Market

Gara-gara Perppu Cipta Kerja, Penerimaan Negara Rp34 Triliun Melayang

Peraturan pengganti undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker), ternyata tak hanya merugikan buruh. Dari sisi ekonomi, penerimaan negara berpotensi raib hampir Rp34 triliun.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menerangkan, Perppu Cipta Kerja berpotensi menghilangkan penerimaan negara hampir Rp34 triliun. Tepatnya Rp33,81 triliun, karena ada penerimaan negara dari sektor pertambangan yang menghilang. Lho kok bisa?

Mungkin anda suka

Ya, karena diskresi yang diteken Presiden Jokowi pada Jumat (30/12/2022), mengaur tentang royalti nol persen untuk hilirisasi batubara. Padahal, royalti batubara menjadi penyumbang tersebesar untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor mineral dan batubara (Minerba). Porsinya mencapai 85 persen kepada PNBP Minerba.

Asal tahu saja, PNBP Minerba berada di kisaran Rp173, 5 triliun. Kalau 85 persen maka kontribusi dari royalti batubara setara dengan Rp147 triliun. “Kalau diasumsikan 23 persen dari total produksi batubara masuk ke gasifikasi, sehingga tidak perlu bayar royalti 23 persen. Berapa potensi hilanya penerimaan negara dari pemberlakuan Perppu Ciptaker? Angkanya ketemu Rp33,81 triliun,” terang Bhima dalam diskusi virtual bertajuk Perpu Cipta Kerja, Ganjalan Bagi Komitmen Transisi Energi, Jakarta, Rabu (1/2/2023).

Diterangkan Bhima, angka 23 persen berasal dari proyek Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Di proyek tersebut, sebanyak 23 persen dari total produksi batubara dijadikan dimethyl ether (DME), atau dilakukan proses gasifikasi batubara. Inilah produk yang sedang dikembangkan pemerintah untuk menjadi alternatif gas cair atau LPG.

Bhima menambahkan, potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp33,8 triliun itu berlaku dalam setahun masa pemberlakuan. Bisa dibayangkan ketika konsesi tambang batubara diperpanjang menjadi 20 tahun, semakin besar pula potensi kehilangan pendapatan dari negara. Angkanya bengkak menjadi Rp676,4 triliun.

Di sisi lain, kehilangan pendapatan Rp 33,8 triliun setara dengan 5,7 persen defisit anggaran 2023. “Artinya, semakin besar insentif kepada perusahaan batubara, termasuk hilirisasi, maka akan menambah beban keuangan negara. Insentif tidak tepat sasaran dan negara akan menanggung beban utang ke depannya,” kata Bhima.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button