“Kabur Aja Dulu” Ketika Harapan tak Lagi Ditemukan di Negeri Sendiri


Belakangan ini, media sosial dipenuhi dengan ungkapan “kabur aja dulu.” Di permukaan, ini kelihatan seperti candaan receh khas anak muda yang lelah dengan rutinitas. Tapi kalau diperhatikan lebih dalam, ini bukan sekadar lelucon, melainkan bentuk nyata dari krisis kepercayaan terhadap negara. Kalimat ini muncul dari rasa frustasi yang menumpuk, seperti maraknya korupsi, keadilan yang tidak merata, pelayanan publik yang buruk, dan suara rakyat yang seolah cuma jadi formalitas lima tahun sekali. Ketika ruang aspirasi makin sempit dan perubahan terasa mustahil, pilihan “kabur”—entah untuk kerja, studi, atau bahkan pindah negara—jadi terlihat lebih masuk akal.

Fenomena ini bisa dijelaskan lewat teori public sphere dari Jürgen Habermas, yang juga digunakan Erik Ardiyanto dalam penelitiannya soal protes mahasiswa 2019–2020. Dalam teori tersebut, public sphere adalah ruang di mana warga negara bebas berdiskusi secara rasional tentang isu-isu publik, lalu menyampaikan aspirasi mereka ke negara. Tapi nyatanya, ruang itu makin lama makin sempit. Kritik sering dianggap ancaman, suara mahasiswa dibungkam, dan media sering dikontrol oleh kepentingan tertentu. Habermas menyebut bahwa ketika public sphere tidak sehat, komunikasi politik jadi timpang rakyat tidak lagi merasa terhubung dengan sistem negara. Erik Ardiyanto menunjukkan bahwa aksi protes mahasiswa 2019–2020 merupakan bentuk perlawanan terhadap situasi ini. Tapi setelah gelombang protes itu, banyak anak muda merasa bahwa perjuangan mereka tidak digubris. Akhirnya, banyak yang memilih diam. Dan sebagian lainnya, memilih “kabur.”

Ungkapan “kabur aja dulu” ini, menurut saya, adalah bentuk perlawanan pasif. Ini adalah cara generasi muda untuk mengungkapkan keluh kesah, “Kami sudah mencoba, tapi tidak didengar.” Ini sekaligus jadi alarm bagi negara bahwa ada jurang besar yang makin melebar antara pemerintah dan warganya, terutama generasi muda. Tentu saja, pergi ke luar negeri bukan tindakan yang salah. Maka, kabur jadi satu-satunya solusi yang dianggap realistis oleh generasi muda. Oleh karena itu, ini bukan cuma soal migrasi, tapi hilangnya rasa memiliki terhadap bangsa sendiri. Harusnya negara mulai membuka mata. Generasi muda bukan hanya aset masa depan, tapi juga aset masa kini. Jika pemerintah terus menutup telinga dari suara warganya dan kebebasan berpendapat terus ditekan, jangan heran jika rakyat memilih untuk diam, pergi, atau bahkan lupa bahwa mereka pernah punya harapan.

Menurut saya, “Kabur Aja Dulu” bukan sekadar ungkapan, tetapi juga cerminan dari ketidakpuasan yang mendalam. Ketika generasi muda merasa suaranya tidak didengar, mereka mulai mencari jalan keluar. Ini menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Banyak yang merasa bahwa usaha mereka untuk berkontribusi tidak dihargai dan akhirnya memilih untuk menjauh. Krisis kepercayaan ini bisa jadi disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya seperti ketidakadilan sosial, korupsi yang merajalela, dan kurangnya transparansi dalam pemerintahan. Ketika semua ini terjadi, generasi muda merasa terasing dan tidak memiliki tempat dalam proses pengambilan keputusan. Mereka ingin terlibat, tetapi ketika ruang untuk berdiskusi semakin sempit, pilihan untuk “kabur” menjadi lebih menarik.

Jika pemerintah tidak mendengarkan dan tidak memberikan ruang bagi mereka untuk berpartisipasi, maka akan semakin banyak yang memilih untuk pergi. Kita perlu menciptakan lingkungan di mana semua suara dihargai dan didengar. Dialog yang terbuka dan konstruktif harus didorong, sehingga generasi muda merasa bahwa mereka memiliki peran dalam membangun masa depan negara. Jika tidak, kita akan terus melihat fenomena “kabur” ini sebagai pilihan yang lebih baik daripada berjuang untuk perubahan. Ini merupakan peringatan bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi masyarakat untuk bersama-sama menciptakan ruang publik yang lebih inklusif dan mendengarkan aspirasi semua lapisan masyarakat.