COVID-19 dan TBC Punya Gejala Sama

COVID-19 dan TBC merupakan penyakit yang memiliki kesamaan gejala, yakni batuk, demam, kesulitan pernapasan, dan menyerang paru-paru. Pengalaman dalam parawatan pasien TBC yang terinfeksi COVID-19 pun masih terbatas, sehingga mereka memiliki hasil pengobatan yang kurang optimal jika pengobatan TBC terganggu.

Sebelum ada COVID-19, program percepatan penanggulangan TBC bisa tinggal landas di tahun 2020 menuju stop TBC di tahun 2030. Namun, tanpa diduga pandemi COVID-19 terjadi dan menghambat program stop TBC.

Ahli Paru yang juga Mantan Direktur World Health Organization (WHO) Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan para pakar TBC menyatakan bahwa akibat COVID-19 program TBC bisa mundur 5 sampai 8 tahun. Pada tahun 2021 bulan Januari WHO mengumpulkan data dari beberapa negara dari 84 negara yang menyatakan bahwa COVID-19 mengakibatkan tambahan kematian di dunia 1,5 juta orang.

Selama 10 tahun angka kematian TBC terus turun walaupun turunnya tidak tajam, tapi di tahun 2020 mengalami kenaikan untuk pertama kalinya. Sementara untuk kasus TBC yang ditemukan terjadi penurunan yang biasanya selalu naik, yakni di tahun 2020 ditemukan 5,8 juta orang yang mengalami TBC, menurun 18 persen jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang penemuan kasus mencapai 7, 1 juta orang.

“Angka kematian akibat TBC tadinya memang selalu menurun tapi turunnya sedikit, tapi sekarang kematian bahkan bertambah 1,5 juta di tahun 2020. Ini data bulan Desember saya kira dipublikasi Januari 2021,” ucapnya, Jakarta, baru-baru ini.

Di Indonesia, ada sekitar 845 ribu kasus TBC dari 271 juta penduduk, dengan rata-rata kematian mencapai 96 ribu kasus.

Sejumlah Analisa dari SEA Regional WHO menyebutkan bahwa penyebab dari terhambatnya percepatan penanggulangan TBC adalah tidak optimalnya penemuan kasus terutama di daerah-daerah karena khawatir tertular COVID-19, laboratorium sibuk menangani COVID-19 sehingga berkurang dalam menangani TBC.

Selanjutnya, ketersediaan obat di beberapa tempat bermasalah. Perawatan dan monitoring pasien TBC terhambat karena pasien tidak berani datang ke fasilitas kesehatan.

Sebagai contoh, program TBC di provinsi Jawa Barat selama pandemi COVID-19 mengalami hambatan. Kekurangan suplai masker N95 dan sarung tangan untuk tenaga kesehatan, dan itu pun tidak semua kabupaten/kota memiliki jumlah persediaan yang banyak.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dr. R. Nina Susana Dewi menilai hal tersebut membuktikan bahwa kemampuan kabupaten/kota dalam menghadapi COVID-19 dan melanjutkan program TBC belum cukup. Terlebih lagi pandemi COVID-19 merupakan penyakit baru dan belum punya pengalaman dalam mengatasinya.

Tidak hanya itu, kapasitas rawat inap untuk pasien TBC mengalami kekurangan dikarenakan ruang isolasi di beberapa rumah sakit rujukan TBC digunakan untuk perawatan pasien COVID-19.

“Fasilitas kesehatan juga membatasi layanan kontak langsung dengan pasien, kemudian jumlah kunjungan terduga TBC ke Faskes berkurang karena kekhawatiran masyarakat tertular COVID-19,” tutur dr. Nina.

Dalam menanggulangi masalah tersebut, bukan hanya di Jawa Barat tapi di seluruh provinsi di Indonesia, harus dilakukan upaya yang komprehensif agar TBC dan COVID-19 bisa ditanggulangi bersama-sama.

Prof. Tjandra menyebut ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menanggulangi TBC dan COVID-19 secara bersamaan dengan penatalaksanaan yang sama, antara lain melakukan testing, tracing, surveilans, kontrol dan pencegahan infeksi, dan komunikasi risiko.

“Kita mesti ingat bahwa masalah kesehatan bukan hanya TBC ada juga masalah lain yang perlu ditanggulangi bersama-sama. Kita punya program yang ada di depan mata, barangnya sudah ada, cara diagnosisnya sudah jelas, cara pengobatannya sudah jelas, marilah kita sama-sama dalam melakukan upaya agar TBC ini bisa kita kendalikan di waktu mendatang,” jelasnya.

Exit mobile version