Ibrahim Traoré: Denyut Baru Burkina Faso dan Afrika


Dampak Ibrahim Traoré melampaui batas-batas Burkina Faso. Ia telah menjadi simbol harapan dan perlawanan di seluruh benua Afrika. Kaum muda di berbagai negara melihatnya sebagai inspirasi, sebagai bukti bahwa perubahan itu mungkin.

Di tengah denting waktu yang tak pernah berhenti, di sebuah sudut Afrika Barat yang kerap luput dari perhatian kecuali saat kerusuhan meledak, muncul seorang pemuda. Namanya Ibrahim Traoré. Usianya baru tiga puluhan akhir, namun ia telah menggenggam Burkina Faso, sebuah negeri yang namanya sendiri berarti ‘Tanah Orang-Orang Jujur’. Ada ironi di sana, tentu saja, mengingat kerapuhan kejujuran di gelanggang kekuasaan.

Kemunculan Traoré tak ubahnya gelombang kejutan di kolam yang keruh. Ia bukan datang dari bilik-bilik parlemen, pun bukan dari podium-podium kampanye yang menjanjikan surga. Ia datang dari barak militer, sebuah pintu gerbang yang tak asing lagi bagi kekuasaan di banyak negeri.

Pada September 2022, dalam sebuah ‘koreksi’ militer, ia menyingkirkan pendahulunya, Paul-Henri Sandaogo Damiba, yang ironisnya juga naik melalui jalan yang sama (kudeta). Siklus ini, seolah tak berkesudahan, adalah simfoni keputusasaan yang dimainkan di atas panggung politik Afrika.

Namun, Traoré bukan sekadar perwira yang kebetulan berkesempatan menguasai. Ada resonansi yang lebih dalam dari dirinya, sebuah gema dari masa lalu yang tak pernah sepenuhnya padam di benua ini. Ia disebut-sebut sebagai penerus spiritual Thomas Sankara, ‘Che Guevara dari Afrika’, yang pernah memimpin Burkina Faso dengan visi revolusioner pada era 1980-an.

Mendengar nama Sankara, ingatan banyak orang melayang pada sebuah era idealisme, sebuah utopia yang tak sempat mekar penuh sebelum dipenggal oleh peluru. Traoré, dalam banyak hal, seolah mewarisi kobaran api itu.

Gema Marxisme dan Pan-Afrikanisme

Apabila mau mencoba memahami Ibrahim Traoré, mau tak mau kita harus menelisik dua lensa ideologis yang membentuknya: Marxisme dan Pan-Afrikanisme. Ini bukan sekadar label, melainkan kerangka berpikir yang menuntun gerak-geriknya, setidaknya di permukaan.

Dari Marxisme, Traoré mengambil pisau analisis yang tajam untuk membedah masalah negerinya. Ia melihat bukan sekadar ‘terorisme’ yang menggerogoti, melainkan ‘imperialisme’. Baginya, kekerasan yang melanda Burkina Faso adalah gejala dari penyakit yang lebih besar: upaya kekuatan eksternal untuk menjaga Afrika dalam cengkeraman dependensi, agar sumber daya alamnya bisa terus dijarah.

Ini adalah narasi yang tak asing bagi mereka yang akrab dengan teori ketergantungan dan kritik Marxis terhadap sistem kapitalis global. Nasionalisasi tambang emas, pembentukan kilang emas nasional, serta tuntutan agar perusahaan asing menyerahkan sebagian saham kepada negara, semua ini adalah langkah konkret yang berakar pada keyakinan bahwa kekayaan sebuah bangsa haruslah dinikmati oleh rakyatnya sendiri, bukan oleh korporasi asing.

Bayangkan saja, sebuah negeri yang kaya akan emas, namun rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian. Traoré, dengan gagasan yang mungkin didapat dari bacaan-bacaan klasiknya di bangku universitas, atau dari diskusi-diskusi bawah tanah di asrama, melihat kontradiksi ini sebagai sebuah kejahatan struktural.

Ia menolak IMF dan Bank Dunia, institusi yang seringkali dianggap sebagai alat penindasan ekonomi baru, seolah berkata: “Kami bisa berdiri sendiri, kami akan mengelola takdir kami sendiri.” Ada kemarahan yang jujur di balik sikap ini, sebuah kemarahan yang telah lama terpendam dalam sanubari banyak orang Afrika.

Kemudian, ada Pan-Afrikanisme, ideologi yang seolah membakar kembali semangat persatuan dan kemandirian benua. Bagi Traoré, ini bukan hanya teori, melainkan panggilan jiwa. Penolakan terhadap Prancis, bekas penjajah, adalah manifestasi paling kentara dari semangat ini.

Pengusiran tentara Prancis, pembekuan media Prancis, hingga pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan mata uang CFA franc yang masih mengikat ekonomi regional pada Paris, semua ini adalah deklarasi kemerdekaan yang lantang. Ini adalah upaya untuk memutuskan tali-tali pusar kolonial yang, meski tak terlihat, masih mencekik.

Tak hanya itu, pembentukan Aliansi Negara-negara Sahil atau Alliance des États du Sahel (AES) bersama Mali dan Niger adalah sebuah langkah berani menuju integrasi regional yang otonom. Ini adalah upaya menciptakan kekuatan tandingan, sebuah blok yang mampu berdiri tegak di tengah gejolak global, tanpa harus tunduk pada dikte-dikte kekuatan adidaya.

