Kasus Denny Indrayana Mangkrak 10 Tahun, Komisi III DPR: Apa Ada Hambatan Politik?


Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKB Hasbiallah Ilyas menyatakan wajar, bila publik mulai mengkritik polri yang tidak serius dalam mengusut kasus dugaan korupsi yang melibatkan eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana.

“Ya kasus saudara Denny Indrayana ini sudah lebih dari 10 tahun ya sejak ditetapkan sebagai tersangka pada Februari 2015. Wajar saja jika ada dugaan Polisi kurang serius menuntaskan kasus ini. Wajar juga jika ada gagasan, menyerahkan kasus ini kepada KPK atau Kejaksaan Agung,” tutur Hasbi kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, dikutip Jumat (23/5/2025).

Ia menyebut yang lebih penting dalam pengusutan kasus ini sebenarnya adalah jawaban di balik pertanyaan, mengapa kasus ini diberhentikan dan tidak dibawa ke pengadilan.

“Sebenarnya pertanyaan yang lebih penting bukanlah Kepolisian mau dan mampu P21 kasus ini, karena dari berita yang saya baca, pelapor kasus ini pernah menyatakan kasus ini sudah P21 dan siap dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dibawa ke pengadilan,” ungkapnya.

“Pertanyaannya mengapa berhenti dan tidak dibawa ke pengadilan? Apakah ada hambatan politik atau hambatan lainnya? Ini yang perlu diperjelas,” lanjutnya.

Meski begitu, Hasbi lebih memilih untuk memberikan kesempatan dan waktu tambahan bagi polri, agar segera menuntaskan penyidikan hingga SP1 dan melimpahkan ke Kejaksaan untuk dibawa ke meja hijau. “Saya percaya Kepolisian mau dan mampu menuntaskan kasus ini,” tandasnya.

Kronologi Perkara

Denny Indrayana ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi payment gateway pada 2015 silam. Ketika itu, Polri masih dipimpin oleh Jenderal Badrodin Haiti. Denny dianggap berperan menginstruksikan rujukan dua vendor proyek payment gateway.

Denny juga diduga memfasilitasi kedua vendor itu untuk mengoperasikan sistem tersebut. Dua vendor yang dimaksud yakni PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia.

“Satu rekening dibuka atas nama dua vendor itu. Uang disetorkan ke sana, baru disetorkan ke Bendahara Negara. Ini yang menyalahi aturan, harusnya langsung ke Bendahara Negara,” ujar Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Anton Charliyan pada Rabu 25 Maret 2015 .

Penyidik memperkirakan dugaan kerugian negara atas kasus itu mencapai Rp32.093.692.000 (Rp32,09 miliar) Polisi juga menduga ada pungutan tidak sah sebesar Rp605 juta dari sistem itu.

Anton mengatakan, Denny diduga kuat menyalahgunakan wewenangnya sebagai Wakil Menkumham dalam program sistem pembayaran pembuatan paspor secara elektronik.

Manuver Denny dalam kasus ini, sambung Anton, kurang disetujui oleh orang-orang di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Namun, Denny tetap bersikukuh agar program tersebut harus berjalan.

Atas perbuatannya dia dijerat dengan Pasal 2 ayat 2, Pasal 3 dan Pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama.