Deflasi yang diumumkan oleh BPS pada 2 Juni 2025 seharusnya tidak disambut dengan senyum optimisme, melainkan dengan kepala dingin dan mata waspada. Angka-angka itu bukan sekadar hasil hitungan statistik, tetapi nyeri ekonomi yang sedang mencari jalan keluar. Dari sebelas kelompok pengeluaran, sembilan justru menyumbang deflasi. Ini merupakan sinyal bahwa dompet masyarakat semakin sunyi.
Kelompok makanan dan minuman justru menjadi penyumbang deflasi terbesar, yakni 0,41 persen. Ketika harga makanan dan minuman turun, bukan berarti kesejahteraan meningkat. Justru hal ini mengindikasikan bahwa dapur rumah tangga mulai kehilangan api. Tidak ada gairah membeli, tidak ada keberanian berbelanja. Di negeri yang lebih dari separuh ekonominya bertumpu pada konsumsi, ini adalah kabar buruk yang dibungkus rapi oleh angka.
Deflasi dalam konteks hari ini bukan kabar baik. Ini adalah cermin dari lemahnya permintaan. Bukan karena pasokan melimpah, tetapi karena masyarakat mulai belajar menunda dan menahan. Membeli hanya jika perlu, bahkan kalau bisa tidak sama sekali.
Gelombang PHK dan Rasa Tak Aman
Tapi kita tidak bisa bicara daya beli tanpa menyinggung penyebab pelemahannya. Salah satunya adalah badai PHK yang masih memainkan perannya. Hingga 20 Mei 2025, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 26 ribu pekerja terlempar dari dunia kerja. Sementara versi Apindo jauh lebih getir: lebih dari 73 ribu klaim PHK sejak Januari. Angka-angka ini bukan perlombaan statistik, melainkan luka yang menggerogoti ekonomi rakyat.
Bukan hanya jumlahnya yang menakutkan, tetapi konsistensinya. Gelombang PHK ini bukan anomali satu waktu. Ini adalah arus yang sudah berlangsung sejak tahun lalu dan belum menunjukkan tanda-tanda surut. Ibarat luka, ini sudah kronis. Jangan bayangkan ini berhenti di sektor industri. Pariwisata yang selama ini diandalkan sebagai penyelamat pascapandemi, kini sedang menunggu giliran. Ketika masyarakat tak punya uang, siapa yang masih mau berlibur?
Di titik ini pemerintah harus jujur mengakui bahwa tidak bisa lagi mengandalkan kebijakan tambal sulam. Sudah waktunya berbicara tentang strategi jangka menengah, bukan sekadar intervensi jangka pendek.
Pemerintah bisa memulai dengan menghentikan laju PHK. Dialog terbuka dengan pelaku usaha, fasilitasi restrukturisasi bisnis, dan insentif untuk mempertahankan tenaga kerja harus segera dilakukan. Jangan tunggu situasi menjadi darurat untuk bergerak. Rakyat butuh lapangan kerja baru—bukan dalam bentuk janji kampanye, tetapi realisasi proyek padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar dan cepat.
Memang, pemerintah sudah mencoba memberi insentif seperti diskon tarif transportasi, subsidi upah, bansos tambahan, dan lainnya. Tapi semua itu belum cukup untuk membalikkan arah kapal besar bernama ekonomi nasional.
Diskon transportasi bukan solusi jika masyarakat tidak punya uang untuk bepergian. Subsidi upah hanya menambah waktu bertahan, bukan menumbuhkan. Dan bansos, sebesar apa pun, tidak akan bisa menggantikan penghasilan tetap.
Long weekend pun dijadikan harapan. Diharapkan bisa menggugah masyarakat untuk belanja. Tapi siapa yang ingin menghabiskan uang untuk liburan ketika pekerjaan saja belum tentu ada minggu depan? Apa gunanya harga stabil jika tidak ada yang sanggup membeli?
Sebagian gaji ke-13 diupayakan pencairannya sebelum Iduladha. Harapannya tentu agar konsumsi terdorong. Tapi masyarakat kini lebih rasional: uang itu lebih baik digunakan untuk membayar utang, menambal pengeluaran pokok, atau sekadar berjaga-jaga.
Krisis Kepercayaan, Bukan Sekadar Konsumsi
Masalah utamanya bukan terletak pada volume stimulus, melainkan absennya rasa aman. Masyarakat menahan belanja karena tidak percaya pada masa depan. Rasa tidak percaya itulah yang menjadi musuh terbesar ekonomi hari ini.
Keseimbangan antara kestabilan harga dan kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah mampu menyelesaikan masalah daya beli ini merupakan hal yang paling penting. Karena lebih dari separuh PDB Indonesia digerakkan oleh konsumsi. Jika konsumsi tertekan, maka begitu pula dengan ekonominya.
Pelaku usaha tentu membaca situasi ini lebih cepat. Alternatif yang mungkin akan mereka lakukan adalah menurunkan produksi, memangkas karyawan, dan menahan ekspansi. Efeknya, lagi-lagi, menyasar para pekerja yang akan kehilangan mata pencaharian.
Pemerintah harus memutus lingkaran ini. Tunjukkan bahwa negara hadir di tengah-tengah penderitaan rakyat dengan solusi yang konkret. Kebijakan yang mampu mendorong terciptanya lapangan kerja, fiskal yang berpihak pada dunia usaha, ataupun kebijakan lainnya.
Masa kampanye sudah lewat. Pemerintah harus menunaikan janji-janji kampanye tersebut, terutama dalam hal meningkatkan kesejahteraan rakyat—khususnya mendorong penciptaan lapangan kerja.
Kesejahteraan tidak tumbuh tiba-tiba dan konsumsi tidak bisa didorong dengan imbauan, tetapi dengan kepastian pekerjaan dan penghasilan. Inilah yang harus menjadi fokus pemerintah saat ini.
Rakyat membutuhkan pemimpin yang paham dan mampu mendorong ekonomi mereka. Bukan melihat rakyat hanya sebagai target angka statistik, tetapi sebagai subjek utama pembangunan. Dan yang perlu disadari pemerintah adalah: kondisi ini bukan sekadar soal harga dan pengeluaran. Ini soal harapan yang menguap, dan rasa percaya yang terkikis sedikit demi sedikit.
Ketika deflasi datang dan daya beli menghilang, pertanyaan besarnya bukan lagi soal apa yang salah. Tapi: apa yang akan dilakukan sebelum semuanya terlambat? Karena kalau hanya diam dan berharap, maka bukan hanya konsumsi yang lenyap, tetapi juga kepercayaan masyarakat pada penyelenggara negara.
Persoalan tentang bagaimana negara menjaga rakyatnya tetap bertahan adalah hal yang sangat penting hari ini. Pemulihan ekonomi tak bisa terus ditopang narasi. Ia butuh tindakan konkret yang menyentuh langsung dapur rakyat. Tentunya perlu keberanian untuk mengubah arah, bukan sekadar memperhalus jalan yang salah. Karena hanya dengan itulah harapan bisa pulih, dan ekonomi kembali bernyawa.