Kekayaan alam yang melimpah bukanlah jaminan kemakmuran, melainkan ujian bagi kebijaksanaan kita dalam mengelolanya. Di negeri yang diberkahi sumber daya tiada henti, kemiskinan bukanlah takdir, tetapi kegagalan sistem untuk mengubah potensi menjadi kesejahteraan nyata bagi rakyatnya.
Kemiskinan di daerah kaya sering kali menjadi ironi, di mana wilayah dengan potensi ekonomi yang besar masih memiliki penduduk miskin yang signifikan. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, seperti ketimpangan dalam akses sumber daya, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan kurangnya kesempatan kerja yang memadai.
Meskipun suatu daerah kaya dengan sumber daya alam, seperti tambang atau kelautan, tidak selalu berarti semua penduduknya dapat menikmati manfaat ekonomi dari sumber daya tersebut. Beberapa orang mungkin tidak memiliki akses atau kemampuan untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi yang terkait dengan sumber daya tersebut.
Tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya keterampilan, dan motivasi yang rendah juga dapat menjadi faktor penghambat bagi individu untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak.
Terbatasnya pilihan lapangan kerja, terutama yang menawarkan gaji dan upah yang layak, dapat menyebabkan kesulitan bagi penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Selain itu, struktur kelas yang timpang, di mana sebagian kecil penduduk menguasai sebagian besar sumber daya, dapat menyebabkan kesenjangan pendapatan yang besar.
Indonesia, negeri kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai terpanjang kedua di dunia, merupakan rumah bagi beragam kekayaan alam yang tak ternilai. Kekayaan ini bukan hanya terbatas pada sumber daya mineral seperti emas, nikel, batu bara, dan gas alam, tetapi juga mencakup keanekaragaman hayati laut, hutan tropis, hingga potensi energi baru terbarukan seperti panas bumi dan angin.
Cadangan nikel Indonesia saja mencapai sekitar 21 juta ton –terbesar di dunia, menjadikan Indonesia pemain kunci dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik global. Secara kasat mata, negeri ini terlihat seperti tanah yang diberkahi, dan seharusnya berdiri sejajar dengan negara-negara makmur lainnya yang memiliki sumber daya jauh lebih terbatas.
Namun, realitas di balik potensi itu sangat kontras. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Maret 2024, 25,87 juta warga Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, dengan konsentrasi tertinggi di wilayah kaya sumber daya seperti Papua, Nusa Tenggara, dan sebagian Kalimantan.
Di sisi lain, kontribusi sektor ekstraktif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun dalam dua dekade terakhir, menandakan ketergantungan ekonomi pada ekspor bahan mentah belum memberi nilai tambah optimal.
Hal ini diperparah oleh lemahnya regulasi redistribusi manfaat –UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, misalnya, belum secara tegas mengatur keterlibatan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan sebagai syarat utama operasi industri pertambangan.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Dalam konteks global, banyak negara kaya sumber daya juga mengalami apa yang disebut sebagai ‘resource curse‘ atau ‘kutukan sumber daya’. Negara seperti Nigeria, Angola, atau Venezuela, yang memiliki cadangan migas besar, justru terjebak dalam kemiskinan, konflik, dan korupsi.
Sebaliknya, negara seperti Norwegia dan Kanada mampu membalik kutukan itu menjadi berkah melalui manajemen sumber daya yang transparan, sistem Sovereign Wealth Fund, dan investasi agresif pada pembangunan manusia. Artinya, bukan kekayaan alamnya yang menentukan, melainkan bagaimana negara mengelola, mengatur, dan mendistribusikannya secara adil.
Di Indonesia, banyak warga yang tinggal di sekitar tambang justru tidak menikmati hasilnya. Ambil contoh Kabupaten Mimika, di Provinsi Papua Tengah –rumah bagi tambang emas terbesar milik Freeport– di mana angka kemiskinan masih di atas 28 persen, dan akses ke air bersih serta pendidikan dasar masih terbatas.
