News

Jokowi Kumpulkan Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Termasuk di Eropa Timur

Upaya pemerintah menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat pada masa lalu berlanjut. Menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM), pemerintah bakal mengumpulkan seluruh korban pelanggaran HAM berat yang masih hidup termasuk mereka yang berada di luar negeri, khususnya Eropa Timur.

Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan, Presiden Jokowi bakal menerbitkan instruksi presiden (inpres) kepada 17 kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L) untuk mengerjakan rekomendasi. Bahkan Jokowi berencana untuk berkunjung ke Aceh, Talangsari, Lampung, dan mengumpulkan korban pelanggaran HAM berat yang terserak di Eropa Timur.

“Dalam waktu dekat, presiden akan mengeluarkan inpres khusus untuk menugaskan kepada 17 kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian, plus koordinasi dengan lembaga independen di luar eksekutif untuk menyelesaikan seluruh rekomendasi Tim PPHAM ini,” kata Mahfud MD di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (16/1/2023).

Jokowi telah menugaskan tiga menteri untuk mengumpulkan korban pelanggaran HAM berat di Eropa dalam rangka pemulihan hak. Ketiganya yakni Menko Polhukam, Menlu dan Menkumham. Para korban yang terserak di Eropa nantinya bakal dikumpulkan di Jenewa, Swiss, Amsterdam, Belanda atau Rusia.

Mahfud menegaskan para korban memiliki hak pemulihan sebagai warga negara Indonesia. Namun tidak dirinci berapa orang pastinya warga Indonesia yang terampas haknya dan masih hidup di Eropa sekarang ini. “Pak Menkumham bersama Ibu Menlu dan saya ditugaskan untuk menyiapkan hal itu sehingga nanti pesannya juga ada di luar negeri dan tim ini tidak main-main,” ujar Mahfud.

Sedangkan Jokowi, secara khusus nantinya menemui para korban atau kerabat di Tanah Air yakni Aceh, Papua dan Lampung. Jokowi bakal memberi santuntan.

Sebelumnya pemerintah telah mengakui terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yakni peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, dan peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.

Selanjutnya, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I- II 1998-1999, peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua 2003, dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Mahfud menegaskan, pemenuhan hak korban ini tidak menegasikan upaya penyelesaian melalui jalur hukum yang disuarakan banyak aktivis. Dia menilai, upaya penyelesaian secara judisial tetap dilanjutkan. “Karena penyelesaian yudisial itu jalur sendiri, sedangkan ini penyelesaian jalur non-yudisial yang sifatnya lebih kemanusiaan. Tim PPHAM ini memperhatikan korban, sedangkan yang yudisial itu mencari pelakunya. Jadi, antara korban dan pelaku itu kami bedakan,” jelasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button