Defisit AS Capai Rp17.000 Triliun dalam 7 Bulan Terakhir


Lembaga pemeringkat utang, Moody’s Investors Service resmi menurunkan peringkat kredit pemerintah AS dari AAA menjadi AA1. Moody’s menilai lonjakan beban utang dan meningkatnya biaya bunga sebagai penyebab utama koreksi peringkat.

“Penurunan satu tingkat ini mencerminkan tren jangka panjang peningkatan rasio utang dan pembayaran bunga ke level yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara dengan profil kredit serupa,” tulis Moody’s dalam pernyataan resminya, seperti dikutip dari CNBC, Senin (19/5/2025).

Dalam proyeksinya, Moody’s memperkirakan bahwa rasio defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) AS akan meningkat dari 6,4 persen pada 2024 menjadi nyaris 9 persen pada 2035.

Kenaikan ini terutama dipicu oleh melonjaknya pembayaran bunga atas utang, belanja jaminan sosial yang terus naik, serta proyeksi pendapatan negara yang relatif stagnan.

Di sisi lain, rasio utang pemerintah terhadap PDB juga diproyeksikan meningkat tajam, dari 98 persen pada tahun ini menjadi sekitar 134 persen pada 2035.

Moody’s juga mencatat bahwa jika kebijakan pemotongan pajak dari Tax Cuts and Jobs Act 2017 diperpanjang, skenario yang mereka anggap paling mungkin maka defisit primer (tidak termasuk bunga) bisa bertambah US$4 triliun dalam satu dekade ke depan.

Lembaga itu menilai tidak ada sinyal kuat dari Kongres maupun Pemerintah AS untuk mengubah arah fiskal ini secara signifikan dalam waktu dekat.

Apabila dibedah, hingga Maret 2025, utang pemerintah federal AS mencapai US$36,21 triliun. Dikutip dari Trading Economics, utang ini sedikit turun jika dibandingkan dengan US$36,22 triliun pada Februari 2025.

Tampaknya, pemerintahan Presiden Donald Trump tidak mengeluarkan langkah tegas mengenai utang yang terus bertambah. Dikutip dari Bipartisan Policy Center, defisit fiskal AS telah mencapai US$1,05 triliun atau Rp17.272 triliun pada April 2025, turun dibandingkan US$1,3 triliun atau Rp21.385 triliun pada Maret 2025.

Sebagai catatan, perhitungan tahun fiskal AS dimulai sejak Oktober. Artinya, dalam 7 bulan terakhir, defisit AS telah mencapai Rp17.000-an triliun dan ini sebagian besar ditutup dari penerbitan surat utang AS, US Treasury.

Tanggapan Gedung Putih

Direktur komunikasi Gedung Putih Steven Cheung menanggapi penurunan peringkat tersebut melalui unggahan di media sosial, dengan mengkritik ekonom Moody’s, Mark Zandi. Ia menyebut Zandi sebagai lawan politik Trump. Namun, Zandi menolak berkomentar lebih lanjut perihal tudingan ini.

Zandi adalah kepala ekonom di Moody’s Analytics, yang merupakan entitas terpisah dari lembaga pemeringkat kredit Moody’s Investors Service.

Sejak kembali ke Gedung Putih pada 20 Januari lalu, Trump mengatakan akan menyeimbangkan anggaran. Sementara Menteri Keuangan AS Scott Bessent telah berulang kali mengatakan bahwa pemerintahan saat ini bertujuan untuk menurunkan biaya operasional pemerintah AS.

Namun, upaya pemerintahan untuk meningkatkan pendapatan dan memangkas pengeluaran sejauh ini gagal meyakinkan investor.

Upaya Trump untuk memangkas pengeluaran melalui Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) milik Elon Musk telah jauh dari tujuan awalnya. Dan upaya untuk meningkatkan pendapatan melalui tarif telah memicu kekhawatiran tentang perang dagang dan perlambatan global, yang mengguncang pasar.

Jika tidak diatasi, kekhawatiran tersebut dapat memicu kejatuhan pasar obligasi dan menghambat kemampuan pemerintahan untuk menjalankan agendanya.

Penurunan peringkat, yang terjadi setelah penutupan pasar, membuat imbal hasil obligasi US Treasury naik, dan analis mengatakan hal itu dapat membuat investor berpikir ulang ketika pasar dibuka kembali untuk perdagangan reguler pada hari Senin.

“Hal itu pada dasarnya menambah bukti bahwa Amerika Serikat memiliki terlalu banyak utang,” kata Prof. Darrell Duffie, pakar Keuangan Stanford yang sebelumnya menjadi anggota dewan Moody’s.

“Kongres harus mendisiplinkan diri, baik memperoleh lebih banyak pendapatan atau mengurangi pengeluaran,” imbuhnya.