu. Dan salah satu bagian kokoh dari ‘hukum alam’ itu adalah perubahan. “Panta rei”, kata flsuf Yunani lainnya, Heraclitos.  Semua mengalir, segala sesuatu berubah. Termasuk, dalam diskusi kita, perubahan politik.

Banyak pemimpin hebat pada akhirnya harus rela lengser. Paling tidak untuk penghormatan kepada konvensi yang disepakati. Pak Harto pernah berkuasa 32 tahun lamanya. Lebih lama lagi bila kita mengingat Raja Louis XIV yang menguasai Prancis sampai 72 tahun. Atau yang baru saja undur dari pengamatan kita, Ratu Elizabeth II dari Inggris dan Raja Thailand, Bhumibol, yang masing-masing berkuasa selama 70 tahun. Toh, betapa pun mereka diperlukan rakyatnya, ketika entah garis hidup atau pun Konstitusi menyatakan mereka harus turun, itulah yang terbaik. Mereka turun karena ada hukum. Entah itu Konstitusi, atau hukum alam yang paling pasti, kematian.

Jadi, pada siapa pun yang ingin berbakti buat negeri, dan saat ini seolah tengah didukung Semesta untuk menjulang tinggi, mendapatkan simpati dan dukungan warga, sikap negatif yang paling maksimal seharusnya hanya membiarkannya. Upaya menyerimpungnya, membuat sekian banyak hambatan, apalagi berusaha ‘mencelakannya’ dengan sekian banyak cara dan sebab, tampaknya bisa dikatagorikan sebagai cara-cara ‘menghalangi matahari’. Kita bisa berkaca pada masa lalu, di saat Presiden Jokowi juga pernah menapaki langkah-langkah dan peristiwa yang kurang lebih sama pada utas jalan dirinya menuju kepresidenan.

Apalagi, Anies pun bukan persona berbahaya bagi Konstitusi dan Pancasila. Soal perubahan yang digadang-gadangnya sebagai isu, tampaknya Anies dan sekian banyak pemikir di belakangnya juga kaum yang tahu diri. Mereka umumnya golongan yang sadar bahwa sejarah tak bisa disekat-sekat, apalagi dipotong terpisah dari masa sebelum dan sesudahnya.

Anies dkk bukanlah kaum Seniman Gelanggang, alias Angkatan 45 yang percaya bahwa “Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan”. Anies dkk tampaknya bukan golongan yang percaya bahwa untuk membangun sesuatu, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah menghancurkan yang sudah ada menjadi puing, baru membangun yang baru. Tidak.

Anies dkk, setidaknya dari sekian banyak pernyataan publik yang keluar, memang berkehendak untuk membangun kesejahteraan, mengokohkan kedaulatan baik negara maupun individu, serta menegakkan keadilan, baik hukum maupun ekonomi. Tetapi itu tidak dibangun dari nol, karena bagaimanapun bangsa ini sudah tak lagi berada di titik awal perjalanan.

Saya percaya, perubahan yang Anies dkk maksudkan merupakan gabungan dari mempertahankan dan menyempurnakan apa yang sudah baik dan mapan, membangun yang baru dari ketiadaan, meski juga tak tertutup kemungkinan menghilangkan segala hal kotor yang selama ini menjadi daki peradaban. Perubahan yang Anies dkk maksudkan tampaknya bisa disederhakan dalam terma Change, Correcting, dan Continue. Mungkin, karena ini hanya interpretasi seorang warga biasa. Bagi mereka yang berkecimpung dalam ilmu manajemen, perubahan dalam benak Anies tampaknya sejalan dengan konsep Kaizen (continuous improvement) ala Jepang.

Sejatinya, tak ada alasan bagi mereka yang mencintai Republik ini untuk menahan laju Anies Baswedan, atau siapa pun yang terlihat serius ingin membaktikan hidup buat kebaikan bangsa dan negara ini. Apalagi bila hasrat untuk berbakti itu datang dari hati yang tulus, kehendak yang bening serta niat yang jernih.

“Jangan menghalangi matahari,” kata Diogenes. Tampaknya itu bukan hanya untuk Aleksander, melainkan pula kita semua. [dsy]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button