Ini adalah perwujudan mimpi Pan-Afrikanisme yang lebih besar: Afrika yang bersatu, kuat, dan mandiri, sebuah benua yang berbicara dengan suaranya sendiri.

Di Bawah Sorot Lampu Sejarah

Popularitas Traoré di Burkina Faso terus melonjak. Ia adalah simbol pemuda yang bangkit, yang berani menantang status quo. Ia adalah pemimpin yang tak segan turun ke lapangan, berbincang dengan rakyat, dan menunjukkan tekad baja untuk menghadapi ancaman teroris yang kian merajalela. Di mata banyak orang, ia adalah pahlawan yang tengah berjuang merebut kembali martabat yang telah lama hilang.

Namun, di balik narasi kepahlawanan itu, ada kontradiksi yang menggantung. Ia adalah seorang pemimpin militer yang merebut kekuasaan melalui kudeta. Di satu sisi, ia berbicara tentang kebebasan dan kedaulatan, namun di sisi lain, ada laporan tentang penindasan terhadap perbedaan pendapat, bahkan penangkapan aktivis yang kritis.

Demokrasi, dalam pengertian liberal Barat, seringkali terpinggirkan demi ‘stabilitas’ dan ‘efisiensi’ di tengah krisis keamanan. Ini adalah dilema abadi yang selalu menghantui revolusi: sampai sejauh mana kebebasan individu boleh dikorbankan demi cita-cita yang lebih besar?

Lalu, ada pertanyaan tentang ‘pihak ketiga’. Dalam narasi anti-imperialisme, kerap kali muncul kekuatan baru yang mengisi kekosongan. Dalam kasus Burkina Faso, seperti halnya Mali dan Niger, bayangan Rusia mulai terlihat. Apakah ini sekadar mengganti satu tuan dengan tuan yang lain? Atau apakah ini bagian dari strategi diversifikasi aliansi yang lebih besar, sebuah upaya untuk menyeimbangkan kekuatan dan menghindari dominasi tunggal?

Pertanyaan ini masih menggantung di udara, belum terjawab oleh waktu.

Traoré juga memperpanjang masa jabatannya, sebuah langkah yang umum terjadi pada pemimpin-pemimpin yang naik tak melalui kotak suara. Ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmennya terhadap transisi demokrasi di masa depan.

Akankah ia menjadi Thomas Sankara yang lain, seorang revolusioner yang terhenti di tengah jalan? Atau akankah ia menemukan cara untuk mengintegrasikan idealismenya dengan kebutuhan akan legitimasi demokratis yang lebih luas? Sejarah, dengan segala kekejamannya, akan menjadi hakim.

Harapan yang Menggelora

Dampak Ibrahim Traoré melampaui batas-batas Burkina Faso. Ia telah menjadi simbol harapan dan perlawanan di seluruh benua Afrika. Kaum muda di berbagai negara melihatnya sebagai inspirasi, sebagai bukti bahwa perubahan itu mungkin.

Pidatonya yang berapi-api di KTT Rusia-Afrika pada 2023, di mana ia mendesak para pemimpin Afrika untuk ‘berhenti bersikap seperti boneka yang menari setiap kali kaum imperialis menarik tali’, adalah momen yang menggemparkan. Itu adalah seruan untuk martabat, sebuah ajakan untuk bangkit dari tidur panjang.

Kemunculan Traoré, bersama dengan para pemimpin muda lainnya di wilayah Sahil, menandai pergeseran signifikan dalam dinamika politik Afrika. Ini adalah sinyal bahwa era di mana bekas kekuatan kolonial dapat dengan mudah mendikte urusan dalam negeri telah berakhir. Ini adalah era di mana Afrika, perlahan namun pasti, mulai menegaskan otonominya.

Namun, jalan masih panjang. Tantangan keamanan tetap menjadi momok yang menakutkan. Pembangunan ekonomi adalah gunung yang curam untuk didaki. Dan yang paling penting, pertanyaan tentang bagaimana membangun institusi yang kokoh, yang dapat menjamin transisi kekuasaan yang damai dan partisipasi rakyat yang berarti, masih menjadi pekerjaan rumah terbesar.

Pada akhirnya, Ibrahim Traoré adalah sebuah fenomena yang kompleks. Ia adalah produk dari keputusasaan yang melanda negerinya, sebuah keputusasaan yang lahir dari eksploitasi, ketidakamanan, dan frustrasi terhadap tata dunia yang timpang. Ia adalah simbol harapan bagi banyak orang, api yang membakar semangat Pan-Afrikanisme, sekaligus tokoh yang menghadapi dilema dan kontradiksi kekuasaan.

Sejarah belum selesai menulis kisahnya. Kita hanya bisa mengamati, merenung, dan berharap bahwa Burkina Faso, ‘Tanah Orang-Orang Jujur’ ini pada akhirnya akan menemukan jalannya menuju keadilan, kedamaian, dan kemakmuran, tak peduli siapa pun yang menggenggam kemudinya. Dan bahwa gema dari seorang kapten muda ini akan terus mengingatkan kita tentang harga sebuah kedaulatan, dan beratnya amanah sebuah revolusi.