APBN 2025: Ambiguitas Efisiensi

Pemerintah membuka tahun 2025 dengan gebrakan besar: efisiensi anggaran senilai Rp 306 triliun. Sebuah angka fantastis yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Dari jumlah itu, Rp 256,1 triliun dipotong dari belanja kementerian dan lembaga, serta Rp 50,6 triliun dari transfer ke daerah. Tapi belum sempat publik memahami arah efisiensi ini, muncul realita yang mengejutkan.

Pada 1 Juli 2025, Pemerintah menyampaikan Realisasi Semester I dan Outlook APBN kepada DPR. Di sana terungkap bahwa defisit anggaran justru melebar sebesar 7,4 persen. Dari rencana awal sebesar Rp 616 triliun menjadi Rp 662 triliun. Aneh bin ajaib. Di saat negara mengumumkan penghematan ratusan triliun, justru defisitnya bertambah. Ini seperti seseorang yang mengaku sedang berhemat, tapi tagihan kartu kreditnya malah melonjak.

Fenomena ini bukan sekadar ganjil, tapi membingungkan publik secara logika fiskal. Alih-alih defisit mengecil, yang terjadi justru pembengkakan. Maka wajar jika muncul pertanyaan di benak masyarakat: sebenarnya efisiensi itu terjadi di mana?

Pemerintah berdalih bahwa penurunan pendapatan menjadi biang kerok. Salah satu penyebabnya adalah pembatalan rencana kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen. Selain itu, kebijakan untuk tidak lagi memasukkan dividen BUMN ke dalam struktur APBN juga turut menekan pendapatan. Tapi benarkah hanya itu penjelasannya?

Jika kita bedah lebih lanjut, target pendapatan negara pada awalnya dipatok Rp 3.005 triliun. Namun outlook Kementerian Keuangan menyebut potensi hanya sebesar Rp 2.865,5 triliun. Artinya ada selisih sekitar Rp 140 triliun. Sementara itu, efisiensi belanja disebut mencapai Rp 306 triliun. Secara kasat mata, angka efisiensi jauh lebih besar dibanding potensi pendapatan yang hilang.

Alih-alih menyesuaikan belanja, yang terjadi justru pengaktifan kembali sebagian besar anggaran yang sebelumnya dibekukan. Pemerintah tercatat telah membuka blokir anggaran efisiensi senilai Rp 134,9 triliun hingga 24 Juni 2025. Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: apakah efisiensi sejak awal hanyalah sandiwara fiskal?

Pemerintah memang punya alasan untuk realokasi. Namun publik tidak diberi ruang untuk mengetahui alasan tersebut secara jelas. Tidak ada penjelasan menyeluruh mengapa anggaran yang sudah dibekukan tiba-tiba diaktifkan kembali. Tidak ada narasi resmi yang menjelaskan bahwa realokasi tersebut memiliki dampak lebih besar daripada rencana awal.

Jika efisiensi tidak berdampak terhadap penurunan defisit, lalu apa sebenarnya tujuannya? Apakah ini sekadar langkah kosmetik agar terlihat serius menahan laju belanja, atau ada agenda lain yang belum dikemukakan secara terbuka? Publik berhak tahu. Karena APBN bukanlah milik segelintir elit di kementerian atau ruang rapat kabinet. Ini adalah anggaran rakyat, dan setiap rupiahnya patut dipertanggungjawabkan.

Bukannya menjelaskan kepada publik, Pemerintah justru seolah menarik diri dari ruang komunikasi yang transparan. Tidak ada konferensi pers khusus. Tidak ada pernyataan resmi yang mengurai logika fiskal di balik semua ini. Informasi yang muncul hanya potongan-potongan kalimat dalam rapat dengan DPR.

Padahal dalam era informasi seperti sekarang, publik menuntut keterbukaan. Ketika efisiensi diumumkan dengan megafon, maka pembukaan blokir anggaran pun harus dijelaskan dengan mikrofon yang sama lantangnya.

Pemerintah memang menyebut ada tekanan dari sisi belanja yang mendesak untuk dibuka kembali. Tapi tanpa transparansi, sulit untuk memverifikasi kebenaran atau relevansi dari tekanan tersebut. Apakah itu untuk subsidi? Proyek prioritas? Atau justru untuk kegiatan yang tidak mendesak tapi punya bobot politik?

Efisiensi tanpa transparansi adalah resep pasti untuk kebingungan. Dan kebingungan fiskal bisa berdampak pada hilangnya kepercayaan publik terhadap tata kelola keuangan negara. Ini bahaya yang tidak bisa disepelekan.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa tahun 2025 adalah tahun transisi politik. Pemerintahan baru tentunya diisi oleh sebagian pejabat baru pula. Bisa jadi efisiensi ini adalah upaya menyiapkan ruang fiskal bagi masa mendatang. Tapi jika demikian, kenapa justru anggaran malah dibuka kembali sebelum semester pertama berakhir?

Jika Pemerintah benar-benar ingin menciptakan dampak positif dari efisiensi, maka seharusnya postur APBN berubah secara nyata. Harus ada penurunan signifikan pada belanja yang tidak prioritas. Harus ada pengalihan pada belanja yang memiliki efek pengganda tinggi terhadap ekonomi rakyat.

Tapi sejauh ini, yang terlihat hanya angka-angka besar. Wacana efisiensi yang muncul tidak terlihat dampaknya di jalan, di rumah sakit, di sekolah-sekolah, atau di pasar tradisional. Rakyat tidak merasakan manfaat dari efisiensi jika harga-harga tetap tinggi, pelayanan publik stagnan, dan proyek-proyek mandek tanpa arah. Justru rakyat makin resah ketika tahu bahwa uang negara terus dibelanjakan, tapi hasilnya tak sampai ke kehidupan mereka sehari-hari.

Aneh bin ajaib jika efisiensi dilakukan, tapi justru defisit anggaran bertambah, belanja dibuka kembali, dan rakyat tak melihat perbaikan layanan publik. Ini bukan hanya membingungkan, tapi juga mencederai akal sehat fiskal.

Pemerintah perlu segera menyampaikan kepada publik tentang arah kebijakan anggaran. Jika memang ada perubahan strategi, realokasi, atau prioritas baru, maka sampaikan secara terbuka. Jangan biarkan APBN jadi dokumen gelap yang hanya bisa dibaca oleh segelintir orang.

Keterbukaan ini penting bukan hanya untuk membangun kepercayaan, tapi juga untuk menjaga legitimasi fiskal. Ketika rakyat merasa dilibatkan, maka kebijakan sekeras apapun bisa diterima dengan kepala dingin.

Pemerintah perlu memastikan setiap kebijakan efisiensi disertai dengan peta jalan realokasi yang rinci dan terbuka. Pemerintah harus menyampaikan ke publik: program mana yang dipangkas, program mana yang diprioritaskan kembali, dan mengapa. Bukan sekadar menyebut “efisiensi” sebagai jargon tanpa isi.

Selanjutnya, Pemerintah juga perlu membangun sistem pelaporan dan pemantauan fiskal berbasis teknologi yang memungkinkan masyarakat ikut mengawasi secara real time. Ini mencakup sistem pelacakan belanja negara, dashboard efisiensi, hingga evaluasi dampak terhadap pelayanan publik. Hanya dengan transparansi dan akuntabilitas yang nyata, maka APBN bisa kembali menjadi instrumen keadilan sosial, bukan sekadar catatan administratif di lembaran negara.