Kalau Emang Ada Ijazahnya, Ya Tunjukin Aja


Beberapa waktu lalu, Megawati kembali tampil di publik. Bukan sebagai Ketua Umum partai atau Ketua Dewan Pengarah BRIN, melainkan sebagai komentator urusan ijazah. Beliau bilang, “Yo, orang banyak kok sekarang gonjang-ganjing urusan ijazah bener apa enggak? Ya, kok susah amat, ya? Kan kalau ijazahnya betul, kasih aja, ‘Ini ijazah saya,’ gitu lho.” Santai sekali, Bu. Seolah yang ditanya cuma soal kartu vaksin, bukan kredibilitas pemimpin negara.

Masalahnya, ucapan itu tidak muncul di ruang kosong. Komentar Megawati hadir di tengah polemik panjang soal keaslian ijazah Presiden Jokowi yang sempat digugat ke pengadilan, lalu dilaporkan ke Bareskrim oleh tokoh yang… ya, kita tahu lah rekam jejaknya. Dari situ, percakapan publik pun terbentuk. Komentar santai Bu Mega justru memantik satu hal penting: bagaimana narasi dibentuk dari mulut elite, dan bagaimana rakyat diminta percaya begitu saja. Gak usah cerewet. Gak usah nanya-nanya. Titik.

Kalau mau serius sedikit, mari kita pakai Analisis Wacana Kritis (AWK). Teori ini mengajarkan kita untuk tidak hanya mendengar apa yang dikatakan, tetapi juga siapa yang berbicara, dalam konteks apa, dan kepentingan siapa yang sedang dijaga.

Dalam kasus ini, wacana soal “sederhananya menunjukkan ijazah” dari seorang mantan presiden dan elite partai bukan pernyataan receh. Ini adalah bentuk kuasa simbolik yang menempatkan elite seolah-olah pemilik kebenaran. Yang mempertanyakan? Ya, dianggap cerewet, tidak tahu aturan, atau lebih parah, subversif.

Di sinilah bahayanya. Pelan-pelan, publik terbiasa menganggap pertanyaan kritis sebagai gangguan. Bahwa membahas keabsahan dokumen resmi pejabat adalah hal remeh.

Yang membuat tambah unik, pernyataan seperti ini dikemas dalam bahasa yang sangat “ibu-ibu”. Nada yang seolah akrab dan membumi. Namun, justru di situ letak kekuatannya: gaya tutur yang terlihat kasual bisa menutupi struktur kekuasaan yang sedang bekerja. Ini mirip dengan apa yang disorot Norman Fairclough, bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga alat dominasi.

Elite bicara seperti teman, padahal yang terjadi adalah perintah halus untuk tidak mengganggu status quo.

Lihat bagaimana media sosial bekerja: netizen terpecah antara “tim percaya” dan “tim tanya”. Obrolan tentang ijazah menjadi semacam reality show politik yang menyita perhatian nasional, tetapi kehilangan substansinya karena dijejalkan ke format meme, sindiran, dan tebak-tebakan identitas.

Publik akhirnya lupa bahwa pertanyaannya bukan sekadar “ada ijazah atau tidak”, melainkan “mengapa keraguan ini muncul dan dibiarkan berlarut-larut?”

Jika negara percaya pada kekuatan demokrasi, seharusnya menjawab pertanyaan publik dianggap wajar. Jangan sedikit-sedikit bilang rakyat harus paham. Justru tugas pejabat publik lah yang harus menjelaskan.

Saran saya sederhana: elite politik perlu lebih hati-hati saat berkomentar. Kalimat yang tampak remeh bisa memperkuat praktik delegitimasi suara publik yang kritis. Ketimbang menyuruh rakyat diam, mengapa tidak disambut dengan transparansi?

Untuk masyarakat, jangan mudah dimanipulasi oleh narasi yang terlihat ramah. Kadang, yang lembut bukan berarti baik. Yang kalem bukan berarti jujur.

Transparansi tidak akan merusak martabat pemimpin. Justru menambah kredibilitas. Namun, jika pertanyaan dibalas dengan sindiran, maka wajar jika orang bertanya-tanya: memang ada yang perlu disembunyikan?