Market

Antara Investasi dan Lingkungan, Walhi Minta Setop Tambang Nikel Pulau Obi

Satu lagi tambang nikel yang menjadi sorotan dari kalangan aktivis lingkungan. Yakni, tambang nikel di Pulau Obi, Maluku Utara yang ‘sukses’ merusak lingkungan.

Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional, Fanny Tri Jambore Christanto mengatakan, pemerintah harus tegas menindak perusahaan yang melakukan kegiatan tambang nikel di Pulau Obi. Diketahui, perusahaan tambang nikel di Pulau Obi adalah PT Harita Group.

Mungkin anda suka

“Langkah penegakan hukum ini ada di pemerintah. Kami telah sampaikan bahwa pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan nikel harus segera diproses. Jika temuan pelanggaran telah nyata, sanksi mulai dari pemberhentian aktivitas dan pencabutan izin menjadi domain pemerintah untuk dilaksanakan,” tegas Rere, sapaan akrab Fanny Tri Jambore Christanto, Jakarta, dikutip Rabu (8/2/2023).

Menurut dia, kasus kerusakan lingkungan akibat pertambangan nikel, bukan kali pertama di Indonesia.  Setidaknya, ada beberapa ancaman dan dampak kerusakan lingkungan yang telah terjadi akibat pertambangan nikel selama ini.

Dari pemantauan dan riset panjang yang dilakukan Walhi, lanjut Rere, menunjukkan adanya daya rusak lingkungan yang besar terhadap rantai pasok industri nikel. Mulai dari munculnya potensi kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan pejuang lingkungan yang tidak ingin tanahnya dirusak tambang nikel. “Dampak besar kepada kelompok rentan akibat industri nikel, serta pelanggaran hukum yang masih dilakukan oleh pelaku industri nikel dari hulu sampai hilir,” jelas dia.

Untuk Pulau Obi, kata dia, penelitian dari Universitas Khairun sebelumnya telah mengindikasikan temuan logam berat pada biota di Perairan Pulau Obi. Bahkan, ada 12 jenis ikan yang teridentifikasi mengandung logam berat nikel.

“Temuan ini telah dipublikasikan secara umum dan saya rasa pemerintah daerah dan pemerintah pusat telah mengetahui dampak-dampak pertambangan nikel. Semua laporan dan bahan catatan dari WALHI telah disampaikan baik secara umum melalui saluran media yang dimiliki Walhi, maupun melalui pertemuan resmi (audiensi, dengar pendapat dan FGD). Sehingga, pilihan eksekusi kebijakannya sekarang ada di tangan mereka,” ungkap Rere.

Selain itu, Rere menyebut, pengaduan terhadap ancaman dan dampak perluasan pertambangan nikel sudah dilakukan dalam berbagai forum audiensi dengan pemerintah. Bahkan, Kementrian ESDM mencatat adanya perluasan tambang nikel yang berada dalam kawasan hutan.

Pada tahun 2021, ungkap Rere, diperkirakan luasan konsesi Pertambangan nikel di Indonesia mencapai 999.587,66 hektare (ha). Di mana, seluas 653.759,16 ha ditengarai berada dalam kawasan hutan. Setahun kemudian, makin parah. Luas tambang nikel di Indonesia terus melebar dengan jor-joran pemberian konsesi tambang nikel, menjadi 1.037.435,22 ha. Di mana, seluas 765.237,07 ha diantaranya berada dalam kawasan hutan.

“Perluasan pertambangan nikel terutama yang berada dalam kawasan hutan akan memperluas deforestasi di Indonesia dan justru akan menambah lepasan emisi gas rumah kaca ke atmosfer, alih-alih berusaha mereduksinya,” ucapnya.

Saat ini, Rere mengatakan Walhi Maluku Utara masih melakukan pendampingan kepada masyarakat di Pulau Obi yang terdampak kegiatan tambang nikel. “Iya kawan-kawan Walhi Maluku Utara terus melakukan penelitian dan penguatan kesadaran pada level tapak,” katanya.

Sementara Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi buka suara soal pertambangan nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Menurut dia, advokasi penambangan nikel di Pulau Obi ditangani langsung oleh Walhi daerah setempat. “Itu teman-teman Walhi Maluku Utara yang dampingin. Secara nasional, Divisi Kampanye Walhi yang monitor,” kata Zenzi.

Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago memastikan, DPR akan mengawal tambang nikel Harita dan industri kendaraan listrik di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. “Kami akan mengawasi. Bahkan, saya akan menyurati Pemda (Gubernur dan Bupati) dan akan saya tembuskan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Siti Nurbaya) maupun Menteri ESDM (Arifin Tasrif) tentunya,” kata Irma.

Menurut Irma, warga yang tinggal di dekat areal tambang nikel, harus pindah ke tempat yang lebih aman. Tentunya, dilakukan atas kesadaran sendiri dengan fasilitas dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. “Pemerintah melalui pemerintah daerah mewajibkan perusahaan menyediakan rumah sakit untuk dipergunakan, baik masyarakat maupun para tenaga kerja,” ujarnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button