Demokrasi di Tengah Konten Receh

Demokrasi modern membutuhkan warga negara yang melek informasi, mampu memilah fakta, dan mengkritisi janji-janji politik. Namun, di era digital kiwari, kemampuan ini terancam oleh fenomena brain rot akibat konsumsi konten receh berlebihan.

Demokrasi yang sehat memerlukan masyarakat yang sabar mendengar, membaca, dan memahami program para politisi. Namun, bagaimana jika warga hanya tahan menonton video 30 detik? Bagaimana jika semua diskursus politik dikerdilkan menjadi meme dan cuplikan tanpa konteks? Ini bukan sekadar masalah teknologi, melainkan soal kualitas warga negara. Demokrasi bisa runtuh bila partisipasi rakyat dangkal.

Fenomena seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Sebuah laporan Pew Research Center (2023) menunjukkan generasi Z di Amerika lebih suka konten politik di TikTok ketimbang debat kandidat yang berdurasi panjang. Ini menjadi alarm bagi negara demokrasi manapun. Politik tidak bisa dikurangi menjadi tarian singkat atau video reaction. Namun, fakta di lapangan menunjukkan inilah yang disukai masyarakat hari ini.

Rentang atensi yang kian pendek telah membuat masyarakat cenderung mudah terjebak pada informasi sepotong, clickbait, atau framing bombastis yang tidak menyeluruh. Ini membuat diskursus politik semakin dangkal. Kita melihat bagaimana kebohongan atau narasi provokatif lebih cepat viral daripada klarifikasi yang panjang. Pola konsumsi informasi seperti ini memperkuat polarisasi, karena orang hanya membaca apa yang ingin mereka percaya.

Hal ini membuka peluang bagi politisi populis yang senang melempar slogan bombastis, tanpa substansi kebijakan yang jelas. Ketika warga lebih suka kalimat sederhana yang memicu emosi, program yang kompleks tidak lagi menarik. Ini berbahaya karena kebijakan publik butuh pemahaman detil, bukan hanya jargon. Dan populisme tumbuh subur di jagad yang miskin literasi politik.

Ketika warga tidak mampu fokus memahami isu, maka kualitas diskursus publik menurun, dan debat kebijakan bergeser jadi ajang saling serang personal. Kita telah menyaksikan ini di media sosial setiap hari. Daripada membahas solusi, orang lebih sibuk menjelekkan tokoh lawan. Demokrasi pun kehilangan marwahnya sebagai sarana mencari kebaikan bersama.

Demokrasi yang dibangun di atas ilusi dan disinformasi hanya akan melahirkan kebijakan populis, bukan solusi jangka panjang. Politik menjadi hiburan, bukan alat perubahan sosial. Rakyat jadi penonton pasif, bukan aktor utama. Ironisnya, semakin banyak yang terseret ke pola ini, semakin jauh demokrasi dari tujuan idealnya.

Mudah Termakan Hoaks

Teori Limited Capacity Model of Motivated Mediated Message Processing (Lang, 2000) menjelaskan otak manusia memiliki kapasitas terbatas dalam memproses informasi kompleks, apalagi saat dibanjiri konten cepat yang bersifat emosional. Ketika otak sudah penuh dengan stimulasi instan, kemampuan menyimpan dan menganalisis informasi penting menurun drastis. Ini membuat orang lebih mudah termakan hoaks. Demokrasi pun terancam karena warganya tidak lagi bisa berpikir mendalam.

Teori tersebut memperkuat argumen bahwa semakin banyak konten receh yang dikonsumsi, semakin besar risiko menurunnya kemampuan berpikir kritis. Bayangkan, misalnya, jika kebanyakan pemilih dalam sebuah pemilu hanya mengandalkan feed medsos untuk menilai kandidat. Maka, mereka akan memilih berdasarkan kesan, impresi, bukan program. Ini membuat kualitas pemilu menurun drastis.

Jika hal seperti itu dibiarkan, kita akan menghadapi generasi yang tak sanggup memahami isu pajak, hukum, pendidikan, atau kesehatan. Mereka hanya paham framing dangkal atau narasi provokatif yang memicu emosi.

