Kanal

Cita-cita Jadi Bos Media

Don’t hate the media, be the media!

Saya membaca kalimat itu sekitar 20 tahun lalu. Usia saya saat itu 15 tahun, duduk di bangku kelas 3 madrasah tsanawiyah di pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut. Saya ingat waktu itu sekelompok alumni datang ke pesantren dan membawa majalah ‘Retas’ yang diterbitkan Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (PP IRM), sekarang organisasi itu bernama IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah).

Retas, selain maknanya dalam bahasa Indonesia yang keren, melepaskan benang-benang pada jahitan, kata ini juga menjadi padanan untuk kata ‘hack’ yang bermakna ‘cut with rough or heavy blow’, memotong secara kasar. Maka ‘to hack something’ sering diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘meretas sesuatu’, seperti pada konteks meretas komputer atau Internet.

Meretas Inspirasi

Ternyata, Retas, sebagai nama majalah yang saya ceritakan tadi, juga merupakan kepanjangan dari Resistensi Tanpa Kekerasan. Sebuah bagian dari program yang dikerjakan PP IRM pada saat itu bersama The Asia Foundation, Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan (GATK). Pada masanya, di mata pelajar-pelajar muda Muhammadiyah seperti saya, GATK adalah gerakan yang keren. Cutting edge.

GATK bernuansa ‘indie’ dan ‘rebellious’, khas karakter gerakan anak muda pada zaman itu yang menolak kemapanan. Di tengah ‘kemapanan’ kultur pelajar kota yang doyan tawuran dan hedonistik, GATK yang digerakkan anak-anak muda Muhammadiyah menjadi semacam gerakan anti kemapanan.

Majalah Retas yang didesain dengan gaya ‘indie’ menjadi simbol perlawanan itu. Saya sering merasa menjadi santri yang keren jika membawa majalah itu di tangan, seragam sekolah dikeluarkan, dengan earphone di telinga terpasang ke ‘walkman’ yang memutar lagu-lagu Green Day.

Majalah Retas dipimpin oleh sejumlah alumni pesantren saya. Santri-santri keren yang pada saat itu menjadi ‘benchmark’ sekaligus ‘role model’ generasi saya. Pemimpin umumnya saat itu Irfan Amalee (sekarang founder Peace Generation yang sudah mengajarkan gerakan perdamaian ke berbagai penjuru dunia, pimpinan pesantren Welas Asih). Pemrednya Denden Firman Arief (saat ini dosen di sebuah universitas di Bandung). Ketua PP IRM Waktu itu Ahmad Imam Mujadid Rais.

Retas adalah eksepresi idealisme sekaligus perlawanan mereka pada budaya kekerasan. Di sekolah, di rumah, di tengah pergaulan remaja, di masyarakat, kekerasan ternyata ada di mana-mana. Termasuk dalam organisasi yang ‘mapan’ dan seringkali pongah pada bentuk-bentuk ide dan inovasi baru yang sering dianggap merusak kemapanan.

Di mata saya, Retas sebagai majalan adalah bentuk perlawanan itu sendiri. PP IRM sebenarnya punya majalah yang terbit sudah berpuluh tahun, namanya Kuntum. Tapi di mata remaja pada saat itu, termasuk saya, Kuntum begitu ketinggalan zaman dan sangat membosankan. Tidak ada narasi yang menggugah di dalamnya, desainnya ‘so yesterday’. Berbeda dengan Retas. Maka Irfan Amalee, Denden Firman Arief, Ahmad Imam Mujadid Rais, bagi saya adalah para ‘peretas’. Definisi sempurna dari slogan ‘Don’t hate the media, be the media!’ yang saya tulis di awal tadi. Saya terinspirasi oleh Retas.

Menjadi Media Baru

Jangan benci medianya, buat media baru! Terjemahan itu kemudian terpatri kuat di kepala saya. Retas begitu membekas dalam perjalanan saya baik sebagai seorang penulis, aktivis, maupun pencipta. Saya ‘tercerahkan’ ternyata media bisa menjadi ruang untuk mengekspresikan dan memperjuangkan sesuatu.

