News

Berkaca dari Negara Lain, Hapus Mandatory Spending Ibarat Salah Diagnosa Penyakit

Gonjang-ganjing disahkannya Undang-undang Kesehatan banyak mempersoalkan tentang mandatory spending atau kewajiban belanja untuk sektor kesehatan. Dalam UU kesehatan yang baru, kebijakan ini telah dihapus. Miris memang mengingat di banyak negara, mandatory spending kesehatan menjadi prioritas sebagai bagian dari perlindungan kesehatan warganya.

UU Kesehatan yang baru disahkan di DPR itu telah menghilangkan pasal aturan terkait mandatory spending alias wajib belanja. Padahal sebelumnya dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diatur besarannya 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sesuai Deklarasi Abuja tahun 2001, direkomendasikan agar pemerintah mengalokasikan 15 persen dari anggaran untuk sektor kesehatan.

Kebijakan ini akan menambah beban biaya kesehatan yang ditanggung masyarakat. Hal ini mengingat peningkatan kualitas kesehatan tidak bisa diharapkan kepada program yang dilakukan pemerintah baik pusat maupun daerah. Selain itu, akan mempengaruhi banyak pelayanan dasar di fasilitas kesehatan daerah. Misalnya pemberian makanan bergizi untuk mencegah stunting, penyediaan akses obat, pembiayaan bantuan iuran kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), hingga program edukasi kesehatan.

Sontak saja poin mandatory spending ini menimbulkan protes keras dari banyak kalangan. Hal ini mengingat banyak negara yang berkomitmen mengalokasikan dana untuk layanan kesehatan bagi warganya yang sangat besar.

Mencontoh Amerika Serikat

Mandatory spending kesehatan antara negara-negara dapat bervariasi tergantung sistem kesehatan masing-masing, sumber pendanaan, struktur perawatan kesehatan, prioritas kebijakan, dan kondisi ekonomi. Namun beberapa negara serius dan konsisten dengan mandatory spending untuk sektor kesehatan ini. Amerika Serikat bisa menjadi contoh.

Menurut data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), rasio anggaran kesehatan Amerika Serikat mencapai 17,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2021. Persentase tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan negara-negara lain di dunia. Posisi kedua ditempati Jerman dengan rasio anggaran kesehatan terhadap PDB sebesar 12,8 persen. Kemudian, rasio anggaran kesehatan terhadap PDB di Austria dan Prancis sama-sama sebesar 12,2 persen.

Bagaimana dengan Indonesia? Masih menurut data OECD, rasio anggaran kesehatan terhadap PDB milik Indonesia diketahui hanya sebesar 1,5 persen pada 2021.

Di AS, mandatory spending merupakan pengeluaran wajib merujuk pada bagian dari anggaran federal yang ditetapkan undang-undang dan harus dikeluarkan pemerintah untuk program dan layanan tertentu. Ini berbeda dengan pengeluaran diskresioner, yang dapat diubah atau disesuaikan setiap tahun oleh Kongres. Pengeluaran wajib tidak memerlukan persetujuan legislatif tahunan untuk jumlah yang sama.

Mandatory spending cenderung lebih sulit untuk diubah karena kebanyakan diatur oleh hukum, seperti undang-undang program sosial atau undang-undang yang menetapkan komitmen pemerintah terhadap kewajiban tertentu. Salah satu dari pengeluaran wajib di Amerika Serikat adalah kesehatan.

Sebagian besar dari pengeluaran wajib kesehatan AS terkait dengan program-program Medicare yakni program asuransi kesehatan yang dikelola oleh pemerintah federal AS untuk orang-orang yang berusia 65 tahun ke atas, beberapa individu dengan kecacatan, dan orang dengan kondisi medis tertentu. Ada pula Medicaid yang merupakan program asuransi kesehatan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan keluarga dengan anak-anak.

Program lainnya adalah Children’s Health Insurance Program (CHIP) yang menyediakan asuransi kesehatan bagi anak-anak dari keluarga dengan pendapatan terlalu tinggi untuk memenuhi syarat mendapat layanan Medicaid, tetapi masih membutuhkan bantuan untuk mendapatkan asuransi swasta.

Berikutnya program Veteran Health Care bagi veteran militer AS, termasuk layanan medis, perawatan rawat jalan, dan perawatan rawat inap. Program selanjutnya adalah Indian Health Service (IHS) yang menyediakan layanan kesehatan bagi warga asli Amerika (suku-suku Indian dan Alaska Native).

Yang paling terkenal adalah program Affordable Care Act (ACA) atau lebih dikenal sebagai Obamacare yakni undang-undang yang diberlakukan pada tahun 2010 untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas perawatan kesehatan bagi warga AS. ACA termasuk subsidi untuk membantu orang-orang dengan pendapatan menengah rendah membeli asuransi kesehatan melalui pasar pertukaran asuransi.

Mandatory Spending Penyakit
Presiden AS Barrack Obama menandatangani Affordable Care Act (ACA) atau lebih dikenal sebagai Obamacare untuk menjadi undang-undang pada Mafret 2010. [foto: vox.com]

Kondisi di Inggris

Bagaimana dengan Inggris? Negara kerajaan ini memiliki sistem kesehatan publik yang dikenal sebagai National Health Service (NHS). Pengeluaran kesehatan wajib di Inggris didanai secara penuh oleh pemerintah dan layanan kesehatan yang disediakan secara gratis untuk seluruh penduduknya.

