Pemerintah menyampaikan bahwa cadangan beras yang dikelola oleh Bulog per Mei 2025 telah mencapai angka yang tak main-main: 4 juta ton. Ini disebut-sebut sebagai rekor tertinggi sejak Bulog berdiri pada 1969. Namun, pernyataan ini justru membingungkan masyarakat. Aneh bin ajaib, ketika stok berlimpah ruah dan bahkan menyentuh titik tertinggi dalam sejarah, justru harga beras di pasar melesat naik.
Fenomena ini bukan sekadar ganjil, tetapi secara logika ekonomi terasa janggal. Bagaimana mungkin hukum pasokan dan permintaan tiba-tiba tidak berlaku? Jika barang melimpah, seharusnya harga turun. Namun, berdasarkan data Pusat Informasi Harga Strategis (PIHPS) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, di pasar tradisional yang menjadi cermin nyata kehidupan rakyat sehari-hari, harga beras medium I per 20 Juni 2025 mencapai Rp15.650 per kilogram. Angka ini naik 2,3 persen secara tahun berjalan dan 1,3 persen dibanding bulan sebelumnya.
Lebih parah lagi jika dikaitkan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET). Pemerintah melalui Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 7 Tahun 2024 telah menetapkan bahwa harga beras medium untuk wilayah seperti Jawa, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, NTB, dan Sulawesi seharusnya hanya Rp12.500 per kilogram. Tapi nyatanya, harga telah jauh lebih tinggi dari itu—dengan selisih 18 persen. Selisih ini bukan angka kecil. Ini adalah bukti bahwa harga yang sebenarnya dikendalikan oleh mekanisme di luar jangkauan publik.
Siapa yang Bermain di Balik Harga?
Pertanyaannya: siapa yang bermain di balik semua ini? Menteri Pertanian Amran Sulaiman, pada 2 Juni 2025, secara terbuka menyebut adanya “permainan” di pasar beras yang menyebabkan lonjakan harga. Pernyataan ini seolah menghidupkan kembali ingatan kolektif kita pada tahun 2015, ketika menteri yang sama menyampaikan hal serupa. Satu dekade dengan satu pernyataan yang tidak berubah. Apakah masalahnya memang tidak pernah selesai, ataukah tidak pernah benar-benar dicari akar penyebabnya? Pemerintah perlu menjelaskan ini secara terbuka.
Jika benar ada permainan, maka pertanyaan selanjutnya adalah: siapa yang bermain, dan siapa yang membiarkan mereka bermain? Pemerintah melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lembaga terkait lainnya semestinya tidak hanya menjadi penonton pasif. Saat aktor-aktor pasar mulai menunjukkan indikasi perilaku oligopolistik yang merugikan konsumen, maka intervensi tegas bukan hanya penting—tetapi wajib. Ini soal perlindungan konsumen, bukan sekadar statistik dan rapat koordinasi.
Di tengah tekanan ekonomi yang belum benar-benar pulih, naiknya harga pangan menjadi ancaman nyata. Daya beli masyarakat terus tergerus, sementara pemerintah masih sibuk menghitung stok di gudang. Sebagian besar rakyat tidak makan dari gudang Bulog, tetapi dari harga yang mereka dapati di pasar. Dan ketika harga itu melambung, tidak ada artinya surplus jika tidak sampai ke perut rakyat.
Bagi masyarakat menengah ke bawah, pengeluaran untuk konsumsi pangan merupakan salah satu beban terbesar. Ketika harga beras naik, ini bukan sekadar persoalan angka, melainkan soal kehidupan sehari-hari. Ini tentang apakah anak bisa makan tiga kali sehari atau tidak. Ketika harga beras naik terus, beban hidup makin berat, tekanan sosial pun ikut menumpuk.
Kelembagaan Lemah, Distribusi Lumpuh
Pemerintah seharusnya sadar bahwa sistem distribusi pangan, khususnya beras, adalah urat nadi ketahanan pangan nasional. Mayoritas masyarakat Indonesia menjadikan beras sebagai pangan pokok. Tidak cukup hanya menyatakan stok melimpah. Yang jauh lebih penting adalah memastikan bahwa stok tersebut benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dengan harga yang sesuai aturan.
Pengawasan terhadap rantai distribusi—dari petani, penggiling, pedagang besar, hingga pengecer—harus menjadi prioritas. Jika ada pelaku usaha yang menimbun atau mempermainkan harga, maka hukum harus ditegakkan. Pemerintah tidak bisa lagi hanya mengimbau atau berharap pasar menyelesaikan persoalannya sendiri.
Alih-alih menyelesaikan masalah, suara pemerintah justru terdengar lirih. Tidak terlihat adanya upaya yang serius dalam mengatasi persoalan ini. Tidak ada laporan rinci yang menjelaskan mengapa harga bisa melonjak ketika stok justru membludak. Tidak ada penjelasan mengapa HET hanya menjadi angka di atas kertas. Kondisi ini seolah menggambarkan bahwa upaya menegakkan aturan harga masih jauh panggang dari api.
Pemerintah harus menjawab, bukan membela diri. Apa yang sebenarnya terjadi dengan distribusi beras kita? Siapa yang bermain di balik harga? Apakah sistem pengawasan selama ini hanya basa-basi belaka? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan optimisme palsu dan angka-angka besar tanpa makna.
Solusi Bukan Bantuan Sesaat
Jangan lupa, isu pangan selalu menjadi titik rawan politik. Pemerintah yang gagal menjaga kestabilan harga pangan akan menghadapi risiko besar di ranah sosial dan politik. Rakyat bisa memaafkan banyak hal, tetapi tidak ketika perut mereka dikorbankan demi statistik. Ketika perut rakyat dipertaruhkan, setiap kebijakan yang ambigu adalah bentuk kekejaman. Setiap angka yang disajikan tanpa bukti nyata hanyalah ilusi yang memelihara kekacauan.
Solusi tidak bisa hanya berupa program jangka pendek seperti operasi pasar atau bantuan sosial. Yang dibutuhkan adalah pembenahan menyeluruh dari hulu ke hilir: mulai dari produksi, distribusi, hingga penetapan harga yang realistis dan dapat dijaga.
Pemerintah harus membangun sistem distribusi beras nasional yang transparan dan berbasis teknologi, yang mampu memantau aliran beras dari gudang hingga pasar secara real time. Pemerintah juga harus memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP), tidak hanya dari sisi volume, tetapi juga dari sisi kecepatan penyaluran saat terjadi gejolak harga, serta melibatkan koperasi petani dalam rantai distribusi.
Selain itu, integrasi data produksi, stok, dan konsumsi beras antarlembaga harus dibuka untuk publik agar siapa pun bisa ikut memantau dan melapor ketika ada permasalahan. Tentunya peran dari berbagai elemen pemerintah seperti Kementerian Perdagangan, Badan Pangan Nasional, Perum Bulog, Kementerian Komunikasi dan Digital, serta KPPU menjadi sangat penting.
Tanpa perbaikan kelembagaan dan arsitektur distribusi yang adil dan efisien, surplus beras hanya akan menjadi angka tanpa makna bagi rakyat.