Saat kelas 1 aliyah, saat giliran angkatan saya menjadi penanggung jawab majalah dinding, saya mengajukan diri menjadi pemimpin redaksi. Saya ingin menumpahkan uneg-uneg dan semua imajinasi saya tentang media di sana. Di masa saya memimpin ‘mading’ di pondok, saya ingin mengubah mading menjadi hal yang sangat penting bagi semua civitas pondok. Semua orang harus membaca ‘mading’, pikir saya. Mulai dari pimpinan pondok sampai santri. Jika perlu, Emak-emak dapur dan laundry, bahkan tukang sapu pesantren, harus membaca mading itu.

Dalam waktu dua bulan, saya mengubah mading pesantren menjadi sebuah medium yang penting. Bukan hanya pilihan-pilihan karyanya yang berkualitas, desain dan pengerjaan mading itu juga dikerjakan secara serius. Santri berbondong-bondong mengantre baca setiap kali ‘mading’ baru terbit. Saat guru atau kepala sekolah, emak dapur atau tukang sapu, atau siapapun membaca di waktu tertentu, termasuk saat jam sekolah atau tengah malam, ada rasa bangga di hati saya. Sering saya sengaja izin dari kelas, sembunyi di asrama dekat mading, hanya untuk mengintip siapa ‘orang penting pondok’ yang diam-diam membaca mading saya.

Naik ke kelas 2 aliyah, giliran angkatan saya mengelola majalah pesantren. Ini majalah betulan karena dicetak sejumlah seluruh santri dan wajib dibeli orangtua. Saya kembali menjadi pemimpin redaksi. Pelopor tradisi jurnalisme dan media di pondok saya adalah Irfan Amalee yang saya ceritakan tadi, terpaut 11 tahun dengan saya. Dialah yang pertama kali membuat majalah PesanTREND di pondok saya. Majalah santri yang gaul pada masanya.

Namun, saat itu saya merasa PesanTREND sudah ketinggalan zaman. Sebagai inovasi, ia ketinggalan 11 tahun! Tak pernah ada perubahan signifikan dari sisi rubrikasi, desain, dan penyusunan narasi. Di masa kepemimpinan saya, saya memutuskan menghentikan publikasi majalah legendaris itu. Saya menggantinya dengan majalah baru bernama Connectix Magazine, dengan desain yang lebih baru, rubrikasi baru, pendekatan bahasa yang baru. Gara-gara itu saya disidang alumni lintas angkatan karena dianggap merusak tradisi belasan tahun. Saya menjadi pesakitan.

Tapi saya tak mau mengubah pendirian saya. Saya tetap mengubur PesanTREND dan melahirkan Connectix Magazine. Dalam kepala saya, ini seperti Retas yang ‘menggantikan’ Kuntum. Tapi, ya itu tadi, inovator kadang-kadang dikalahkan oleh mereka yang enggan perubahan itu terjadi.

Setelah saya lengser, adik-adik kelas saya kurang nyali karena diintimidasi alumni sehingga memutuskan kembali ke PesanTREND. Omong-omong, ini seperti kisah Retas yang hilang dan kembali kepada Kuntum. Tidak apa-apa, kadang kita butuh satu gebrakan sejarah untuk dicatat sebagai legenda, bukan?

Inovasi dan Keberanian

Mungkin saya tidak pernah menjadi wartawan. Tapi setidaknya tiga kali saya jadi ‘bos’ media. Saat kelas 6 SD saya membuat ‘majalah’ dari kliping koran dan majalah lain, saya print sejumlah desain, saya tulis karya-karya saya, dan saya buat semacam pengantar atau ‘editorial’. Itu masa pertama di mana saya jadi ‘bos’ media, wartawan, desainer, tukang kliping, dan pergi sendiri ke tukang fotokopi untuk menyalin dan menjilidnya. Saya cetak lima eksemplar dari hasil menabung uang jajan.

Pengalaman kedua saat jadi ‘bos’ mading di pesantren. Waktu itu saya sudah punya wartawan dan staf. Setidaknya lima orang. Terdiri dari penulis, komikus, desainer, public relations, dan tukang tempel. Saat memimpin Connectix Magazine, staf saya lebih banyak lagi, mungkin 15 orang. Saya punya orang di berbagai posisi yang cukup lengkap. Dari reporter sampai desainer, dari tukang layout sampai tukang cetak, dari bagian marketing sampai tukang tagih.