Infrastruktur dibangun, tetapi tak jarang hanya menguntungkan koridor industri. Masyarakat adat dan petani lokal tersingkir, hutan ditebangi, tanah dikeruk, dan yang tersisa hanyalah ketimpangan. Ceramah politik soal kedaulatan sumber daya tak lagi cukup jika tidak dibarengi dengan keberpihakan nyata dalam kebijakan anggaran, perlindungan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Maka, pertanyaan “siapa yang salah?” bukan hanya tudingan moral, tapi harus dijawab dengan keberanian politik, kecerdasan regulasi, dan partisipasi masyarakat yang melek akan hak-haknya.

Ironi Negeri Kaya
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 7 Mei lalu baru berani secara resmi dan terang-terangan melansir bahwa satu keluarga menguasai 1,8 juta hektare tanah. Ini setara tiga kali luas Pulau Bali.
Pernyataan resmi ini juga mengungkap data bahwa dari total 70 juta hektare yang berada di kawasan non-hutan, 46 persen –atau kurang lebih 30 juta hektare– dikuasai oleh hanya 60 keluarga besar pemilik korporasi.
Ini berarti, hal yang selama ini hanya dianggap sebagai isu yang berkembang di tengah masyarakat, kini akhirnya diakui dan diumumkan secara resmi oleh negara. Inilah realitas yang menyakitkan: ketika segelintir elite menikmati jutaan hektare tanah, sementara jutaan keluarga Indonesia tak memiliki sepetak tanah untuk bercocok tanam, membangun rumah, atau sekadar bertahan hidup.
Di sisi lain, Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025 menyebutkan bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional –yakni dengan penghasilan di bawah US$6,85 per hari (purchasing power parity/PPP 2017), atau setara kurang dari Rp110 ribu per hari.
Data ini menyatakan secara terang bahwa mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan, di tengah ketimpangan yang kian melebar dan nyaris tak terkendali.
Pendiri Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyudi Askar menilai laporan dari Bank Dunia yang menyebut 60,3 persen rakyat Indonesia masih tergolong miskin adalah fakta sebenarnya. Data ini dinilai lebih realistis dari data terbitan Badan Pusat Stastistik (BPS).
“Angka (60,3 persen dari) World Bank mencerminkan pendekatan yang lebih aktual dan fair untuk perbandingan internasional. Ini jauh lebih realistis dalam mencerminkan kemampuan konsumsi dan standar hidup yang layak dibandingkan dengan garis kemiskinan nasional Indonesia yang hanya sekitar Rp20.000 per hari,” tutur Askar kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Ia pun heran dengan standar ganda pemerintah. Di satu sisi sering koar-koar Indonesia masuk ke negara berpendapatan menengah, tetapi untuk batas kemiskinan masih menggunakan indikator masyarakat miskin.
“Ini kan aneh. Pemerintah suka bermain dengan definisi. Perlu dicatat, metode penghitungan kemiskinan Indonesia saat ini masih berbasis pengeluaran, bukan pendapatan. Bila penghitungan dilakukan berdasarkan pendapatan, jumlah penduduk miskin Indonesia bisa jauh lebih tinggi,” tegasnya.
Ketimpangan antara kekayaan sumber daya dan kondisi sosial masyarakat tampak nyata di berbagai wilayah Indonesia. Di Papua, misalnya, meskipun wilayah ini menyimpan cadangan emas dan tembaga terbesar melalui tambang Grasberg di Mimika, angka kemiskinan di Provinsi Papua Pegunungan mencapai 36,24 persen per Maret 2024 (BPS), tertinggi secara nasional.
Kabupaten Intan Jaya, salah satu lumbung emas yang kaya mineral, justru dilaporkan memiliki angka kemiskinan ekstrem di atas 40 persen, ditambah dengan keterbatasan infrastruktur dasar seperti listrik, air bersih, dan layanan kesehatan. Sumber daya yang semestinya menjadi katalis pembangunan justru menyisakan jejak ketimpangan, akibat lemahnya redistribusi manfaat dan minimnya keberpihakan pembangunan berbasis masyarakat lokal.

