Pernahkah kamu menyaksikan pertunjukan tribun yang membuat bulu kuduk merinding, bukan karena takut, tapi karena takjub? Itulah yang kurasakan saat pertama kali menonton langsung laga PSS Sleman di Maguwoharjo International Stadium. Di tengah riuh suara drum dan gemuruh chant yang terus bergema sepanjang 90 menit, sorot mataku terpaku pada satu titik: tribun selatan. Di sanalah sekelompok suporter fanatik bernama Brigata Curva Sud (BCS) menampilkan aksi yang lebih dari sekadar dukungan; mereka menyulap tribun menjadi panggung pertunjukan penuh semangat, seni, dan ekspresi.
BCS, nama yang tak lagi asing di telinga para pecinta sepak bola tanah air. Berdiri secara resmi pada 5 Februari 2011 dan mengadopsi ideologi ultras Italia, mereka dikenal sebagai kelompok suporter yang loyal, militan, dan mandiri. Filosofi mereka terangkum dalam semboyan: mandiri menghidupi, no leader just together, no ticket no game, yang selalu bergema di hati setiap anggota.
Slogan mandiri menghidupi bukan sekadar semboyan kosong. Dalam praktiknya, mereka tidak bergantung pada dana klub untuk menampilkan koreografi megah di tribun; justru merekalah yang turut menghidupi klub dengan membangun beberapa sektor usaha seperti Curvasud Store, Curvasudevent, dan Curvasud Culinary. Sebagian dari keuntungannya digunakan untuk memenuhi kepentingan bersama. Tak hanya itu, BCS juga aktif dalam aksi-aksi sosial kemanusiaan, membuktikan bahwa cinta terhadap klub tidak berhenti di batas tribun stadion.
Fenomena ini sejalan dengan konsep Participatory Culture yang dikemukakan oleh Henry Jenkins. Dalam era konvergensi media, audiens bukan lagi konsumen pasif, melainkan peserta aktif yang berpartisipasi menciptakan dan mendistribusikan budaya. BCS membuktikan hal tersebut dengan kehadirannya di berbagai platform media sosial: Instagram, X/Twitter, hingga YouTube. Di sana, mereka mengarsipkan aksi-aksi di tribun, menyebarkan nilai, dan memperluas jaringan hingga dikenal di mancanegara. Pada tahun 2013, mereka masuk ke dalam 5 besar kelompok suporter terbaik dunia versi ultras-tifo.net, dan pada tahun 2017 dinobatkan sebagai suporter terbaik di Asia oleh COPA90, media global yang menyoroti budaya sepak bola dari kacamata fans.
Namun, seperti kata pepatah, “Semakin terang cahaya, semakin jelas bayangannya.” Aksi spektakuler BCS kadang mengundang pro dan kontra. Dalam laga penutup musim, mereka menyuguhkan 3 koreografi raksasa yang megah dan mengakhirinya dengan pesta flare. Ledakan kembang api dan asap yang menyelimuti tribun memang membangkitkan semangat, tapi juga memunculkan kekhawatiran. Di media sosial, netizen mulai memperbincangkan, menuai pro dan kontra, sebab saat itu stadion penuh sesak oleh asap hingga menunda berjalannya laga. Dari situlah alasan yang melatarbelakangi penulisan ini dan muncul pertanyaan: Bisakah pesta flare dan kaum rentan seperti anak-anak dan ibu hamil hadir berdampingan?
Untuk menjawabnya, penulis mewawancarai beberapa penonton yang pernah menyaksikan langsung momen pesta flare. Adya, mahasiswi 20 tahun yang rutin menonton laga PSS, bercerita, “Saat pesta flare kemarin terjadi, aku ada di tribun selatan. Pertunjukan itu sangat spektakuler dan membangkitkan semangat.” Namun, ketika ditanya soal keamanan, ia menambahkan, “Ya, tapi rada membahayakan sih, terutama bagi anak-anak dan ibu hamil, karena asap flare itu kan mengandung zat kimia.” Adya mengungkapkan kekagumannya sekaligus kekhawatirannya terhadap kelompok rentan, karena baginya flare dapat mengganggu kesehatan.
Selanjutnya, jawaban senada disampaikan oleh Fathi Muhammad dan Kemal Faruq, dua mahasiswa berusia 19 tahun yang juga pernah terlibat dalam pesta flare di Maguwo. Mereka mengaku kagum dengan suguhan aksi koreo dan flare dari BCS. “Kalau soal suasana, BCS juara, tapi jujur, asapnya agak mengganggu, bisa bahaya buat yang sensitif atau anak kecil. Kalau pria dewasa mah ‘losss’,” ungkap Fathi.
Melihat beberapa hasil jawaban dari narasumber, mayoritas menyatakan bahwa aksi BCS memberikan euforia tersendiri dan memicu semangat bagi para pemain maupun pendukungnya. Namun, terlepas dari itu semua, ada sisi yang mengkhawatirkan dan harus diperhatikan, yakni keselamatan bagi kaum rentan. Dari segi fisik, mereka tak sekuat pria dewasa pada umumnya, sehingga memerlukan penanganan lebih.
Adya menanggapi persoalan tersebut, “Mungkin bisa dibikin zona aman buat lansia, ibu hamil, dan anak-anak. Misalnya, tribun tertentu dikhususkan buat mereka, jauh dari sumber flare seperti di tribun selatan. Terus, juga harus ada yang mengawasi supaya zona itu enggak dimasuki sembarangan.” Fathi Muhammad menambahkan, “Penggunaan flare, kembang api, smoke bisa dibatasi di zona tertentu, jika perlu evakuasi penonton wanita dan anak-anak jika terjadi pesta flare yang dapat mengganggu kenyamanan mereka.”
Penulis sendiri juga memberikan tanggapan, bahwa pihak manajemen stadion turut menyiapkan beberapa opsi yang layak dipertimbangkan. Misalnya, soal sirkulasi udara. Stadion Maguwo memang relatif terbuka, namun saat pesta flare terjadi, asap tebal sering kali tidak keluar dengan cepat. Penggunaan blower besar atau sistem sirkulasi aktif dirasa dapat membantu mengontrol asap keluar stadion agar tidak memenuhi stadion hingga menyebabkan pertandingan ditunda. Selain itu, pembagian dan pembatasan zona yang tegas, bukan hanya membedakan antara tribun aktif dan pasif, tetapi juga memberikan ruang aman bagi kelompok rentan. Penyediaan ruang kaca tertutup, misalnya, jika memungkinkan agar tidak terpapar langsung.
Perlu juga dicatat, bahwa BCS sendiri sebenarnya tidak abai. Dalam beberapa pertandingan, mereka telah memberikan imbauan sebelum laga agar penonton yang membawa anak atau kondisi khusus menjauhi tribun selatan. Mereka juga telah berkoordinasi dengan pihak penyelenggara. Hanya saja, penegakan aturan di lapangan tetap menjadi kunci.
Karena harus diakui, tanpa BCS, tribun Maguwo tak akan sehidup ini. Koreografi mereka tak hanya menyemangati para pemain, tapi juga memberikan warna baru bagi budaya sepak bola Indonesia. Apa yang mereka lakukan adalah bentuk ekspresi, kreativitas, dan cinta. Selayaknya semua cinta, ia akan tumbuh lebih indah ketika bisa dirasakan bersama, oleh siapa saja. Karena sejatinya, sepak bola adalah milik kita semua, dan kita layak mendapatkan kenyamanan saat menikmatinya.