Waktu kuliah saya memang tak terlibat di lembaga pers kampus. Saya memilih menjadi entrepreneur di bidang penerbitan. Semester 6 di bangku kuliah saya sudah menjadi pemimpin redaksi sebuah penerbit yang cukup besar di Yogyakarta. Saya membawahi belasan staf waktu itu. Mengurus redaksi sampai memastikan cetak dan distribusinya.

Saya memulai tradisi penerbitan buku indie pada tahun 2006, sampai dapat penghargaan Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa Bidang Kreatif dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan pernah menjadi finalis Wirausaha Muda Mandiri gara-gara model penerbitan indie yang saya kerjakan waktu itu. Model itu bertahan dan dipakai sampai sekarang.

Sejak saat itu, persinggungan dan relevansi saya dengan dunia pers semakin kecil. Saya memilih menjadi peneliti, penulis, kemudian pengusaha. Baru tahun 2013 saya jadi ‘bos’ media lagi. Waktu itu saya membuat sebuah media kreatif bernama inspirasi.co (sekarang sudah tidak beroperasi), sebuah media baru yang menjadi kanal para kreator mempublikasikan karya kreatif mereka. Mulai dari teks, foto, desain, komik, musik, hingga video. Dipersiapkan seperti sebuah ‘media sosial’, situs ini sempat populer dan berhasil menggaet pengguna, tapi saya harus berhenti karena perbedaan pandangan saya dengan co-founder yang lain.

Buat saya, membangun media adalah tentang inovasi dan keberanian. Tanpa saya sadari ternyata sudah lama saya bercita-cita jadi ‘bos’ media dan benar-benar menjalani setapak demi setapak mewujudkan cita-cita itu. Meski saya tidak pernah mengucapkan bahwa itu salah satu cita-cita saya, melewati banyak jalan yang berbeda, mengenyam pengalaman yang beragam, ternyata Tuhan membimbing saya ke jalan ini.

Masa Depan Demokrasi

Saya ingat sebuah kelas di kampus Caulfield, Monash University, sekitar tahun 2014. Saat itu saya sedang mengambil Master di bidang Hubungan Internasional. Ada satu kelas pilihan yang benar-benar menarik perhatian saya: Media Empire and Entrepreneurs. Saya merasa harus mengambil kelas itu dan mengerjakan risetnya. Bagaimana para media baron, para pemilik media, membentuk empire bisnis dan ikut menentukan arah politik sebuah bangsa, termasuk masa depan demokrasi.

Di kelas yang dipimpin seorang profesor berkebangsaan China itu, saya sempat melamun: Di Indonesia peran para pemilik media begitu kuat dan penting menentukan arah demokrasi dan pemerintahan. Para media baron itu bukan hanya terafiliasi pada ideologi atau partai politik tertentu, bahkan menjadi kandidat yang melaju untuk pemilihan eksekutif atau legislatif. Apakah itu sesuatu yang salah? Ternyata tidak juga.

Media, Internet, dan demokrasi ‘collide’ dan membentuk sebuah fusi baru. Media ternyata bukan sekadar menjadi pilar keempat demokrasi, dia menjadi ruang sekaligus aktor, simulasi sekaligus stimulasi, menjadi sesuatu yang lebih kompleks dari sekadar publikasi, pembentukan opini atau propaganda.

“Kalau saya mau ikut menentukan, saya harus punya media. Harus jadi bos media lagi.” Pikir saya waktu itu. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana memulainya? Tentu ini tak seperti mading pesantren, bukan Connectix Magazine, bahkan bukan seperti Retas dengan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasannya. Ini harus sesuatu yang lebih besar dari itu, lebih serius, lebih kompleks, dan lebih berdampak. Media ini harus mampu menjadi nurani banyak orang, menyuarakan idealisme banyak orang, ikut menentukan bulat dan lonjong negeri.

Ternyata impian itu tidak pernah padam dan Tuhan mendengarkan doa-doa bahkan yang tidak dikalimatkan. Tujuh tahun kemudian, tepatnya 2021, saya memimpin Inilah.com. Sebuah media berusia 14 tahun dengan perjalanan panjang menentukan banyak peristiwa penting di Republik ini. Ada 100-an wartawan dan staf di Inilah.com. Apa yang bisa saya lakukan dari sana? Jangan benci media, jadilah media!

Selamat Hari Pers Nasional

FAHD PAHDEPIE
CEO Inilah.com

bos media

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button