Pengeluaran kesehatan mewakili 12,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2021, sedikit lebih tinggi dari pangsa pada tahun 2020 (12,2 persen). Selama periode ini, pengeluaran perawatan kesehatan tumbuh sedikit lebih cepat daripada PDB.

Sistem perawatan kesehatan Inggris mencakup seluruh populasi yang 79 persen dibiayai publik dari pajak, dan dioperasikan oleh Departemen Kesehatan. Sekitar 20 persen dibayar oleh asuransi nasional, dan pasien swasta serta pembayaran bersama merupakan sisanya.

NHS Inggris mengawasi dan mendanai Kelompok Komisioning Klinis setempat. Ini memberikan perawatan komprehensif, termasuk program skrining pencegahan dan vaksinasi, rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit, perawatan bersalin, perawatan kesehatan mental dan perawatan paliatif.

Semua penduduk Inggris, serta siapa pun yang memiliki Kartu Asuransi Kesehatan Eropa, berhak atas perawatan NHS: perawatan primer sebagian besar gratis. Lainnya menerima perawatan darurat atau infeksi-selektif. NHS Inggris menyediakan perawatan kesehatan gratis untuk semua dan harapan hidup yang lebih tinggi daripada di AS. Kepuasan pasien relatif tinggi, yaitu 61 persen, dibandingkan dengan 29 persen.

Mengapa di Indonesia dihapus?

Mengapa Indonesia mengenyampingkan mandatory spending di sektor kesehatan ini? Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beralasan besarnya belanja untuk kesehatan ini belum tentu berdampak efektif pada kesehatan penduduk Indonesia. Ia mencontohkan mandatory spending besar yang dilakukan pemerintah AS dan Kuba. Namun, rata-rata usia hidup warga di kedua negara itu tidak setinggi seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura.

Menurutnya, lebih fokus kepada program dilakukan sebagai bentuk efisiensi anggaran. Ia mengaku telah banyak menerima laporan kejadian penggunaan anggaran kesehatan yang tak tepat sasaran

Selain itu penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi. “Namun berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal,” kata Menkes Budi Gunadi.

Mandatory Spending Penyakit
Menkes Budi Gunadi Sadikin saat menyampaikan keterangan kepada wartawan dengan didampingi jajaran pejabat Kementerian Kesehatan usai menghadiri Rapat Paripurna RUU Kesehatan di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa, 11 Juli 2023. [foto: Antara]

Risiko bagi sektor kesehatan

Terlepas dari alasan Menkes tersebut, sangat berisiko keputusan untuk menghapus mandatory spending ini. Berbeda dengan negara-negara maju, beberapa indikator Kesehatan di Indonesia masih sangat rendah. Lihat saja data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase usia harapan hidup secara nasional dalam sewindu terakhir sejak 2016 banyak mengalami penurunan. Di samping itu, masih berdasarkan data BPS, setidaknya ada 13,77 persen desa dari sekitar 81.000 desa di Indonesia yang mengalami gizi buruk.

Fokus pemerintah dalam pemberantasan stunting juga masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tertuntaskan hingga saat ini. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan Kemenkes 2022, angka stunting nasional masih di posisi 21,6 persen. Masih diperlukan penurunan angka stunting 3,8 persen per tahun untuk mencapai target 14 persen pada tahun 2024 sesuai dokumen RPJMN 2020-2024. Angka tersebut pun belum diakumulasi dengan angka kekurangan gizi dewasa. Artinya menghapus mandatory spending sama saja dengan memperberat upaya untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.

Alasan pemerintah menghapus mandatory spending kesehatan ini kurang tepat. Analis Kebijakan di Lembaga Administrasi Negara RI Andhi Kurniawan mengungkapkan, kebijakan tersebut bisa membawa pada permasalahan dunia kesehatan di Indonesia menjadi semakin kronis.

“Dengan rencana kebijakan money follow program penganggaran kesehatan akan sulit memastikan alokasi anggaran kesehatan dapat menjadi prioritas, utamanya di pemerintah daerah. Kapasitas fiskal yang rendah membatasi pilihan daerah untuk menjalankan program kesehatan, risiko untuk mengalihkan anggaran ke sektor lainnya cenderung tinggi. Money follow program akan cenderung bias untuk menggantikan mandatory spending di bidang kesehatan,” katanya.

Persoalan kesehatan merupakan hal sensitif bagi bangsa. Jangan sampai salah melakukan diagnosis yang berarti pula salah melakukan pengobatan. Jangan sampai malah ikut menyumbang masalah baru pada sektor kesehatan di Indonesia. Dikhawatirkan pada akhirnya akan mengganggu salah satu indikator utama penilaian Indeks Pembangunan Manusia (human development index) yakni kesehatan masyarakat.

Berapapun anggarannya untuk Kesehatan, seharusnya negara memenuhinya tanpa alasan sebagai bagian dari pemenuhan hak dasar rakyat dan menjamin kualitas hidup masyarakat. Rakyat sehat tentu negara pun akan kuat.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button