Kanal

Catatan Kecil Tentang Sayyid Abdullah Al Haddad, Wali Sufi yang Sangat Dihormati di Indonesia [2]*


“Siapa yang tidak bersungguh-sungguh berpegang pada Al-quran dan Sunnah serta tidak mencurahkan segenap daya-upayanya untuk mengikuti jejak Rasulullah saw., sementara ia mendakwakan dirinya memiliki kedudukan mulia di sisi Allah, janganlah sekali-kali Anda mendengarkan ocehannya ataupun menunjukkan perhatian kepadanya; walaupun seandainya ia mampu terbang di udara, berjalan di atas air, menggulung perjalanan yang jauh, atau menonjolkan kemampuannya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam yang berlaku, keanehan-keanehan seperti itu sering pula terjadi pada setan-setan dari golongan manusia, tukang-tu- kang sihir dan tenung, ahli-ahli nujum, para peramal, dan sebagainya

 

Oleh    : Muhammad Al-Baqir**

Namun demikian, Habib ‘Abdullah al-Haddad tidak selalu bisa membenarkan semua tindakan orang-orang yang selalu disebut sebagai sahabat Nabi saw. Misalnya, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh seseorang dari Yaman (sekarang Yaman Utara) bernama Ahmad ibn Muhammad al-Ghusym al-Zaydi–menurut dugaan saya, ia adalah seorang pengikut syiah Zaydiyah mengenai bagaimana hukumnya orang-orang yang memerangi Sayyidina Ali dan orang-orang yang membunuh Sayyidina Husayn ibn Ali, ia menjawab:

Orang-orang yang diperangi Sayyidina Ali k.w. pada masa khalifahannya, dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok Jamal yakni Zubayr,  Thalhah, dan ‘Aisyah r.a beserta penduduk Bashrah yang memberontak terhadap Sayyidina Ali setelah mereka membaiatnya sebelum itu. Mereka melakukan pemberontakan dengan dalih menuntut balas atas kematian ‘Utsmân ibn Affan r.a., padahal semua orang mengetahui bahwa ‘Ali tidak membunuh ‘Utsmân, tidak me- merintahkan pembunuhan terhadapnya, dan tidak pula ridha atas perbuatan itu. Kalaupun ia menerima baiat dari para pembunuh ‘Utsmân bersama-sama baiat kaum Muslim lainnya dari penduduk Madinah, hal itu semata-mata demi kemaslahatan agama dan kaum Muslim pada waktu itu. Mungkin saja hal ini tidak disadari oleh mereka yang memberontak terhadapnya.

Kedua, kelompok Shiffin, yaitu Mu’awiyah, ‘Amr ibn al- Ash, dan penduduk Syâm. Mereka tidak mau memberikan baiatnya kepada Alî r.a., bahkan memberontak dengan dalih menuntut balas atas kematian ‘Utsmân.

Ketiga, kelompok Nahrawân, yakni kaum Khawarij. Mereka membaiat Alî ra. dan mereka ikut berperang bersamanya. Akan tetapi mereka kemudian memberontak terhadapnya disebabkan merasa kecewa atas keputusan yang dicetuskan oleh kedua orang penengah pada peristiwa Shiffin.

‘Alî ra. tidak bertindak memerangi mereka kecuali setelah menyeru mereka ke arah persatuan dan perdamaian, serta masuk ke dalam ketaatan kepada dirinya sebagai khalifah yang sah. Namun, mereka menolak seruannya. Oleh sebab itu, menurut pandangan kami, ketiga kelompok itu termasuk ke dalam kelompok bughát (yakni kaum aniaya dan zalim) yang ingin menggeser kedudukan khalifah dan memberontak terhadapnya tanpa hak dan alasan yang benar.

Meskipun demikian, siapa saja di antara mereka yang memberontak karena suatu alasan tertentu walaupun bersifat subhat (samar-samar) maka tentu keadaannya lebih ringan daripada mereka yang hanya ingin merebut kekuasaan untuk dirinya sendiri. Allah SWT Mahatahu atas niat dan perasaan hati mereka. Oleh karena itu, demi keselamatan kita, sebaiknya kita tidak usah mencampuri urusan mereka, sambil berkata, “Mereka adalah umat yang telah berlalu. Bagi mereka apa yang telah mereka lakukan; bagi kita apa yang kita lakukan.”

