Empati

Ini Bukti Yulianti Muthmainnah Terus Berjuang untuk Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Yulianti Muthmainnah dari Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta terus berjuang untuk para korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal tersebut diwujudkan bersama Pusat Studi Islam, Perempuan, dan (Ekonomi) Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta dengan membuat Standard Operating Procedure (SOP) atau Standar Operasional Prosedur tentang Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak bagi Lembaga-lembaga Filantropi di Indonesia.

“SOP ini sebagai sekumpulan peraturan, pedoman, atau acuan yang kita buat bersama-sama untuk memberikan panduan bagi badan atau lembaga amil, zakat, infak, dan sedekah ataupun lembaga filantropi lainnya di Indonesia dalam rangka mengumpulkan dana zakat dan menyalurkannya bagi para korban kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Yulianti Muthmainnah dari Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta saat ditemui di acara FGD Finalisasi SOP di Kementerian Pemberdayaan Perempuan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta, Kamis, (13/10/2022).

SOP dikeluarkan oleh Pusat Studi Islam, Perempuan, dan (Ekonomi) Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta. Sebagai pusat studi yang berkedudukan di kampus ITB-AD Jakarta.

PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta sangat berkepentingan menyebarluaskan SOP ini sebagai output dari sebuah proses panjang.

“Penting kita ketahui bersama, bahwa SOP ini lahir bukan dari ruang hampa, bukan dari gumam atau celoteh, bukan pula sekedar pidato. Tetapi, SOP ini hadir dari proses panjang gagasan besar atas pendampingan kasus selama ini, yang dimulai sejak tahun 2002, serta kekosongan nilai-nilai implementasi fikih,” tambah Yulianti.

Hal tersebut bertujuan agar dana zakat diberikan untuk para korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang selama ini mengalami diskriminasi (dikecualikan) dari akses atas jaminan sosial bidang kesehatan yang sejatinya menjadi hak warga negara Indonesia bahwa BPJS Kesehatan mengecualikan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak karena dianggap bukan sebagai penyakit.

Marginalisasi (peminggiran) dari proses hukum, bahwa akses terhadap hukum itu harus berbayar misalnya visum at repertum bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih berbayar,” paparnya.

Kemudian, perlakukan subordinasi (penomorduaan) dari program bantuan apa pun di mana korban nyaris tidak mendapatkan bantuan dalam skema bantuan zakat ataupun bantuan dari negara dalam bentuk lainnya.

“Bantuan langsung tunai, misalnya, tidak diberikan bagi para korban kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button