Opini yang menyebut Tanah Suci sebagai ruang spiritual yang memurnikan niat memang menyentuh sisi terdalam pengalaman haji. Namun di balik sentimen luhur itu, tersembunyi sejumlah asumsi dan generalisasi yang layak digugat — demi memahami kompleksitas realitas haji yang sesungguhnya, yang tak jarang justru menyentuh sisi paling keras dan brutal dari kemanusiaan.
Antara Idealisme dan Kenyataan Lapangan
Pernyataan bahwa Tanah Suci adalah “tempat perjumpaan makhluk dengan Sang Khalik dalam kadar yang paling dekat, paling jujur, dan paling telanjang” adalah harapan indah. Namun, harapan ini seringkali berbenturan dengan kenyataan: logistik haji yang luar biasa rumit, suhu ekstrem (terutama pada fase Armuzna di pertengahan Juni), kepadatan jutaan jemaah, serta tantangan kesehatan dan keamanan yang serius.
Sulit membayangkan pengalaman spiritual yang utuh ketika seorang jemaah harus berebut air minum, terjebak berjam-jam dalam antrean, atau kelelahan karena kurang istirahat. Realitas fisik dan mental ini, dalam banyak kasus, lebih dominan daripada perenungan batin yang diharapkan. Maka dari itu, kita tidak bisa menyederhanakan pengalaman haji menjadi soal “niat dan kejujuran hati” semata, tanpa mengakui struktur dan sistem yang menopangnya — atau menjatuhkannya.
Antara Kritik dan Tanggung Jawab
Menyebut kritik sebagai “celah yang dicari-cari” atau “bahan bakar drama” justru menunjukkan kegagapan dalam menghadapi realitas penyelenggaraan. Kritik, termasuk yang muncul di media sosial, adalah mekanisme penting dalam tata kelola yang sehat. Ia tidak menghalangi solusi — justru menjadi pemantik solusi itu sendiri. Apalagi dalam skema besar seperti haji, yang melibatkan jutaan jiwa dan anggaran publik, kontrol dan akuntabilitas bukan hanya penting, tapi mutlak.
Viralnya keluhan seringkali terjadi karena kanal formal tidak cukup responsif. Maka menyalahkan pengkritik, alih-alih memperbaiki sumber masalah, adalah bentuk pengalihan tanggung jawab. Penyelenggara seharusnya lebih aktif membaca sinyal-sinyal keluhan, bukan menunggu semuanya menjadi ramai lebih dulu di media. Bahkan kritik yang pedas sekalipun bisa jadi adalah wujud cinta dan panggilan tulus untuk perbaikan.
Niat Tak Bisa Menutupi Kekurangan Sistemik
Dalil “Innamal a‘malu binniyyat” (segala amal tergantung niatnya) adalah pilar penting dalam Islam. Tapi menggunakannya sebagai jawaban atas segala kritik terhadap layanan haji berisiko menjadi fatalisme yang membebaskan penyelenggara dari evaluasi. Ketika seorang jemaah kelelahan karena bus tak kunjung datang, atau harus tidur di tenda bocor, menyimpulkan bahwa itu karena “niatnya tak lurus” adalah sikap yang tidak adil — bahkan menyakitkan.
Kualitas pelayanan, kesiapan infrastruktur, dan profesionalisme petugas sangat menentukan pengalaman jemaah. Maka niat yang bersih memang penting, tapi tak bisa berdiri sendiri tanpa didukung sistem yang layak. Ibadah haji adalah muhasabah, benar. Tapi muhasabah tak bisa dilakukan dalam kekacauan. Ia butuh ruang yang kondusif, aman, dan manusiawi.
Kesucian Tanah Suci Harusnya Menggerakkan Pelayanan Terbaik
Justru karena Tanah Suci adalah tempat yang sakral, semua pihak — termasuk penyelenggara — harus menghadapinya dengan niat terbaik dan pelayanan terbaik. Menyederhanakan keluhan menjadi masalah niat jemaah adalah bentuk kemalasan berpikir dan penyempitan makna spiritualitas.
Kita patut bertanya: Apakah penekanan berlebih pada niat justru mengaburkan tanggung jawab penyelenggara? Jika iya, maka kita sedang membiarkan kesucian menjadi tameng, bukan pemantik perbaikan.