Kanal

Ferry Mursidan Baldan

Maka, untuk menghindari HMI menjadi majlis taklim, saya memanggil Ferry Mursidan. “Fer,”kata saya. “Kamu duduk di samping saya.” Karena berada di kursi barisan  terdepan, hampir seluruh peserta kongres HMI melihat Ferry duduk di dekat saya. Dan, terus-terang, tindakan ini adalah ungkapan dukungan saya kepada Ferry tanpa tedeng aling-aling.

Oleh   : Fachry Ali

Mungkin, itu 15 menit sebelum diskusi di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, seorang yunior menunjukkan berita kepergian Ferry Mursidan Baldan kepada saya, Jumat, 2 Desember 2022. Saya terhenyak selama beberapa menit.

Pertemuan terakhir dengannya terjadi di Makam Pahlawan Kalibata —dalam upacara pemakaman Prof Azyumardi Azra. Bahkan, kami sempat minum kopi bersama.

Ketika Ferry berumur sekitar lima tahun, saya sering main ke rumahnya di Slipi, Jakarta Barat, pada pertengahan 1960-an. Saya lebih tua enam  atau tujuh tahun. Begitu juga dia dan keluarganya sering bertandang ke rumah kami di Ragunan. Kami memang bersaudara. Tetapi, karena saya anggap ’anak kecil’, saya tak punya pengalaman bermain dengannya.

Keakraban dengan Ferry justru ketika ia telah menjadi pemimpin mahasiswa di Jawa Barat. Ferry, ketika saya temui, adalah Ketua Badan Koordinasi (Badko) HMI Jawa Bagian Barat (yang saat itu juga meliputi Kalimantan Barat). Pada 1980-an, LP3ES punya proyek penelitian irigasi di beberapa daerah. Di Jawa Barat, penelitian yang bekerja sama dengan Bappeda Jawa Barat, saya yang pimpin. Maka, tiap pengumpulan data lapangan, saya selalu merekrut mahasiswa Jurusan Hubungan Luar Negeri UNPAD ini. Abdul Hamid —kini terpilih ketua perhimpunan LP3ES, menggantikan Prof Didik J. Rachbini— turut saya sertakan. Maka, hubungan Ferry-Hamid sangat akrab.

Akhir 1980-an, kami menyewa bus ke Singaparna, Tasikmalaya, sebagai rombongan penganten. Abdul Hamid, staf peneliti saya yang telah disebut, menikah di sana. Turut serta Ahmad Fadillah dan Toto. Kedua terakhir ini adalah anggota Kelompok Studi Mahasiswa Pena tang dipimpin Hamid. Geisz Khalifah, Yan Hiksas dan Ridwan Monoarfa turut menjadi anggotanya.

Toto adalah mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dan luas bacaannya. Dengan alasan bahwa HMI harus berkembang kembali di universitas besar, maka saya mendorong Toto maju menjadi ketua umum PB HMI. Inilah yang saya sampaikan kepada Ferry di dalam bus itu. Sebagai Ketua Badko Jawa Barat, Ferry tentu punya pengaruh besar. “Kalau kamu setuju,”kata saya, “maka saya akan keliling Indonesia mengkampanyekan Toto.”

“Bagus itu Bang. Saya dukung,”kata Ferry merespons.

Persetujuan Ferry inilah yang saya sampaikan kepada Toto. Tapi, rencana ini gagal diiringi tertawa menggelegar. Perkaranya, Toto dengan terkejut merespons usul saya dengan kalimat: “Oh! Ketua Umum PB HMI Cabang Jakarta?”

Ketika Kongres HMI di Asrama Haji Pondok Gede 1990, saya berkesempatan hadir. Sebelumnya, saya tak pernah menghadiri peristiwa penting ini.  Ketika saya sampai, panitia mengantarkan saya ke dalam dan didudukkan di kursi terdepan. Di situ saya  bertemu dengan Umar Husain dan Taufik Hidayat. Yang terakhir ini kelak terpilih sebagai ketum PB HMI.

Di forum ini saya heran mendengar perdebatan yang menurut saya kurang intelektual. Masak, ada yang mengusulkan syarat calon Ketum PB HMI harus tahu arti doa-doa dalam sembahyang? “Wah,”seru saya dalam hati. “Ini HMI sedang dibawa ke arah majlis taklim.”

Maka, untuk menghindari HMI menjadi majlis taklim, saya memanggil Ferry Mursidan. “Fer,”kata saya. “Kamu duduk di samping saya.” Karena berada di kursi barisan  terdepan, hampir seluruh peserta kongres HMI melihat Ferry duduk di dekat saya. Dan, terus-terang, tindakan ini adalah ungkapan dukungan saya kepada Ferry tanpa tedeng aling-aling.

Dan Ferry memang terpilih ketua umum dalam kongres itu.

Saya tidak tahu keterpilihan itu karena saya atau faktor lain. Yang jelas, banyak yang mengucapkan selamat kepada saya. Tetapi, ketika Ferry mendatangi saya, setelah terpilih, di bawah lampu sorot tv dan kamera, termasuk kamera wartawati Tempo berambut Panjang (yang dimaksud tampaknya Rinni ‘PWI’–red) saya segera menghindar.

Saya tak ingin Ferry merasa berutang budi kepada saya.

Dan memang, sampai ajalnya yang mendadak, Ferry Mursidan Baldan tak berutang apa-apa kepada saya. [  ]

*Tokoh cendikiawan Muslim

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button