Jalan tak Ada Ujung untuk Memartabatkan Guru Indonesia


Dalam pidato Hari Peringatan Pendidikan Nasional, Presiden Prabowo menyampaikan bahwa pendidikan merupakan jalan yang menentukan kebangkitan suatu bangsa. Lebih lanjut Presiden menyebut bahwa tanpa pendidikan Indonesia tidak akan menjadi negara sejahtera (Inilah.com, 2 Mei 2025). Pernyataan tersebut sudah tepat dan tidak terbantahkan. Namun, jika memperhatikan situasi pendidikan Indonesia saat ini, apakah memang negara sudah menempatkan pendidikan di prioritas yang paling luhur?

Masa depan suatu bangsa merupakan konstruksi politik. Kebijakan-kebijakan politik yang memprioritaskan hajat hidup orang banyak menjadi sangat utama untuk menggaransi hadirnya insan cerdas cendekia di masa kini dan masa yang akan datang. Dalam konteks Indonesia, para guru masih menjadi bagian dari pelindung pendidikan (guardian of education) yang krusial peranannya. Lalu, ketika kita masih mempercayai hal tersebut, untuk menjadikan pendidikan berkualitas, maka memartabatkan semua pihak yang terlibat di dalam pendidikan perlu menjadi prioritas (Surakhmad, 2009).

Para guru merupakan bagian terpenting dari wajah pendidikan di Indonesia. Jika tak ingin wajah pendidikan menjadi bopeng tak bisa diundur lagi, pemerintah wajib untuk memerhatikan kesejahteraan dan kapabilitas guru. Ketika pemerintah memperhatikan kedua hal tersebut, artinya guru dimuliakan dan wajah pendidikan tidak akan lagi muram.

Apakah pendidikan berkualitas dapat diraih tanpa memperhatikan guru-guru, terutama pada aspek kesejahteraan dan peningkatan kapabilitasnya? Rasanya hal tersebut tak mungkin diraih. Prof. Winarno Surakhmad (2009), dalam salah satu tulisannya, menyampaikan bahwa guru mutlak sejahtera dan kesejahteraan itu harus diperjuangkan oleh pemerintah. Jika ditelaah, ada beberapa kondisi yang harus diperhatikan pemerintah untuk mengubah wajah pendidikan melalui kebijakan yang berpihak pada guru.

Mengubah Wajah Kebijakan

Pertama, perlunya perubahan masif untuk menghapus dikotomi yang ada di dunia keguruan, yaitu perbedaan posisi guru, baik ditilik dari status maupun kesejahteraannya. Catatan tersebut diusulkan oleh Prof. Winarno Surakhmad dan nampaknya hingga kini belum tercapai. Dalam ruang faktual, kita masih melihat adanya pembedaan antara guru ASN dan non-ASN, guru negeri dan guru swasta, atau guru madrasah di bawah naungan Kemenag dan guru sekolah di bawah naungan Kemdikdasmen. Jika merujuk pada paparan Prof. Winarno, maka dikotomi itu harus dihapus negara. Artinya, setiap guru harus mendapat kesejahteraan yang sama dan peluang peningkatan kapabilitas yang setara. Selain itu, tidak boleh ada perbedaan status—semuanya adalah guru profesional yang dihargai negara.

Kedua, pemerintah perlu lebih terbuka melihat kenyataan kehidupan guru yang sangat beragam dari tingkat kesejahteraannya. Ketidaksejahteraan bukan hanya konten berita, tetapi memang nyata dihadapi oleh guru-guru. Guru yang dibayar di bawah upah minimum tersebar di seluruh negeri ini. Janji Prabowo-Gibran untuk memberlakukan upah minimum untuk kategori guru swasta, PAUD, dan yayasan masih dinanti realisasinya. Demikian juga terkait janji mengangkat guru honorer secara berkala menjadi ASN. Karena, seperti disebut di poin pertama, jika ditilik dari segi penghasilan dan status, nampak ada kasta-kasta di dalam profesi guru. Padahal tugas dan bebannya tidak berbeda. Mengapa ada pembedaan penghasilan? Selain itu, dalam konteks hari ini, tak sedikit guru yang terjerat pinjaman daring.

Ketiga, penekanan pada tugas dan fungsi guru untuk mengawal implementasi tujuan pendidikan. Jika merujuk pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2024 tentang Jabatan Fungsional Guru, disampaikan bahwa tugas jabatan fungsional guru meliputi kegiatan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian pembelajaran, pembimbingan dan pelatihan peserta didik, serta pelaksanaan tugas tambahan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Memperhatikan konteks tersebut, artinya guru memang punya kewajiban memastikan pendidikan ada di jalur yang tepat. Jika disingkat, guru perlu mendidik, menemani, dan berdialog dengan anak-anak didik.

Namun yang terjadi, guru-guru terjebak pada administrasi pembelajaran yang membebani. Ketika terpilih menjadi menteri, beberapa menteri menyatakan akan memangkas beban administrasi tersebut, namun faktanya para guru tetap sibuk dengan tetek bengek berkas-berkas yang tak substantif. Akhirnya, tugas menemani tumbuh kembang anak tidak terlaksana secara optimal. Apalagi jika ada sistem kontrol dalam bentuk pengawasan yang membuat guru tidak leluasa bekerja. Pemerintah tidak bisa menjadi pengawas yang hanya ingin menginspeksi dan kemudian menghukum guru atau tenaga kependidikan yang tidak melakukan tugasnya, tetapi harus bekerja bersama (Freire, 1993).

Keempat, ketidaksejahteraan guru menyebabkan disfungsi pendidikan. Guru memiliki tugas berat. Sering dianggap bengkel moral dan karakter anak serta sosok yang dapat meningkatkan kualifikasi anak-anak didik. Namun, kita mafhum profesionalitas mereka sering tidak dihargai dan guru selalu mendapat cercaan ketika anak-anak yang dididik tidak sesuai harapan. Padahal, ketika bicara guru profesional, ada tugas negara untuk meningkatkan kapabilitas agar mereka menjadi sosok yang qualified dan juga memiliki kesejahteraan yang layak.

Meningkatkan Kewibawaan Guru

Kelima, pemerintah perlu fokus pada upaya meningkatkan kewibawaan guru dan sekolah. Prof. Mochtar Buchori pernah berujar tentang bahaya erosi guru dan sekolah dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan termasuk institusi terhormat yang harus terjaga marwahnya. Maka, seperti yang diungkap Prof. Mochtar, masalah erosi wibawa sekolah dan guru harus diperhatikan secara serius, sebab masyarakat masih memandang wibawa sebagai unsur penting dalam pendidikan.

Mengapa penting? Sebab tanpa wibawa yang kokoh, tidak ada legitimasi bagi guru dan sekolah untuk membimbing para siswa pada tahap kesadaran juga ketaatan sukarela terhadap nilai-nilai (Buchori, 2011). Oleh sebab itu, sarannya, ada kewibawaan yang sifatnya terkait aspek pengetahuan, seperti perlunya guru untuk memiliki learning capability dan mampu memperlihatkan kepada masyarakat bahwa mereka update dengan isu-isu terbaru yang terkait dengan persoalan masyarakat. Dari segi moral, guru harus tetap menjadi role model—menjadi teladan dan perintis dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik dan multikultural (Buchori, 2011).

Keenam, pentingnya tata kelola guru yang terencana. Iman Zanatul Haeri, Kabid Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), dalam beberapa pernyataan di media, mengemukakan soal lima pilar utama dalam tata kelola guru, yaitu peningkatan kompetensi guru, persoalan kesejahteraan guru, rekrutmen guru, distribusi guru, dan perlindungan guru. Pergulatan guru di Indonesia memang selalu terkait lima pilar tersebut. Jika pemerintah menata poin-poin itu dengan kekuatan yang dimilikinya, niscaya akan ada perbaikan pendidikan guru di Indonesia, dan ujungnya akan memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia.

Guru memiliki tugas mulia untuk mendidik warga negara yang cerdas dan bertanggung jawab. Tugas berat tersebut tidak bisa optimal dilaksanakan ketika hak-hak guru tidak dipenuhi secara memadai. Alangkah sedihnya jika guru-guru yang setiap hari bergelut untuk mendampingi generasi terbaik dari bangsa ini, tetapi dalam ruang aktual mereka mengalami beragam persoalan kehidupan. Mereka harus memberi terang bangsa, tetapi kehidupan mereka gelap karena menghadapi berbagai kesulitan hidup. 

Ketika bicara perbaikan pendidikan, maka yang paling perlu diutamakan adalah perbaikan kesejahteraan dan kapabilitas guru. Perbaikan tersebut memang nampak seperti jalan tak ada ujung, mengutip judul novel karya Mochtar Lubis, namun ikhtiar terbaik harus dilakukan secara gradual. Tentu saja, semua perbaikan untuk memartabatkan guru tersebut membuktikan penjabaran disertai bukti-bukti konkret.