Pada gilirannya, demokrasi pun hanya jadi panggung sandiwara yang menghibur, tanpa arah jelas, karena beberapa hal berikut ini.

Dampak Negatif Konsumsi Konten Receh

Pertama, pemilih rentan terpolarisasi hanya berdasarkan emosi, bukan program. Mereka cenderung menolak informasi yang berbeda dengan keyakinannya. Dan ini memperkuat polarisasi politik. Buntutnya, ruang diskusi publik menjadi keras dan penuh kebencian.

Kedua, warga makin sulit mengevaluasi janji kampanye. Mereka hanya mengingat potongan video lucu atau viral, bukan data yang mendukung atau menyangkal janji itu. Ini membuat politisi tidak lagi merasa perlu menjelaskan kebijakan secara mendalam. Di titik ini, demokrasi kehilangan mekanisme kontrol rakyat.

Ketiga, politik identitas lebih mudah tumbuh subur. Ketika isu kompleks tidak menarik perhatian, narasi identitas sederhana akan lebih mudah dikonsumsi. Ini sudah sering terjadi di berbagai pemilu, bukan hanya di Indonesia. Identitas kemudian dijadikan alat untuk menggalang dukungan tanpa dibarengi program jelas.

Mementingkan yang Viral

Ketika masyarakat hanya bisa fokus pada potongan video yang lucu atau provokatif, diskursus kebijakan publik kehilangan panggungnya. Media pun kemudian tergoda untuk lebih memilih membuat konten yang viral daripada yang mendidik. Sementara itu, politisi dan buzzer akan makin kreatif membuat drama. Adapun rakyat hanya bisa mengeluh saat kebijakan merugikan mereka.

Kita bisa belajar, misalnya, dari Pemilu 2024 di negeri ini. Banyak konten viral hanya menyoroti gimmick seperti joget, nyanyi, atau meme kandidat, sementara isu substantif seperti pendidikan dan kesehatan jarang dibicarakan. Pemilih memang terhibur, tapi tidak tercerahkan. Demokrasi pun hanya jadi festival lima tahunan.

Contoh lain terjadi di Filipina pada Pilpres 2022. Bongbong Marcos memanfaatkan TikTok untuk membangun narasi nostalgia Orde Lama, menyaingi isu HAM serius yang tak laku di medsos. Ini menunjukkan bagaimana konten receh dan emosional bisa menenggelamkan diskursus penting. Dan demokrasi pun dimanipulasi lewat algoritma platform.

Tentu saja, ini menunjukkan tantangan riil demokrasi. Tantangan ini bukan hanya urusan teknologi, melainkan urusan sosial dan budaya. Kita tak bisa hanya menyalahkan medsos. Kita harus memperbaiki cara mendidik dan membiasakan generasi saat ini memahami isu.

Sudah barang tentu, solusinya tidak cukup hanya menyerahkan ke individu, melainkan harus melibatkan pemerintah, sekolah, keluarga, dan media. Semua pihak harus berkolaborasi. Literasi politik bukan tugas satu lembaga saja. Ia butuh ekosistem yang mendukung warga mampu berpikir kritis.

Rekomendasi untuk Mengatasi Brain Rot

Pemerintah perlu menggencarkan literasi digital berbasis kebijakan publik yang kontennya menarik dan relevan dengan keseharian generasi muda. Jangan hanya memberi kampanye formal yang membosankan. Gunakan video, game, dan komik untuk mengenalkan isu kebijakan. Generasi muda akan lebih tertarik jika pendekatannya kreatif.

Kurikulum pendidikan perlu menanamkan kemampuan berpikir kritis dan membaca mendalam sejak dini, bukan hanya hafalan. Anak-anak harus dibiasakan membaca teks panjang dan berdiskusi. Guru juga harus dilatih agar tidak hanya menuntut jawaban benar-salah, tapi juga argumen. Ini investasi jangka panjang bagi kualitas demokrasi.

Sekolah bisa menerapkan metode debat terstruktur di kelas, misalnya, agar siswa terbiasa mendengar argumen lawan dan belajar menyusun argumen sendiri. Debat bukan untuk menang-menangan, tapi untuk mengasah kemampuan mendengar dan memahami sudut pandang berbeda.