Sementara itu, tentang para pembunuh Husayn ibn Ali ra., kami berpendapat bahwa orang yang membunuhnya, atau yang memerintahkan pembunuhan atas dirinya, atau yang membantunya melakukan pembunuhan atasnya, semuanya termasuk orang-orang yang fasik dan telah keluar dari jalan kebenaran. Allah SWT pasti memperlakukan mereka sesuai dengan keadilan-Nya. Selain itu, haruslah dipahami bahwa dalam pandangan kami, Yazîd tidaklah sama kedudukannya dengan Mu’awiyah. Sebab, Mu’awiyah, bagaimanapun, adalah seorang dari kalangan sahabat. Ia juga tidak meninggalkan salat-salat fardhu dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan sekeji yang dilakukan oleh Yazîd, putranya. Oleh sebab itu, Yazîd tidak syak lagi, adalah seorang fasik. la biasa meninggalkan salat, membunuh orang yang tidak bersalah, berbuat zina, dan meminum khamar. Oleh karena itu. Allah-lah yang akan menghisabnya.” (Keterangan ini tercantum dalam Al-Mukâtabât, jilid I, hlm. 354).

Hal di atas telah disinggungnya pula dalam bukunya yang berjudul “Al-Fushûl al-Ilmiyyah”. Dalam buku tersebut ia menulis: 

“Menurut dugaan, berdasarkan beberapa keadaannya, Mu’awiyah tampaknya menyesali dirinya atas perbuatannya di masa lalu menentang Imam Ali ra. dan memeranginya, sebagaiamana juga orang-orang lainnya yang telah memeranginya seperti ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr ra. Bahkan, Abdullah ibn Umar r.a. pada akhir masa hidupnya amat menyesali dirinya karena tidak ikut berperang untuk membela Ali ra. Namun, semuanya telah menjadi ketetapan Allah SWT yang harus terlaksana.”

 

Beberapa pandangan Al-Haddad tentang Tasawuf

Sebuah mingguan di Jakarta pernah menugaskan beberapa wartawannya untuk membuat laporan tentang mistikisme atau tarekat di Aceh. Di antara yang ditulisnya ialah bahwa di antara pelbagai tarekat yang ada di Aceh, Tarekat Hadd-adiyah yang didirikan oleh Habib Abdullah al-Haddâd dari Yaman adalah salah satunya. Banyak orang yang meskipun tidak ikut tarekatnya mengenal juga Al-Had-dad karena biasa mengamalkan Râtib-nya, yakni kumpulan doa dan zikir yang dibaca pada waktu-waktu tertentu. Ratib Haddad terkenal dan dipercayai sebagai doa selamat dan bermantera. Demikianlah antara lain laporan si wartawan.

Cukup menarik laporan tersebut. Menarik, karena di negeri asalnya sendiri, yakni Hadramaut, tidak dikenal apa yang disebut Tarekat Haddadiyah. Kendati Habib ‘Abdullah al-Haddad memang diakui sebagai tokoh sufi besar, namun ia tidak pernah mendirikan tarekat khusus, dengan upacara-upacara ritual khusus, bagaimana halnya tarekat-tarekat yang dikenal di Hadramaut.

Tasawuf di Hadramaut, terutama di kalangan ‘Alawiyyîn, tidak dapat dikatakan mengikuti tarekat-tarekat tertentu secara ketat. Di samping itu  mereka juga tidak menciptakan tarekat dengan membawa-bawa nama-nama mereka seperti Tarekat Aidarüsiyah, Saqqafiyyah, Haddadiyyah, dan sebagainya.

Kehidupan kesufian yang mereka tempuh, termasuk yang diamalkan oleh tokoh yang sedang kita bicarakan, tidak lain hanyalah memperbanyak amal-amal salih yang bertumpu pada Alquran dan Sunnah yang terang dan jelas; disertai ilmu, sikap wara, keikhlasan, dan kezuhudan sepenuhnya terhadap kemewahan ke hadapan duniawi. Ada kalanya semua itu disertai dengan mengamalkan uzlah (berkhalwat) untuk waktu-waktu tertentu: seminggu, sebulan, ataupun lebih dari itu. Hal itu harus dilakukan bukan karena buruk sangka terhadap kaum Muslim, tetapi semata-mata untuk mencari keselamatan agamanya dari kejahatan diri sendiri, ataupun menyelamatkan kaum Muslim dari dirinya. Di antara syarat-syarat yang ditentukan dalam hal ini ialah tidak meninggalkan salat Jumat atau salat berjamaah, dan tidak pula menelantarkan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Seperti diketahui, kata sufi berasal dari kata kerja shafa yang berarti sesuatu menjadi tersaring jernih. Habib ‘Abdullah pernah ditanya tentang siapa yang patut di sebut sufi. Beliau menjawab, “Sufi ialah orang yang jiwanya jernih karena telah tersaring dari segala kekeruhan duniawi. Hatinya penuh dengan pelajaran dan itibár. Ia tidak pernah merasa butuh kepada manusia karena dia telah merasa cukup dengan Allah saja. Sedemikian remehnya dunia ini dalam pandangannya sehingga sama saja baginya emas dan tembikar.”

