Lahan pertambangan tembaga milik PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN). (Foto: Antara/HO-AMMN)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Geger pasar dunia! Harga tembaga, si logam merah ajaib, bakal mendadak melonjak ke rekor tertinggi sepanjang sejarah. Pemicunya? Siapa lagi kalau bukan ulah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang baru saja mengumumkan rencana tarif 50 persen untuk semua impor tembaga. Sebuah manuver yang bikin pasar kaget setengah mati.
Tapi di tengah kegaduhan ini, ada satu negara yang justru nyengir kuda, bukan jadi korban, melainkan mendadak punya peluang strategis nan ciamik. Dialah Indonesia! Bukan hanya dapat mengambil alih kue pasar global, tapi juga berpotensi memperkuat kantong negara lewat ekspor dan bea keluar. Bisa jadi inilah yang dinamakan hoki di tengah derita orang lain!
Lonjakan harga tembaga memang tak bisa dianggap enteng. Sentimen ‘Trump Effect’ ini langsung membawa harga tembaga terbang ke level US$5,676 per pon,atau sekitar US$12.510 per ton. Dalam sehari saja, kenaikannya nyaris 3,6 persen.
Ini mempertegas tren global yang sudah terjadi sejak 2024, gara-gara pasokan dari Amerika Latin yang defisit parah, sementara permintaan dari sektor kendaraan listrik (EV) dan teknologi kecerdasan buatan (AI) terus meroket gila-gilaan.
Bayangkan saja, Bank of America sudah memproyeksikan harga tembaga bisa menyentuh US$5,44 per pon di tahun 2026. Sementara International Copper Study Group meramal konsumsi global tahun ini bakal tembus 25,88 juta ton.
Artinya, ini bukan cuma anomali sesaat, tapi tren jangka panjang yang bikin para pemilik tambang tembaga senyum lebar.
Nah, saat negara-negara eksportir tembaga kakap macam Peru dan Meksiko pusing tujuh keliling mikirin bakal kena cekik tarif Trump, Indonesia justru berdiri di garis yang berbeda.
Kita patut berlega hati. Data ekspor dari Satudata Kemendag menunjukkan, periode Januari hingga April 2024, Indonesia mengekspor bijih tembaga US$2,26 miliar, plus produk tembaga dan turunannya sebesar US$781 juta.
Yang menarik, sebagian besar ekspor ini tidak mendarat di AS, melainkan ke China dan kawasan Asia lainnya.
Artinya apa? Beban tarif AS terhadap tembaga bukan ancaman besar bagi RI. Justru sebaliknya! Ini adalah peluang emas untuk mengisi kekosongan pasokan global yang ditinggalkan negara-negara korban tarif Trump. Kita bisa jadi pemasok alternatif yang diandalkan dunia.
Keuntungan ini tak hanya soal pasar. Efeknya juga langsung terasa di kas negara. Lihat saja, bea keluar pada semester I 2025 melonjak drastis hingga Rp14,6 triliun. Angka ini 327,6 persen dari target, dan tumbuh 80,4 persen secara tahunan!
Meski sawit (CPO) jadi penyumbang utama, laporan pemerintah jelas menyebut kebijakan relaksasi ekspor tembaga ikut berperan signifikan. Kalau harga tembaga terus ‘panas’, penerimaan negara dari sektor ini bakal terus membengkak, baik dari ekspor langsung maupun hasil hilirisasi.
Dan jangan lupakan aset strategis kita. Cadangan tembaga Indonesia itu bukan kaleng-kaleng. Berdasarkan data USGS 2020 yang dikutip Kementerian ESDM, RI punya cadangan logam tembaga sebesar 24 juta ton, atau 3 persen dari total cadangan global.
Secara nasional, total bijih tembaga mencapai 2,63 miliar ton, dengan produksi 100 juta ton per tahun. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pemilik cadangan tembaga terbesar di dunia. Modal berharga di tengah krisis pasokan global.
Dengan cadangan melimpah, rencana pembangunan smelter raksasa yang terus berjalan, serta pasar ekspor yang relatif terlindung dari risiko tarif, Indonesia punya peluang nyata untuk naik kelas di peta tembaga global.
Di saat negara-negara lain pusing mikirin perang dagang, RI justru bisa menyusun strategi jitu untuk jadi pemasok alternatif dunia. Ini bukan cuma keuntungan jangka pendek, tapi juga langkah fundamental dalam skema hilirisasi yang bakal memperkuat ketahanan ekonomi nasional kita untuk jangka panjang.