Di Kalimantan Timur, yang selama puluhan tahun menjadi pusat industri batu bara dan gas alam, kondisi serupa juga terjadi. Provinsi ini menyumbang sekitar 15 persen dari total ekspor batu bara nasional, namun masih terdapat lebih dari 150 desa tertinggal (berdasarkan Indeks Desa Membangun, Kementerian Desa 2023), terutama di wilayah Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Kutai Timur.
Di sekitar kawasan tambang besar, desa-desa seringkali terisolasi dari akses jalan layak, pendidikan berkualitas, dan peluang ekonomi alternatif. Bahkan ketika Kalimantan Timur ditetapkan sebagai lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN), harapan akan pemerataan belum terasa nyata bagi masyarakat desa yang hidup dalam ketergantungan pada sektor informal.
Fenomena serupa terlihat di Riau dan Sumatera Selatan, dua provinsi penghasil utama minyak sawit dan minyak bumi. Riau, meski menyumbang sekitar 20 persen produksi minyak bumi nasional, masih mencatat angka kemiskinan sebesar 6,76 persen per Maret 2024, dengan konsentrasi tinggi di Kabupaten Indragiri Hulu dan Rokan Hulu –kawasan yang juga menjadi sentra industri sawit dan migas.
Di Sumatera Selatan, khususnya Kabupaten Musi Banyuasin yang dikenal sebagai pusat kilang minyak dan batu bara, angka kemiskinan masih di atas 12 persen. Banyak warga lokal hanya terlibat sebagai buruh kasar di sektor pertambangan atau perkebunan, sementara nilai tambah dan kepemilikan ekonomi justru dikuasai oleh segelintir korporasi besar.
Ini menegaskan bahwa keberadaan sumber daya tidak serta-merta menjadi jaminan kemakmuran jika tidak diimbangi oleh tata kelola yang inklusif dan berpihak pada rakyat.
Bekerja, tapi Tetap Miskin
Di Indonesia, bekerja belum tentu berarti keluar dari kemiskinan. Secara logika umum, ketika seseorang sudah bekerja, ia seharusnya memperoleh penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar –pangan, sandang, papan, serta akses terhadap layanan sosial. Namun, kenyataan berkata lain.
Setiap hari, jutaan orang Indonesia bekerja keras. Mereka berangkat pagi, pulang malam, bahkan ada yang menjalani dua hingga tiga pekerjaan sekaligus.
Namun, jangankan hidup layak, untuk bertahan hidup pun sering kali tak cukup. Mereka bukan pengangguran, tapi juga bukan bagian dari masyarakat yang sejahtera. Inilah yang disebut sebagai working poor –pekerja miskin.
Pekerja miskin adalah mereka yang memiliki pekerjaan, tetapi penghasilannya sangat rendah, tidak stabil, dan jauh dari layak. Mereka bekerja tanpa perlindungan sosial, terjebak dalam sistem kerja yang eksploitatif, dengan biaya hidup yang terus naik, sementara upah tetap stagnan.
Saat ini, belum ada kategori resmi dalam statistik pemerintah yang secara khusus mengidentifikasi pekerja miskin. Namun, berbagai indikator ketenagakerjaan bisa mencerminkan keberadaan kelompok ini.
Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor pekerjaan tertentu, terutama sektor informal, sangat rentan terhadap kemiskinan. Banyak pekerja di sektor ini yang menerima upah mendekati atau bahkan di bawah garis kemiskinan nasional.
Data BPS tahun 2024, menunjukkan bahwa sekitar 60 persen tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan potret buram dunia kerja kita yang rapuh dan rentan.

