Harusnya Ditangani Dulu oleh Dewan Pers, Langkah Kejagung Jerat Jurnalis Dinilai Terlalu Jauh


Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) melangkah terlalu jauh dengan menetapkan mantan Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar (TB) sebagai tersangka dalam dugaan perintangan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Penetapan dilakukan atas bukti sejumlah karya jurnalistik terkait narasi pemberitaan negatif mengenai penyidikan perkara yang tengah ditangani Kejagung, khususnya CPO

“Kita melihat Kejaksaan sebagai penegak hukum terlalu jauh melangkah untuk menjadikan Direktur Pemberitaan JakTV tersebut sebagai tersangka dengan delik perintangan dan buktinya pemberitaan,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI, Erick Tanjung, dalam diskusi bertajuk “Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power?” di Restoran Tjikini Lima, Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025).

Menurut Erick, karya jurnalistik seharusnya diuji melalui mekanisme khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, dengan melibatkan Dewan Pers terlebih dahulu.

“Kalau bicara tentang pemberitaan, karya jurnalistik, itu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 99 (tentang) Pers yang mana itu mengatur semua tentang kerja jurnalistik, produk jurnalistik, itu kewenangannya diberikan ke Dewan Pers,” ucapnya.

Erick mengkhawatirkan jika kasus ini dibiarkan, Pasal 21 UU Tipikor dapat menjadi pasal karet yang tidak hanya mengancam jurnalis, tetapi juga masyarakat umum yang mengkritisi kinerja aparat penegak hukum.

“Nah, ini akan menjadi berbahaya untuk kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi. Akan berbahaya nanti pasal ini juga, pasal karet ini menjadi alat untuk membungkam suara kritis dari publik. Karena kalau yang kasus berita bisa dijerat ini lolos, itu yang jadi perhatian kita karena bisa menjadi ancaman kebebasan berekspresi dan berpendapat,” pungkasnya.

Sebelumnya, tim penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan perintangan penyidikan dan penuntutan (obstruction of justice).

Ketiganya adalah Tian Bahtiar (TB), selaku Direktur Pemberitaan JakTV; Marcella Santoso, sebagai kuasa hukum; serta Junaedi Saibih, dosen dan kuasa hukum.

“Pertama tersangka MS selaku advokat, kedua tersangka JS sebagai dosen dan advokat. Ketiga, tersangka TB selaku Direktur Pemberitaan JakTV,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, di Kejaksaan Agung, Selasa (22/4/2025) dini hari.

Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, ketiganya telah menjalani pemeriksaan oleh penyidik. Dari hasil pemeriksaan, diperoleh fakta hukum bahwa mereka diduga bersepakat untuk menghalangi penyidikan beberapa perkara yang tengah ditangani oleh Marcella.

Adapun perkara-perkara tersebut antara lain kasus dugaan korupsi di PT Timah, impor gula, dan suap vonis lepas dalam perkara ekspor minyak mentah atau CPO.

“Terdapat permufakatan jahat yang dilakukan MS, JS, bersama-sama dengan TB selaku Direktur Pemberitaan JakTV untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP, di PT Pertamina, dan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula atas nama tersangka Tom Lembong. Baik dalam penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan,” ujar Qohar.

Permufakatan jahat itu bermula dari pemberian uang sebesar Rp478 juta oleh Marcella dan Junaedi kepada Tian, agar JakTV memproduksi pemberitaan negatif terhadap penyidikan yang dilakukan Kejagung. Berita-berita tersebut kemudian dipublikasikan melalui media sosial, media daring, dan siaran JakTV. Akibatnya, Kejagung dianggap melakukan tindakan yang merugikan hak tersangka atau terdakwa yang dibela Marcella dan Junaedi.

“Kemudian, tersangka JS membuat narasi-narasi dan opini-opini positif bagi timnya, yaitu MS dan JS, kemudian membuat metodologi perhitungan kerugian negara dalam penanganan perkara a quo yang dilakukan Kejaksaan adalah tidak benar dan menyesatkan. Tersangka TB menuangkannya dalam berita di sejumlah media sosial dan media daring,” tambahnya.

Marcella dan Junaedi juga membiayai aksi demonstrasi guna menggagalkan proses hukum. Berita mengenai aksi ini kembali diframing oleh Tian agar Kejagung terkesan negatif.

Mereka juga menyelenggarakan dan mendanai kegiatan seperti seminar, podcast, dan talkshow di beberapa media daring, yang berisi narasi negatif untuk mempengaruhi opini publik dan pembuktian perkara di persidangan. Konten tersebut turut disebarluaskan lewat akun media sosial JakTV.

“Jadi tujuan mereka jelas, dengan membentuk opini negatif, seolah penyidik tidak menangani perkara dengan benar. Ini dimaksudkan agar perkara dibebaskan, atau setidaknya mengganggu konsentrasi penyidik,” imbuhnya.

Saat ini, lanjut Qohar, sejumlah barang bukti elektronik seperti percakapan antar tersangka dalam permufakatan jahat telah dihapus. Namun, ketiganya membantah tuduhan tersebut. Atas perbuatannya, mereka dijerat dengan Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.