News

Korupsi Rp 17 Miliar, Wali Kota Bekasi Cuma Dituntut 9 Tahun

Rabu, 14 Sep 2022 – 16:00 WIB

Wali Kota Bekasi Nonaktif Rahmat Effendi. - inilah.com

Wali Kota Bekasi Nonaktif Rahmat Effendi. (Foto: inilah.com)

Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Wali Kota Bekasi nonaktif Rahmat Effendi dihukum sembilan tahun enam bulan penjara dan denda Rp1 miliar dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi.

“Menuntut majelis hakim untuk menjatuhkan pidana  selama sembilan tahun enam bulan penjara dan denda Rp1 miliar, subsider enam bulan kurungan,” kata Jaksa Penuntut Umum KPK Siswhandono di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Rabu (14/9/2022).

Jaksa menuntut Rahmat telah bersalah sesuai Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 B UU  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP.

Selain itu, jaksa juga menuntut agar Rahmat membayar uang pengganti sebesar Rp8 miliar lebih. Dengan ketentuan apabila tidak membayar, harta bendanya akan disita untuk dilelang demi memenuhi uang pengganti tersebut. “Apabila lelang tersebut tidak mencukupi, maka dipenjara tambahan selama dua tahun,” ucap dia.

Kemudian jaksa juga menuntut kepada majelis hakim agar mencabut hak politik untuk dipilih sebagai pejabat publik Rahmat Effendi selama lima tahun. “Terhitung sejak terdakwa menjalani pidana pokoknya,” ujar jaksa.

Tim kuasa hukum Rahmat Effendi meminta waktu selama dua pekan untuk menyiapkan nota pembelaan yang akan disampaikan sebelum pembacaan vonis dari majelis hakim.

Rahmat Effendi didakwa telah menerima suap sebesar Rp10 miliar dari persekongkolan dalam pengadaan lahan di Kelurahan Sepanjang Jaya untuk kepentingan pembangunan polder air. Rahmat juga didakwa menerima uang sebesar Rp7,1 miliar dari setoran para pejabat dan ASN di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi terkait lelang jabatan.

Vonis Koruptor Rendah

Data ICW menunjukkan, kendati tren penindakan kasus korupsi cenderung berfluktuasi sejak 2015 hingga 2020, nilai kerugian negara yang disita atau diselamatkan cenderung meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pengawasan pengelolaan anggaran di pemerintahan semakin lemah setiap tahun.

Maraknya kasus korupsi menunjukkan hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor nampaknya belum memberikan efek jera. Hal tersebut terbukti dari hasil kajian yang dilakukan ICW dengan memantau vonis-vonis yang dijatuhkan hakim di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung.

Dalam catatan ICW, mayoritas vonis yang diberikan sangat ringan. Sepanjang 2020, rata-rata vonis terhadap terdakwa perkara korupsi hanya 3 tahun dan 1 bulan (37 bulan). Sebanyak 760 terdakwa divonis di bawah empat tahun penjara pada 2020. Sedangkan vonis berat hanya dikenakan kepada 18 orang terdakwa.

ICW membagi tiga kategori vonis terhadap pencoleng uang negara. Vonis ringan (0-4 tahun penjara), sedang (di bawah 10 tahun penjara), dan berat (di atas 10 tahun penjara). Pembagian ini dilakukan dengan dasar subjektivitas kejahatan korupsi yang memiliki dampak sistemik kepada masyarakat, sehingga hal itu mesti dimaknai bahwa pelaku harus dihukum berat.

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tuntutan jaksa terhadap hukuman para koruptor memang ada peningkatan sekitar 6 bulan penjara. Namun, vonis yang diberikan kepada terdakwa perkara korupsi masih dikategorikan ringan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button