Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan strategis: terlalu banyak “strategi” berhenti sebagai parade slide PowerPoint penuh jargon, tanpa satu pun keputusan nyata. Saya menyebut fenomena ini False Strategist—rekomendasi mahal yang berujung mati di lemari arsip, sementara masalah sebenarnya dibiarkan menumpuk. Padahal, semua jawaban terbaik sudah tersembunyi dalam keragaman budaya dan konteks lokal kita. Inilah saatnya kita mengubur strategi dangkal dan membangun Holistic Strategist, pemimpin yang mampu mengubah visi menjadi aksi nyata dengan mempertimbangkan berbagai aspek menyeluruh.
Seorang Holistic Strategist menggabungkan kemampuan berpikir konseptual dan keterampilan eksekusi lapangan—mereka menguasai vision & execution, analysis & synthesis, serta memimpin tim melewati setiap tahap implementasi. Mereka tidak hanya merancang rencana, tetapi juga memastikan setiap langkah terlaksana dengan disiplin tinggi.
Indonesia membutuhkan revolusi dalam pendekatan strategis. Selama ini, kultur kita mengagungkan kerumitan sebagai penanda intelektualitas, menghasilkan strategi yang penuh jargon namun tidak dapat dieksekusi. Pengalaman bersama Menko Infrastruktur Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengajarkan bahwa strategi sejati dimulai dari tiga pertanyaan sederhana: di mana posisi kita, ke mana tujuan kita, dan bagaimana cara mencapainya.
Strategi Nyata Butuh Narasi, Keberanian, dan Eksekusi
Masalah kedua adalah sindrom “orang terpintar di ruangan” yang lebih mementingkan reputasi intelektual daripada dampak kolektif. Strategis hebat adalah mereka yang menciptakan ruang aman bagi kecerdasan kolektif tumbuh.
Narasi menjadi elemen kunci. Manusia tidak membeli data, mereka membeli emosi yang dibungkus logika. Ketika Bang Iftitah meyakinkan Presiden tentang anggaran kementerian, ia memulai dengan kisah nyata transmigran, bukan angka-angka. Cerita inilah yang membuka keputusan strategis “Super Maksimal.”
Keberanian mengambil posisi tegas juga sangat penting. Strategi tanpa sudut pandang adalah prakiraan cuaca yang tak berguna. Pemimpin strategis harus berani menetapkan arah, dengan mitigasi risiko yang jelas.
Strategi yang baik justru terasa tidak nyaman. Ia menantang status quo, memaksa organisasi berubah. Dalam konteks ini, target tinggi yang ditetapkan oleh Menko AHY adalah contoh nyata keberanian strategis.
Eksekusi adalah segalanya. Birokrasi kita sering memisahkan perencana dan pelaksana. Akibatnya, strategi berhenti sebagai dokumen. Pengalaman saya bersama BRAINS Demokrat menunjukkan bahwa pendekatan berbasis riset, data, dan inovasi adalah kunci menjembatani ide dan tindakan.
Merangkai Ide, Narasi, dan Aksi dalam Kepemimpinan Strategis
Kemampuan memosisikan ide secara strategis adalah seni tersendiri. Ide brilian yang disampaikan dengan cara biasa bisa kalah dari ide biasa yang disajikan dengan menarik.
Selain itu, komunikasi visual, literasi finansial, dan kemampuan menulis bukan sekadar pelengkap. Desain adalah arsitektur komunikasi. Bahasa ROI dan cash flow harus dikuasai. Dan tulisan yang jernih menandakan pemahaman yang matang.
Indonesia memiliki semua potensi—bonus demografi, SDA melimpah, dan posisi strategis. Namun seringkali gagal mengeksekusi karena kekurangan pemimpin strategis sejati.
Membangun Generasi Holistic Strategist Menuju Indonesia Emas 2045
Saya mengajak Anda bergabung dalam Strategic Insurgency—gerakan untuk menghentikan budaya strategi yang dangkal. Ini bukan hanya soal teori, tapi pembuktian lewat tindakan nyata.
Bagi individu, mulai dengan audit diri: apakah kita sungguh strategis, atau hanya terlihat pintar? Uji strategi di lapangan. Belajar dari mentor. Dan berbagi ilmu.
Bagi organisasi, rekrut mereka yang berpikir strategis. Bangun budaya yang mendorong keberanian mengambil sikap. Ukur keberhasilan bukan dari aktivitas, tetapi dari hasil.
Bagi institusi pendidikan, tanamkan kemampuan strategis di setiap disiplin. Libatkan mahasiswa dalam proyek riil. Undang praktisi. Dan ukur keberhasilan dari dampak nyata.
Saya menulis ini bukan karena sudah selesai belajar, tapi karena sedang berada dalam perjalanan. Sepuluh tahun lalu, saya bangga dengan slide rumit. Kini, saya belajar bahwa strategi adalah tentang menyelesaikan masalah.
Dari AHY dan Bang Iftitah, saya belajar bahwa pemimpin sejati menciptakan ruang tumbuh bagi kecerdasan kolektif, dan berani menarasikan visi secara bermakna. Pemimpin strategis sejati tidak hanya merancang masa depan, tapi menjalankannya dengan keteguhan.
Bayangkan jika semua institusi kita diisi Holistic Strategist. Indonesia tidak hanya besar dalam potensi, tapi juga kuat dalam pelaksanaan.
Strategi bukan soal slide mewah. Strategi adalah soal memperjelas arah, menggerakkan tim, dan memperbaiki sistem.
Karena ketika logika dan kepekaan menyatu dalam diri pemimpin, maka lahirlah pemimpin yang berpikir dengan kepala, merasa dengan hati, dan bertindak dengan keberanian.
Kita butuh lebih banyak pemimpin seperti itu untuk menuntun bangsa ini menuju mimpi kolektif Indonesia Emas 2045.