Kasus Dugaan Korupsi Denny Indrayana Mangkrak 10 Tahun, PKB Soroti Ketidakseriusan Penegak Hukum


Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKB Abdullah mengakui, memang kasus dugaan korupsi yang menyeret Eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2015 terkesan mangkrak.

“Mangkraknya kasus eks Wamenkumham Denny Indrayana banyak mendapat kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Kritik mengarah pada tidak seriusnya komitmen pemberantasan korupsi, dan penegakan hukum yang dinilai masih tebang pilih,” tutur Abdullah kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Kamis (22/5/2025).

Oleh karena itu, ia mendorong agar Polri dapat memberikan penjelasan kepada publik, terkait mangkraknya kasus ini secara transparan dan akuntabel.

“Dan berkoordinasi dengan KPK dan Kejaksaan untuk penanganannya. Hal ini yang belum dilakukan atau dimaksimalkan hingga sekarang, dan akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan, asumsi dan kritikan,” ujarnya.

Ia kemudian menyatakan sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto, bila pemberantasan korupsi membutuhkan partisipasi semua pihak, dan bertujuan untuk menyejahterahkan rakyat. Sehingga dengan adanya kasus Denny Indrayana ini, justru memperlihatkan kondisi sebaliknya.

“Dan yang dikhawatirkan dari mangkraknya kasus Denny adalah melonjaknya ketidakpuasan rakyat terhadap kepastian hukum di negeri ini,” tandasnya.

Kronologi Perkara

Denny Indrayana ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi payment gateway pada 2015 silam. Ketika itu, Polri masih dipimpin oleh Jenderal Badrodin Haiti. Denny dianggap berperan menginstruksikan rujukan dua vendor proyek payment gateway.

Denny juga diduga memfasilitasi kedua vendor itu untuk mengoperasikan sistem tersebut. Dua vendor yang dimaksud yakni PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia.

“Satu rekening dibuka atas nama dua vendor itu. Uang disetorkan ke sana, baru disetorkan ke Bendahara Negara. Ini yang menyalahi aturan, harusnya langsung ke Bendahara Negara,” ujar Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Anton Charliyan pada Rabu 25 Maret 2015 .

Penyidik memperkirakan dugaan kerugian negara atas kasus itu mencapai Rp32.093.692.000 (Rp32,09 miliar) Polisi juga menduga ada pungutan tidak sah sebesar Rp605 juta dari sistem itu.

Anton mengatakan, Denny diduga kuat menyalahgunakan wewenangnya sebagai Wakil Menkumham dalam program sistem pembayaran pembuatan paspor secara elektronik.

Manuver Denny dalam kasus ini, sambung Anton, kurang disetujui oleh orang-orang di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Namun, Denny tetap bersikukuh agar program tersebut harus berjalan.

Atas perbuatannya dia dijerat dengan Pasal 2 ayat 2, Pasal 3 dan Pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama.