Guru Besar UI: Putusan MK soal Pemilu tak Sesuai Konstitusi, Apakah akan Tingkatkan Kualitas Demokrasi?


Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Valina Singka Subekti menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam konstitusi. Menurutnya, MK memutuskan peraturan tersebut hanya untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis.

“Saya lihat begitu supaya efisien penyelenggaraan pemilunya, supaya lebih mudah pemilihnya kemudian tujuan idealnya supaya kualitas demokrasi lebih baik dan seterusnya,” kata Valina dalam postingan akun Tiktok Gema Pos dikutip Inilah.com, di Jakarta, Sabtu (5/7/2025).

Padahal, menurutnya persoalan itu secara normatif garis besarnya sudah diatur dalam konstitusi. Selebihnya, secara mikro mengenai peraturan-peraturan lainnya untuk mendukung pasal-pasal konstitusi tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Putusan MK meskipun punya tujuan yang baik saya kira tapi ini juga bisa jadi bahan diskusi apakah dengan dipisahkannya pemilu nasional dan lokal itu akan meningkatkan kualitas demokrasi kita,” ujarnya menegaskan.

Valina menekankan perlunya kembali kepada Putusan MK yang sesuai konstitusi amandemen ke 3 Bab VII B pasal 22 E, yakni Putusan MK No 14 tahun 2013. Valina juga tegas menyebut bahwa pilkada masuk pada tata pemerintahan atau kekuasaan pemda, bukan pada pemilu.

Adapun bila dicermati lebih jauh, masalah-masalah yang muncul terkait Putusan MK sebenarnya merupakan persoalan teknis, bukan soal konstitusionalitas. MK seharusnya cukup menetapkan rambu-rambu umum saja. Dengan demikian, MK dinilai telah melanggar batas etis atau menunjukkan perilaku tidak beretika karena memberikan tafsir secara serampangan dan mengubah norma hukum yang sudah konkret dan jelas dalam Pasal 22E UUD 1945 serta Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.

Karena itu, tidak perlu mematuhi Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Sebaliknya, pembentuk undang-undang dapat berpedoman pada putusan MK lainnya yang konstitusional dan sesuai dengan UUD 1945, seperti Putusan MK Nomor 14 Tahun 2013, yang menetapkan pemilu dilaksanakan untuk lima lembaga negara, yaitu DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Adapun persoalan teknis kepemiluan dapat diatasi dengan penggunaan teknologi, perubahan sistem pemilu, maupun penerapan sistem distrik magnitude. Hal-hal teknis seperti wilayah kewenangan DPRD dan Presiden juga dapat diatur dengan mekanisme yang sudah ada. Kita harus menjaga tata negara tetap sesuai dengan konstitusi.

Selain itu, Putusan MK berpotensi menimbulkan instabilitas nasional dan daerah, sehingga tidak memiliki kemanfaatan untuk merawat empat konsensus bernegara bagi seluruh penyelenggara dan lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangan yang sudah dibatasi oleh UUD 1945.

MK juga telah dinilai melampaui batas etis dengan mengambil kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam hal mengubah dan menetapkan UUD. Dalam situasi darurat, MPR dapat saja melakukan Sidang Istimewa untuk mengoreksi dan membatasi kewenangan MK agar di masa mendatang para hakim MK tidak lagi secara serampangan melakukan tafsir yang secara terang benderang mengubah norma konstitusi UUD 1945.