Tak ketinggalan, keluarga perlu ikut berperan. Orang tua harus mengatur waktu layar anak, dan berdiskusi tentang konten yang mereka tonton, bukan sekadar melarang-larang. Dengan berdiskusi, anak belajar berpikir kritis. Mereka juga jadi terbiasa menilai informasi, bukan hanya menelan mentah-mentah informasi.

Di pihak lain, media massa juga harus menyesuaikan diri dengan membuat konten edukasi politik dalam format yang tetap informatif, meski mungkin dikemas lebih ringkas. Konten menarik tidak harus dangkal. Media harus berani berinvestasi pada jurnalisme berkualitas. Jika hanya mengejar klik, media justru memperparah brain rot.

Media jangan hanya mengejar viralitas dan clickbait, tapi pastikan kontennya akurat, berimbang, dan menantang pembaca untuk berpikir. Ini memang lebih sulit dan butuh biaya, tapi hasilnya akan menjaga kualitas demokrasi kita. Ingat, media adalah pilar keempat demokrasi, bukan sekadar pabrik hiburan.

Para influencer dan kreator konten yang memiliki jutaan pengikut bisa diajak kerja sama membuat video edukasi soal proses demokrasi, pentingnya partisipasi politik, atau cara melawan hoaks. Influencer punya peran besar karena kedekatan mereka dengan pengikutnya. Ini bisa menjadi jembatan antara isu serius dengan generasi muda.

Kampanye Slow Media dan Peran Platform

Selain itu, kampanye slow media layak digiatkan. Konsep ini menekankan kualitas daripada kuantitas. Daripada menonton 20 video singkat, lebih baik membaca satu laporan investigasi mendalam. Ini bisa menjadi gerakan sosial di kalangan anak muda. Salah satu caranya, misalnya, dengan mengampanyekan satu hari dalam seminggu untuk digital fasting dari video pendek, dan diganti membaca artikel panjang atau buku.

Strategi lain adalah memperbanyak ruang diskusi tatap muka di komunitas lokal, karena percakapan langsung jauh lebih menumbuhkan empati dibanding debat di kolom komentar. Di samping itu, diskusi offline mengurangi risiko mispersepsi. Orang lebih sulit marah pada lawan bicara yang duduk di depannya. Ini juga memperkuat solidaritas sosial.

Kita juga agaknya perlu menuntut platform media sosial untuk ikut bertanggung jawab, dengan algoritma yang tidak hanya mengutamakan engagement, tapi juga kualitas informasi. Jika algoritma hanya mengejar waktu tonton, konten dangkal akan selalu menang. Perubahan algoritma adalah langkah strategis untuk memperbaiki ekosistem informasi.

Jika semua pihak bergerak bersama, masa depan demokrasi masih bisa diselamatkan dari jebakan brain rot. Ini bukan hal yang mustahil. Namun, tentu saja, butuh kerja keras dan komitmen jangka panjang. Kesadaran kolektif akan bahaya brain rot lebih penting daripada sekadar menyalahkan teknologi.

Pada akhirnya, demokrasi butuh masyarakat yang cerdas, bukan hanya gawai canggih. Dan kita harus ingat pula bahwa demokrasi bukan hanya tentang kebebasan memilih, tapi juga kapasitas masyarakat memahami ihwal apa dan siapa yang dipilih. Kebebasan tanpa pemahaman hanya akan melahirkan pilihan yang salah. Ini merugikan semua pihak, termasuk mereka yang apatis sekalipun.

Menciptakan warga negara yang kritis adalah keharusan. Seperti lirik lagu yang pernah didendangkan John Lennon, “You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one,” kita perlu bermimpi dan berjuang bersama mewujudkan demokrasi yang berakal sehat. Sebab, generasi yang tumbuh dengan otak yang terlatih berpikir mendalam akan lebih kebal atas politik kebencian dan janji-janji politik palsu.

Hanya dengan warga negara yang kritis, demokrasi bisa benar-benar mewujudkan kesejahteraan bagi semua, bukan hanya jadi panggung sandiwara lima tahunan.