Dana KLB Perilaku Koruptif yang Dilegalkan, Harusnya Pramono Sudahi Bukan Malah Dihamburkan


Gubernur Jakarta Pramono Anung melanjutkan tradisi penggunaan dana Koefisien Lantai Bangunan (KLB) untuk membiayai pembangunan. Celakanya, ‘duit kaget’ di luar APBD ini malah mau dihambur-hamburkan Pramono untuk membangun patung MH Thamrin, membiayai operasional taman 24 jam dan membuka perpustakaan hingga malam hari, kebijakan populis yang tak menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat.

Selain penghamburan uangnya yang disorot, sumber dana ini juga masih bisa dibilang ‘abu-abu’. Pengamat hukum dari Universitas Bung Karno (UBK) Hudi Yusuf mengatakan, dana ini seperti melegalisasikan praktik korupsi. Kelebihan lantai bangunan, ditegaskannya sebuah pelanggaran yang harus dibongkar, bukan dimaklumi dengan membayar denda.

“Seharusnya membangun melebihi KLB dapat dilihat dari awal apabila ada kelebihan Pemda dapat perintah bongkar bukan boleh melanjutkan,” kata Hudi saat dihubungi Inilah.com, Jakarta, Minggu (4/5/2025).

Ia mengatakan, jika ada pihak yang membangun melebih aturan harus ditelusuri kenapa itu bisa terjadi. Menurutnya, pengawasan Pemprov juga patut dipertanyakan.

“Misalnya gedung hanya diizinkan membangun 5 lantai tetapi dalam pelaksanaannya membangun 10 lantai, kanapa tidak di hentikan sebelum menjadi 10 lantai? Apakah ada perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang atau ada gratifikasi?,” ujar Hudi.

Lebih jauh, ia menyinggung soal proses penagihan denda dari pengusaha hingga jumlah denda yang diberikan oleh Pemprov. Dia juga mewanti-wanti soal potensi celah korupsi.

“Belum lagi cara mengambil denda dari pengusaha itu seperti apa? Denda apa yang dikenakan, apa berupa uang atau membangun sesuatu? Dan masih banyak lagi pertanyaan. Sanksi denda yang ada sebenarnya tidak perlu terjadi karena dapat dicegah di awal, jika terjadi sanksi denda pasti ada pelanggaran, pelanggaran ini mengapa didiamkan?” katanya.

Sekadar informasi, menurut laman Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), dana KLB merupakan sejenis denda yang diserahkan oleh perusahaan swasta kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta karena membangun gedung melebihi ketentuan jumlah lantai. Pembangunan infrastruktur menggunakan kompensasi KLB diinisiasi oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hingga akhirnya diteruskan oleh Anies Baswedan sebagai gubernur selanjutnya.

Besaran dana KLB ini jarang diketahui publik, warga masih bertanya-tanya berapa banyak Pemprov berhasil himpun uang setiap bulan atau tahunnya. Ironisnya, penggunannya malah tak langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Contohnya pembangunan septic tank komunal untuk warga di pinggiran Jakarta Utara.

“Pinggiran Jakarta Utara rata-rata masyarakatnya masih belum punya septic tank. Mereka masih membuang ke kali, tanah, ataupun laut,” kata Neneng di Gedung DPRD DKI Jakarta, dikutip Minggu (4/5/2025).

Di saat warganya masih buang hajat ke kali, Pramono malah mau buang-buang duit memindahkan Patung  Mohammad Husni Thamrin ke museum kemudian membangun lagi yang baru. Akan dibuat dan diletakkan di Jalan Sudirman. Pembiayaannya  bakal menggunakan dana kompensasi Koefisiensi Lantai Bangunan (KLB).

“Kita buatkan patung MH Thamrin yang baru, yang sejajar dengan Jalan Jenderal Sudirman sebagai simbol dari Jakarta,” kata Pramono kepada wartawan usai membuka acara Lebaran Betawi di Balai Kota DKI Jakarta, Sabtu (26/4/2025).

Selain itu, Pramono juga berencana menggunakan dana KLB untuk membiayai operasional pembukaan taman 24 jam dan membuka perpustakaan hingga malam hari.  Staf Khusus Gubernur Jakarta, Chico Hakim mengatakan, ada 2 perpustakaan umum daerah yang dikelola oleh Pemprov. Menurutnya, Pemprov  bisa menggunakan dana dari Koefisiensi Luas Bangunan (KLB) dan Corporate Social Responsibility (CSR). “Pak Pram dalam waktu 2 bulan menjabat ini udah bisa ngumpulin Rp600 miliar dari situ (KLB),” kata Chicokepada wartawan, Minggu (4/5/2025).

Asal tahu saja keberadaan dana KLB pernah dikritik oleh mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto, Desember 2016 lalu. Kebijakaan yang diinisiasi Gubernur Ahok itu memberikan kompensasi koefisien lantai bangunan (KLB) dengan membayar denda merupakan tindakan koruptif gaya baru.

Bambang bilang, Pemprov Jakarta pada akhirnya menggunakan dana pihak ketiga untuk melakukan pembangunan, melalui pembayaran denda tersebut. Tindakan koruptif sendiri merupakan perbuatan yang mengarah kepada korupsi. “Ini lah tindakan koruptif gaya baru yang belum bisa disentuh hukum,” kata Bambang kala itu.