Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut besaran tarif tidak resmi untuk pengurusan izin kerja tenaga kerja asing (TKA) terkait kasus dugaan pemerasan di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyebutkan pengusutan itu dilakukan terhadap tiga orang agen pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang menjadi saksi dan diperiksa pada Kamis (12/6/2025).
“Ketiganya diperiksa terkait besaran tarif tidak resmi yang diminta oleh para tersangka agar proses pengurusan RPTKA dipercepat, serta apa yang akan dilakukan oleh para tersangka jika uang tarif tidak resmi tersebut tidak diberikan oleh para agen TKA,” kata Budi dikutip dari Antara di Jakarta, Kamis.
Lebih lanjut dia mengatakan ketiga saksi tersebut adalah pekerja lepas jasa pengurusan RPTKA Erwin Yostinus, staf operasional di PT Indomonang Jadi Ety Nurhayati, dan staf operasional di PT Dienka Utama Purwanto.
KPK pada 5 Juni 2025 mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.
KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.
Bila RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.