Kanal

In Memoriam Ridwan Saidi: Tentang Asal-usul Masyarakat Betawi dan Penolakan Teori Lance Castle

Lance Castle menyebut etnis Betawi muncul pada pertengahan abad ke-19 dan keturunan budak. Ridwan Saidi mengatakan orang Betawi telah ada jauh sebelum penaklukan Sunda Kelapa.

Oleh   :  Teguh Setiawan

Seorang kawan yang kenal dekat dengan Ridwan Saidi, biasa dipanggil Babe Ridwan, kerap bercerita sambil tertawa soal sosok budayawan Betawi satu ini. “Eh, lu udah baca belon tulisan Babe Ridwan?”tanya kawan itu setiap kali tulisan Ridwan Saidi muncul di media tempatnya bekerja.

Lalu kawan itu bercerita tentang pertemuannya dengan Babe Ridwan, dengan semua lelucon yang diperoleh. Namun, yang paling menarik dari semua cerita tentang Ridwan Saidi adalah penggambaran sang budayawan soal manusia Betawi.

Kalo menurut Babe Ridwan, artis yang cocok menjadi reprsentasi orang Betawi itu ya Dewi Sandra,” kata kawan itu. “Menurut Babe Ridwan, di dalam tubuh Dewi Sandra terdapat banyak unsur ras.”

Babe Ridwan seolah hanya ingin mengatakan Betawi itu adalah produk melting pot, dengan banyak ras di dalam panci yang melebur dan menjadi masyarakat baru yang mapan.

Babe Ridwan mungkin satu-satunya sosok yang mencoba mengimbangi narasi sejarah Lance Castle tentang Betawi, yang sejauh ini menjadi rujukan para sarjana. Babe Ridwan membangun teorinya sendiri soal asal-usul Betawi, seraya tak lelah menyerang orang-orang yang terlanjur percaya pada Lance Castle.

Teori Lance Castle

Lance Castle memulai teorinya dengan kedatangan VOC dan pendirian Kota Batavia 1619. Saat itu, Batavia — dan wilayah sekitarnya — adalah daerah jarang penduduk dan diapit dua kesultanan; Banten dan Cirebon.

Atas dasar alasan keamanan, VOC mendorong penduduk dari pedalaman — yang mereka sebut sebagai orang Jawa, dan tanpa memperhatikan asal-usulnya — menetap di dalam dan sekitar kota.

Dekade berikut, Jan Pieterzoon Coen memulai kebijakan mendorong orang Tionghoa, selain juga orang-orang Banda, menetap di Baavia. Mereka adalah penduduk bebas.

Penduduk bebas lainnya adalah orang-orang Koja, atau Muslim dari India selatan, Melayu, Bali, Bugis, dan Ambon. Namun, populasi mereka tetap sedikit.

Ketika VOC berdagang budak, terjadi ketidak-seimbangan penduduk. Jumlah budak jauh lebih tinggi dibanding penduduk bebas.

Semula Belanda membawa budak dari Coromandel, Malabar, Bengal, dan Arakan di Burma. Belakangan, VOC menjadikan Nusantara sebagai sumber utama penyediaan budak untuk Batavia.

Mengalirlah budak-budak dari Flores, Timor, Nias, Kalimantan, Sumba, Sumbawa, sampai ke Pampanga — wilayah di Pulau Luzon (Filipina). Namun, jumlah budak terbesar berasal dari Bali dan Sulawesi SEaltan.

Dalam dua dekade terakhir abad ke-18, setiap tahun 4.000 budak datang ke Batavia dan dijajakan. Pada masa Raffles, angka kelahiran di kalangan budak menyusut.

Fakta ini menjelaskan mengapa beberapa kelompok masyarakat menghilang dengan cepat ketika imigran baru datang. Kehilangan ini mungkin bisa dijelaskan dengan teori percampuran ras dan budaya.

Pada akhir abad ke-19, kelompok etnis yang beragam di Batavia kehilangan identitasnya. Sebagai gantinya, muncul masyarakat baru yang menyebut diri orang Batavia, atau Betawi.

Mengutip pernyataan Raffles, sebagian besar budak yang datang tahun 1915 berasal dari Bali dan Sulawesi Selatan, dan tidak ada yang berasal dari suku Jawa. Mereka menyebar di tanah-tanah partikelir Ommelanden sebagai bruh tani.

Semula, Bahasa Creole—campuran Bahasa Portugis-Melayu yang digunakan Mardjiker, atau kaum merdeka — menjadi lingua franca di Batavia. Setiap instruksi dari atas kepada wijkmaster menggunakan bahasa ini.

Belakangan, akibat kebijakan Hindia-Belanda, Bahasa Creole lenyap dan — menurut HN van der Tuuk — digantikan dengan cepat oleh ‘Omong Jakarta’ atau Melayu-Betawi. Van der Tuuk percaya Bahasa Bali tingkat rendah merupakan dasar dialek Betawi, yang bercampur dengan Jawa, Sunda, Arab, Tionghoa, dan Belanda.

Pada periode selanjutnya, budak-budak — serta mereka yang dibebaskan dari status budak — adalah Muslim. Mereka yang berasal dari Bali juga terserap ke dalam masyarakat besar, karena tidak mungkin mempertahankan tradisi dan agama asal-usul.

