Faktanya: Perang adalah Bisnis


Konflik bersenjata selalu membawa penderitaan. Tapi di balik tragedi yang ditanggung warga sipil, perang juga menyimpan sisi lain: ia adalah ladang bisnis yang menguntungkan segelintir pihak. Invasi Israel ke Gaza sejak Oktober 2023 adalah contoh terbaru yang menegaskan fakta itu.

Lebih dari 42 ribu warga Palestina tewas, jutaan lainnya mengungsi, dan infrastruktur Gaza hancur total (Al Jazeera, 2024). Tapi di balik puing-puing Gaza, industri pertahanan justru panen laba besar-besaran. Fakta ini sejalan dengan realitas global yang sudah berlangsung lama: perang bukan hanya soal politik atau keamanan, tapi juga soal uang.

Jejak Anggaran dan Kongsi Militer-Industrialis

Pertama, data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan belanja militer global pada 2024 menembus US$2,7 triliun, naik 9,4% dibanding tahun sebelumnya (SIPRI, 2024). 

Di Timur Tengah, lonjakan belanja militer bahkan mencapai 15%. Israel menjadi salah satu penyumbang terbesar, dengan anggaran pertahanan naik drastis hingga 65%, mencapai US$46,5 miliar. Ini merupakan angka tertinggi sejak Perang Enam Hari 1967 (Reuters, 2024).

Kedua, kenaikan anggaran militer ini tidak semata didorong oleh kebutuhan pertahanan, tetapi juga erat kaitannya dengan apa yang disebut Presiden AS Dwight D. Eisenhower sebagai military-industrial complex (Eisenhower, 1961). Hubungan saling menguntungkan antara pemerintah, militer, dan industri pertahanan inilah yang membuat konflik bersenjata terus dipelihara.

Ketiga, kinerja perusahaan-perusahaan pertahanan Israel selama agresi Gaza menjadi bukti konkret bahwa perang adalah mesin bisnis. 

Elbit Systems membukukan pendapatan kuartal IV-2024 sebesar US$1,93 miliar, dengan lonjakan backlog kontrak ke angka US$22,6 miliar. Sementara itu, saham Lockheed Martin dan RTX (Raytheon) di Amerika Serikat masing-masing melesat 55% dan 83% sejak perang Gaza dimulai (The Nation, 2024).

Efek Kaya di Tengah Derita

Keempat, di tengah warga sipil Palestina yang menjadi korban dan infrastruktur Gaza yang hancur, muncul fenomena wealthy effect—yakni peningkatan kekayaan segelintir korporasi dan pemegang saham industri senjata. Sementara Gaza mengalami kerugian infrastruktur senilai US$18,5 miliar, sebagian pihak di belahan dunia lain justru menghitung keuntungan mereka (World Bank, 2024).

Kelima, meskipun industri pertahanan panen laba, perekonomian Israel justru tertekan. OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Israel hanya 0,6% pada 2024, jauh di bawah rata-rata sebelum perang. Bank of Israel juga memperkirakan biaya agresi ke Gaza akan membebani keuangan negara hingga US$66 miliar dalam dua tahun (Bank of Israel, 2024). Kondisi ini menegaskan bahwa belanja militer memang berdampak ekonomi, tetapi bersifat sektoral dan timpang—sebagaimana dikritik Paul Dunne dalam kajian tentang military multiplier (Dunne, 2012).

Keenam, pola ini bukan hanya terjadi di Gaza. Dalam perang Ukraina, perusahaan pertahanan Eropa seperti Rheinmetall, BAE Systems, dan Saab mencatat rekor pesanan. Di Suriah dan Yaman, perang yang berlarut-larut justru memperkuat ekonomi konflik yang menopang aktor-aktor bersenjata ilegal (Goodhand, 2001; SIPRI, 2024).

Konflik sebagai Rantai Pasok Global

Ketujuh, teori ekonomi perang yang dikembangkan akademisi seperti Paul Dunne dan Jonathan Goodhand menyatakan bahwa konflik bersenjata adalah bagian dari struktur ekonomi global. Selama ada rantai pasok senjata, pasar konflik, dan investasi yang tumbuh di atas kekerasan, perang akan tetap dilanggengkan (Dunne, 2012; Goodhand, 2001).

Dengan demikian, publik perlu jernih membaca realitas. Selama perang masih dipandang semata sebagai isu diplomatik atau perseteruan ideologis, akar persoalan yang sebenarnya—yakni insentif ekonomi di balik konflik—akan terus tersembunyi.

Karena itu, upaya menghentikan perang tidak cukup hanya dengan diplomasi atau seruan damai. Reformasi tata kelola industri senjata global, pengendalian ketat ekspor senjata, transparansi kontrak pertahanan, dan sanksi tegas terhadap korporasi yang memicu konflik harus ditempuh. Tanpa itu, perang akan terus dipelihara karena terbukti menjadi mesin uang yang efektif.

Perang Gaza adalah tragedi besar kemanusiaan. Tapi lebih dari itu, ia adalah cermin telanjang dari brutalnya wajah ekonomi global hari ini. Selama perang tetap menjadi bisnis, selama bom dan peluru dihitung dalam neraca laba, perdamaian hanya akan jadi wacana kosong yang dikalahkan oleh kepentingan.