Dalam kesempatan lain ia bertutur:

“Seorang sufi yang sebenarnya ialah yang menyaring dan menjernihkan segala tindakan, ucapan, dan semua niat perilak nya dari kotoran-kotoran riya dan segala yang mendatangkan murka Allah. Sesudah itu, ia datang menghadap Allah SWT dengan sepenuh dirinya, lahiriah dan batiniyah, dengan mengerjakan segala ketaatan kepada Allah saja seraya berpaling dari segala sesuatu selain-Nya. Ia pun rela sepenuhnya memutuskan segala ikatan yang mungkin menghalanginya dari upayanya ini, baik berupa harta, keluarga, dorongan nafsu, atau keinginan hati. Ia juga harus memiliki cukup ilmu untuk mengikuti Alquran dan Sunnah serta teladan para salaf. Hanya dengan memenuhi semua persyaratan ini, seseorang dapatdisebut sebagai sufi yang sempurna.” (Al-Mukatabát, jilid 1. hlm. 343).

Berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah serta menjauhi segala macam bid’ah yang buruk dalam agama merupakan hal vang senantiasa ditekankan dalam setiap kesempatan; baik melalui buku-bukunya, surat-suratnya, pesan-pesannya, ataupun ceramah dan ucapannya di muka umum. Di antaranya seperti dikutip di bawah ini dari buku “Thariqah Menuju Kebahagiaan”, halaman 132:

“Bila Anda ingin selalu berada di jalan kebenaran yang tidak ada keraguan padanya, ukurlah semua niat, perilaku, dan ucapanmu dengan Alquran dan Sunnah. Ambil apa saja yang bersesuaian dengan kedua-duanya dan tinggalkanlah apa saja yang bertentangan dengan kedua-duanya. Jangan sekali-kali berbuat bid’ah dalam agama dan jangan mengikuti selain jalan kaum Muslim, agar Anda tidak mengalami kerugian di dunia dan akhirat.”

Kemudian ia melanjutkan lagi:

“Siapa yang tidak bersungguh-sungguh berpegang pada Al-quran dan Sunnah serta tidak mencurahkan segenap daya-upayanya untuk mengikuti jejak Rasulullah saw., sementara ia mendakwakan dirinya memiliki kedudukan mulia di sisi Allah, janganlah sekali-kali Anda mendengarkan ocehannya ataupun menunjukkan perha-tian kepadanya; walaupun seandainya ia mampu terbang di udara, berjalan di atas air, menggulung perjalanan yang jauh, atau menonjolkan kemampuannya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam yang berlaku, keanehan-keanehan seperti itu sering pula terjadi pada setan-setan dari golongan manusia, tukang-tu- kang sihir dan tenung, ahli-ahli nujum, para peramal, dan sebagainya. Yang demikian itu hanyalah merupakan penipuan dari mereka atau justru istidraj dari Allah SWT. Allah SWT akan menangkapnya untuk dihukum sesuai dengan dosa-dosanya. Oleh sebab itu, janganlah Anda tertipu karenanya lalu menganggap keanehan-keanehan seperti itu sebagai karamah (keramat) atau kemuliaan yang dilimpahkan oleh Allah atas diri mereka. [Bersambung]

*Judul dari redaksi. Bahan diambil dari catatan “Kuliah-kuliah Tasawuf” 1993-1997, yang kemudian diterbitkan Pustaka Hidayah, Juni 2000  

**Penulis dan pemikir Islam, ayah dari cendikiawan Muslim Haidar Bagir. Dalam sebuah wawancara, Haidar mengatakan sang ayah adalah seorang Sunni, tetapi memiliki wawasan yang luas dan terbuka. Al Baqir menulis fikih berdasarkan empat mazhab Sunni: Imam Hambali, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Malik. Tetapi memberi tempat juga pada fikih Ja’fari, yang berasal dari Imam Ja’far Ash Saddiq, guru dari Imam Malik dan Abu Hanifah.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button