Laporan tahun 1799 masih menjelaskan soal pekerjaan, pakaian, dan karakteristik orang-orang Melayu, Jawa, Bali, Mardijker, Bugis, dan Makasar. Seperempat abad kemudian, CSM van Hogendorp, hanya menyebut orang Makasar, Bali dan India.

Pada pertengahan abad ke-19, Van der Aa mencatat meski ada berbagai kelompok populasi, namun telah kehilangan sebagian besar karakter asli nenek moyangnya.

Tahun 1923, Betawi menjadi komunitas etnis politik ketika Mohammad Hoesni Thamrin mendirikan Kaoem Betawi sebagai organisasi kesukuan, seperti Pasundan, Serikat Ambon, dan lainnya.

Lance Castle menyusun teorinya berdasarkan cita rasa kolonial, lengkap dengan catatan-catatan tentang populasi etnis di Batavia. Setelah itu dia mengambil kesimpulan bahwa orang Betawi berasal dari budak, dan mayoritas adalah budak Bali.

Kelemahan teori Castle adalah mengesampingkan fakta sejarah bahwa setelah VOC memaksa Kesultanan Banten menandatangani perjanjian damai, prajurit Banten bertahan di kawasan barat Ommelanden, membentuk kampung, dan beranak pinak.

Namun, Castle bukan satu-satunya orang yang membangun teori Betawi berasal dari budak. Lainnya adalah Jean Gelman Taylor, Susan Blackburn — dulu bernama Susan Abeyasekere.

Teori Ridwan Saidi

Ridwan Saidi menolak narasi Castle, dan menyodorkan fakta arkeologis tentang penemuan kapak batu di hampir sekujur wilayah yang dihuni etnis Betawi saat ini; Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, sampai ke Serpong di Tangerang.

Penemuan kapak itu, menurut Ridwan Saidi, membuktikan sejak 3.000 sampai 4.000 tahun lalu tingkat penyebaran penduduk di Kalapa — kerajaan Sunda yang berdiri sebelum kedatangan Portugis — sedemikian merata. Babe Ridwan menyebut penduduk itu adalah proto-Betawi, atau Betawi tua.

Tony Djubianto, mengacu pada geografi zaman es ketika Sumatera, Kalimantan, dan Jawa masih menyatu, menyebut proto Betawi adalah imigran yang datang dari barat. Setelah zaman es, Phitecantropus Erectus adalah manusia Nusa Jawa yang mendirikan peradaban.

Menurut Babe Ridwan, proses pembentukan entitas etnis di Nusa Jawa dimulai abad ke-7. Di Nusa Jawa sebelah barat terdapat Sunda dan Galuh. Di Nusa Jawa tengah terdapat Kalingga dan di Timur terdapat Kediri.

Sudan dan Galuh bukan kerajaan maritim, sehingga tidak punya angkatan laut. Sriwijaya memiliki kemampuan menguasi laut, tapi tidak disertai operasi teritorial.

Namun, kontrol Syailendra atas wilayah Jawa sebelah barat tidak efektif karena kekurangan penduduk. Solusinya adalah mendatangkan migran Melayu dari Kalimantan Barat ke Kalapa.

Prof Bern Nothofer dari Universitas Frankfurt, mengatakan pada periode inilah terjadi penyebaran Bahasa Melayu sampai akhirnya menjadi lingua franca di Kalapa. Situasi ini menyebabkan Bahasa Sunda tergeser secara cepat.

Babe Ridwan menguatkan teorinya pada asal-usul sejumlah nama di Tangerang, sebut saja Kampung Melayu dan Teluk Naga di Tangerang. Menurutnya, dua nama itu ada sebelum VOC datang.

Soal nama Betawi, Babe Ridwan mengatakan nama itu muncul setelah penaklukan Kraton Jayakarta. Sebutan orang Betawi, menurutnya, kali pertama terdapat dalam dokumen bertahun 1644, berupa testamen Nyai Inqua — janda tuan tanah dan kapten Cina pertama Souw Beng Kong.

Nyai Inqua mengatakan salah seorang pembantunya adalah orang Betawi. Artinya, saat itu masyarakat Betawi telah menjadi komunitas etnis yang mapan.

Sebelum orang Betawi menjadi kata yang mapan di abad ke-19, menurut Babe Ridwan, ada beberapa sebutan lain untuk komunitas etnis ini, yaitu Melayu Jawa, Orang Jaketra, dan Orang Jawa.

Orang-orang keturunan Portugis, atau kaum Mardijker dan Mestizo, menyebut menggunakan nama Selam untuk orang Betawi. Selam mengacu pada agama, yaitu Islam. Karena, mayoritas Mardijker dan Mestizo adalah pemeluk Kristen.

Jadi, menurut Babe Ridwan, orang Betawi telah ada dan menjadi komunitas etnis yang mapan jauh sebelum kedatangan Portugis, apalagi kedatangan VOC.

Teori Lain

Ada dua teori lain soal Betawi, dan keduanya dikemukakan M Junus Mellatoa dan Bondan Kanumoyoso. Tanpa mengesampingkan sumbangsih keduanya, polemik soal asal-usul masyarakat Betawi paling keras mungkin hanya terjadi antara Castle dan Babe Ridwan. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button