Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyayangkan adanya ancaman tidak naik kelas bagi siswa yang menolak dibina di barak militer. Jika laporan ini benar, maka kebijakan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi telah melanggar hak anak.
Pengancaman ditegaskannya adalah bentuk tekanan psikologis yang mengoyak hak anak. Ubaid mengingatkan, Undang-Undang Perlindungan Anak secara tegas menjamin hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bebas dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
“Memaksakan siswa untuk mengikuti kegiatan di lingkungan militer dengan ancaman sanksi akademis jelas merupakan bentuk pemaksaan dan tekanan psikologis yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak anak,” kata Ubaid kepada Inilah.com, Jakarta, Jumat (16/5/2025).
Dia khawatir, gaya pengancaman seperti ini bisa berpotensi memicu trauma dan dampak psikologis. Ditambah, pembinaan di barak militer tentu mengedepankan kedisiplinan yang ketat dan keras.
“Suasana yang keras, disiplin yang ketat, dan potensi adanya kekerasan verbal atau fisik dapat mengganggu perkembangan psikologis dan emosional siswa,” ujarnya.
Bagi dia, ancaman tidak naik kelas adalah bentuk hukuman kolektif yang tidak adil dan tidak proporsional. Sebab setiap anak memilik hak untuk memilih dan berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya, tanpa adanya paksaan atau ancaman
“Menghubungkan partisipasi dalam kegiatan di luar kurikulum formal dengan hak untuk naik kelas adalah tindakan yang tidak relevan dan kontraproduktif terhadap esensi pendidikan yang seharusnya memerdekakan dan memberdayakan siswa,” tutur dia.
Selain itu lanjut Ubaid, kebijakan ini secara implisit menunjukkan ketidakpercayaan kepala daerah terhadap sistem pendidikan nasional yang sudah ada.
Dia bilang, jika gubernur memiliki kekhawatiran terkait pembinaan karakter atau kedisiplinan siswa, seharusnya upaya perbaikan dan penguatan dilakukan dalam kerangka sistem pendidikan yang sudah ada.
“Melalui peningkatan kualitas guru, kurikulum yang relevan, dan kegiatan ekstrakurikuler yang beragam dan menarik bagi siswa. Mengadakan program pembinaan di barak militer seolah-olah menjadi solusi instan yang justru mengabaikan peran dan kapasitas institusi pendidikan,” katanya.
Pendidikan di barak militer, menurut JPPI, tidak sesuai dengan pembinaan karakter holistik. Lingkungan militer memiliki karakteristik dan metode pembinaan yang berbeda dengan lingkungan pendidikan. Pembinaan karakter yang holistik dan efektif seharusnya mengedepankan dialog, pemahaman, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, dan partisipasi aktif siswa.
“Lingkungan militer yang cenderung hierarkis dan menekankan kepatuhan mutlak belum tentu sesuai untuk menumbuhkan karakter yang mandiri, kreatif, dan berakhlak mulia pada diri siswa,” ucap dia.
Temuan KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap ada siswa yang mengaku mendapat ancaman tidak naik kelas, jika menolak mengikuti kegiatan pembinaan di barak militer. Program yang digagas Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi berpotensi langgar hak anak.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengaku prihatin dengan adanya temuan pengancaman tersebut. Dia juga mempertanyakan apa dasar dari kebijakan ini.
“Hasil wawancara kami dengan anak-anak di Purwakarta maupun Lembang, ada ancaman bahwa siswa yang menolak mengikuti program bisa tidak naik kelas,” kata Jasra dalam konferensi pers, Jakarta, Jumat (16/5/2025).
Ironisnya, pihak sekolah juga mengirimkan muridnya tanpa rekomnendasi profesional. Seharusnya, kata dia, pengiriman anak bermasalah harus ada rekomendasi psikolog profesional, atau setidaknya atas asesmen guru Bimbingan Konseling (BK).
Ia mengatakan di salah satu lokasi program, yakni di Purwakarta, ditemukan tiga SMP negeri yang belum memiliki guru BK. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar ihwal siapa yang sebenarnya memberikan rekomendasi agar siswa mengikuti program tersebut.
“Ini tentu harus dilihat lebih jauh. Kami merekomendasikan agar asesmen dilakukan oleh psikolog profesional, agar pilihan kebijakan terhadap anak betul-betul tepat dan tidak melanggar hak-hak mereka,” ujar Jasra.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menambahkan, menyatakan kebijakan ini dilakukan terburu-buru tanpa adanya pendampingan dari psikolog.
“Kami mengharapkan tidak terjadi pelanggaran hak anak ini, tetapi potensi mengarah ke situ ada, tadi hilangnya referensi asesmen yang jelas (dari psikolog),” kata Ai
Temuan KPAI menyebut, sebanyak 6,7 persen pelajar yang dikirim ke barak justru tidak paham soal alasan mereka dibina secara militer. Ai mengatakan, setiap anak punya karakteristik masing-masing, model pembinaan militer yang sifatnya kerap mengeneralisasi dinilai bukan metode yang tepat.
“Ada yang mungkin pernah tawuran dengan kenakalan perilaku seperti bolos sekolah, tentu hal ini berbeda, hasil asesmennya apa? Pelatihnya kok bisa sama?” kata Ai mengkritisi.
Dia mendorong adanya kajian lebih dulu agar kebijakan yang bertujuan baik ini disempurnakan sebelum dieksekusi. Agar, kata dia, tak ada hak anak yang dilanggar. Ai menegaskan, anak-anak punya hak mutlak untuk bisa tumbuh kembang tanpa diskriminasi dan tekanan.
“Kami terus lakukan koordinasi lalu bentuk-bentuk penyempurnaan seperti apa dan menghindari adanya situasi yang berpotensi melanggar hak anak,” ucap Ai.