Para pekerja informal ini hidup tanpa perlindungan jaminan sosial, tanpa kepastian pendapatan, dan sangat mudah terguncang oleh krisis ekonomi –baik lokal maupun global. Lebih memprihatinkan lagi, bahkan di sektor formal, tak sedikit pekerja yang tergolong working poor –mereka yang memiliki pekerjaan, tapi penghasilannya tetap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Dalam laporan Bank Dunia, kelompok working poor menjadi perhatian utama. Mereka tidak tercatat sebagai penganggur dalam statistik resmi, tapi kondisi hidup mereka nyaris tidak berbeda dari orang miskin, bahkan sering kali lebih tersembunyi dan terabaikan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bekerja saja tidak otomatis membawa seseorang keluar dari kemiskinan, terutama jika sistem pengupahan dan struktur ekonomi tidak adil. Jika kita mencermati tiga fakta utama yang telah dipaparkan –yaitu ketimpangan kepemilikan tanah, tingginya angka kemiskinan absolut berdasarkan standar internasional, dan dominasi sektor informal– maka menjadi jelas mengapa Indonesia masih terperangkap dalam middle income trap, atau jebakan negara berpendapatan menengah.
Gelombang PHK
Selain itu, gelombang PHK yang terus menghantam Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Di tengah transformasi digital dan globalisasi ekonomi, banyak sektor tradisional yang mengalami penurunan, sementara sektor baru belum mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah memadai.
Tercatat, dalam enam bulan pertama pemerintahan Prabowo Subianto, angka PHK semakin meningkat. Hal ini menunjukkan ketidakstabilan dalam pasar kerja yang dapat memperburuk situasi ketenagakerjaan dan menciptakan lapisan pekerja baru yang semakin terpinggirkan.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat, total pekerja yang terdampak PHK mencapai 24.036 orang pada Januari hingga April 2025.
Menanggapi hal tersebut, Co Founder Forum Intelektual Muda, Muhammad Sutisna menyatakan di tengah atmosfir politik nasional yang tenang dan stabil, seharusnya Presiden Prabowo cepat memperbaiki situasi ekonomi yang makin mendung.
“Saya melihat ke depannya juga badai PHK masih akan terus berlanjut di tengah ekonomi yang tidak pasti. Selain itu juga di tengah perang dagang global ini, sektor UMKM nasional harus kuat untuk menjadi sabuk pengaman perekonomian,” ujar Sutisna kepada wartawan di Jakarta, Selasa (6/5/2025).
“Dengan banyaknya rentetan masalah ekonomi yang belum kunjung pulih, seharusnya sudah menjadi tanda-tanda yang cukup untuk segera mengambil kebijakan yang tepat dan cepat,” ucapnya.
Menurutnya, kinerja tim ekonomi masih jauh dari apa yang diharapkan, yaitu pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 masih di bawah 5 persen atau hanya sekitar 4,7 persen.
“Kita perlu fokus di isu ekonomi bukan politik. Dan khususnya pada sektor investasi, industri dan perdagangan yang makin kuat,” imbuh dia.

Tanpa adanya perubahan mendasar dalam kebijakan ketenagakerjaan dan pembangunan ekonomi, jutaan pekerja akan tetap terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang menahun, dan ketimpangan sosial yang terus berkembang akan semakin mengancam stabilitas sosial dan politik negara.
Kenyataan ini adalah ironi yang memalukan, bahkan menjadi aib besar bagi negara sebesar Indonesia –yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, surplus tenaga kerja muda, dan potensi industri yang sangat besar. Semua modal itu seharusnya cukup untuk mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif, jika dikelola secara baik dan berkeadilan.
Kekayaan alam yang melimpah bukanlah jaminan kemakmuran, melainkan ujian bagi kebijaksanaan kita dalam mengelolanya. Di negeri yang diberkahi sumber daya tiada henti, kemiskinan bukanlah takdir, tetapi kegagalan sistem untuk mengubah potensi menjadi kesejahteraan nyata bagi rakyatnya.
Diperlukan lompatan besar –paradigma baru pembangunan ekonomi berbasis manusia yang melihat populasi besar bukan sebagai beban, melainkan sebagai aset strategis. Diperlukan niat kuat politik (political will), inovasi kebijakan, dan kemauan untuk menggugat ketimpangan struktural yang selama ini dilanggengkan.