Market

Faisal Basri Sebut Ada Skandal Besar di Hilirisasi Nikel Jokowi


Ekonom senior Faisal Basri menyebut, program hilirisasi nikel yang digagas Jokowi, meninggalkan kerugian negara. Angkanya besar, layak disebut mega skandal dalam sejarah Indonesia.

“Saya kira ini skandal. Saya bisa hitung, tentu saja dibantu kawan-Kawan. Kerugian negara yang paling masif dalam sejarah Indonesia,  ya di nikel (hilirisasi),” kata Faisal, dikutip dari podcast Abraham Samad Speak Up, Jakarta, Jumat (12/1/2024).

Saat ini, kata Faisal, smelter nikel yang beroperasi di Indonesia, didominasi investasi China. Di mana mereka mendapat banyak keistimewaan, termasuk bebas pajak ekspor (PPN). Dan, nilai tambah dari hilirisasi nikel ini, lebih banyak dinikmati investor China. “95 persen nilai tambah dari hilirisasi nikel, bukan dinikmati rakyat Indonesia. Tapi para investor China itu,” kata mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu. 

Faisal menyebut, hampir 100 persen pemilik smelter nikel di Indonesia adalah pengusaha China. Di Indonesia mereka mengolah bijih nikel hanya menjadi nikel pig iron atau fero nikel atau nikel matte. Dengan kata lain, proses pengolahannya hanya 25 persen.

Selanjutnya, 90 persen dari fero nikel yang dihasilkan itu, dikirim ke China. Untuk diproses lagi, sehingga menjadi produk jadi. “Produk jadinya diekspor ke Indonesia. Jadi, siapa yang dapat cuan besar? Pemerintah Indonesia? Jelas bukan,” tegas Faisal.

Selain itu, Faisal menyoroti harga bijih nikel yang dikeruk dari perut bumi Indonesia, super murah. Lagi-lagi, smelter nikel yang dikuasai investor China diuntungkan. Celakanya, pemerintah kita menentukan harga bijih nikel lewat HPH (Harga Patokan Mineral), sangat murah.

“Gambaran saja, harga bijih nikel di Shanghai (Shanghai Metal Market/SMM) itu 80, di sini hanya 40-50. Yang untung siapa? Pemilik smelter kan,” ungkapnya.  

Dalam podcast, Faisal mencoba memberikan paparan yang sederhana tapi masuk akal. Misalnya, bijih nikel nilainya 10, diolah di smelter menjadi fero nikel yang nilainya 50. Selanjutnya, fero nikel itu dieskpor ke China untuk diolah lagi menjadi barang jadi. Dari siklus itu, terjadi nilai tambah senilai 40.

Lalu, nilai tambah yang 40 ini, dinikmati rakyat Indonesia? Jelas tidak. Karena, pemilik smelternya adalah pengusaha yang 100 persen berasal dari China. “Duitnya juga enggak di Indonesia. Mereka bawa ke China. Untuk membayar kredit di bank China, termasuk bunganya,” kata Faisal.

Kalau benar pemerintah untung besar dari hilirisasi nikel, bahkan Presiden Jokowi menyabut cuannya Rp530 triliun, tentu bisa mengurangi utang. Atau mendorong ekspor yang berdampak kepada penguatan nilai tukar (kurs) rupiah.

“Kalau cuan gede masuk, maka nilai tukar rupiah menguat. Karena ekspor naik. Dan, kenapa pemerintah nambah utang kalau dapat cuan dari hilirisasi,” pungkasnya.

 

 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button