Gibran Sibuk Membumikan AI, Padahal Kini Jadi Ancaman Besar Siber


Di tengah euforia membumikan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang digencarkan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka, sebuah peringatan keras muncul dari dunia keamanan siber: AI bukan sekadar alat produktivitas, tapi kini menjadi salah satu ancaman terbesar dalam lanskap serangan digital.

Presiden Direktur PT ITSEC Asia Tbk, Joseph Edi Hut Lumban Gaol, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (28/4/2025), mengungkapkan bahwa pelaku kejahatan siber kini memanfaatkan AI untuk menyerang dengan cara yang jauh lebih canggih dan terstruktur.

“Ancaman terbesar itu sebenarnya AI. AI ini sekarang hype, semua orang berpikir AI bisa membantu, tapi AI juga bisa kayak pisau bermata dua,” ujar Joseph.

Menurut Joseph, dengan kemampuan analisis data yang masif dan kecepatan luar biasa, AI mampu membaca pola kebiasaan pengguna, memetakan titik lemah, hingga menyiapkan serangan terpersonalisasi yang sulit terdeteksi. “Kriminal siber menggunakan AI sebagai alat untuk memanipulasi,” tambahnya.

Ia menjelaskan, baik pihak yang bertahan (defender) maupun yang menyerang (offender) kini sama-sama memanfaatkan AI. “Jadi ini perangnya makin seru. Kita harus selalu berkejar-kejaran,” tegas Joseph.

Ironisnya, peringatan ini datang saat pemerintah tengah giat mengkampanyekan penggunaan AI ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk rencana Gibran membumikan AI di tingkat SMA, bahkan hingga ke anak-anak TK dan PAUD.

Padahal, literasi digital dan kesiapan keamanan siber Indonesia masih relatif lemah. Membuka akses AI secara luas tanpa menyiapkan fondasi kritis dan etis bisa membuka celah baru bagi serangan siber massal.

Studi terbaru Microsoft dan Universitas Carnegie Mellon bahkan telah memperingatkan bahwa penggunaan AI tanpa kemampuan berpikir kritis dapat menurunkan kemampuan kognitif individu, memperparah ketergantungan pada mesin, dan mengurangi daya nalar pengguna.

“Kalau literasi kritis tidak dibangun dari awal, kita bukan hanya mencetak generasi pasif, tapi juga generasi yang rentan dimanipulasi melalui teknologi yang seharusnya mereka kuasai,” bunyi kesimpulan para peneliti dalam studi tersebut.

Dengan AI kini menjadi pisau bermata dua di medan tempur siber global, upaya membumikan AI seharusnya disertai roadmap serius terkait literasi kritis, etika teknologi, dan keamanan digital. Tanpa itu, semangat adaptasi teknologi yang dibawa Gibran berisiko besar menjadi bumerang bagi masa depan generasi muda Indonesia.