Ada yang ganjil ketika triliunan rupiah terdeteksi tak muncul dalam neraca keuangan perusahaan pelat merah, namun suara negara justru senyap. PT Pupuk Indonesia (Persero)—BUMN strategis yang mengurus jantung produksi pertanian nasional—disebut-sebut menyembunyikan dana Rp8,3 triliun dalam laporan keuangan tahun 2023. Dan yang paling menyakitkan: tidak ada yang tergopoh-gopoh untuk menyelidikinya.
Kasus ini bukan sekadar soal akuntansi. Ia adalah ujian serius tentang keberanian negara menegakkan hukum di tengah bayang-bayang bisnis negara. Sebab jika benar pupuk yang harusnya menyuburkan sawah malah menyuburkan korupsi, maka kerusakan kita bukan hanya soal pangan—melainkan moral bernegara.
Neraca yang Tak Bernurani
Dugaan manipulasi laporan keuangan PT Pupuk Indonesia muncul dari analisis Etos Indonesia Institute. Lembaga ini mengungkap bahwa ada potensi penyembunyian dana triliunan rupiah dalam bentuk deposito yang tidak dicatat sebagai kas dan setara kas. Nilainya tidak main-main: Rp7,27 triliun dalam satu transaksi, serta Rp15,93 triliun dalam pencairan deposito yang tak jelas rimbanya dalam laporan keuangan.
Dari luar, laporan keuangan tersebut tampak mulus. Telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan (PwC Indonesia) dengan opini wajar tanpa modifikasi. Bahkan telah melalui pengawasan OJK dan BPK. Tapi pertanyaannya, sejak kapan “opini wajar” menjadi tameng dari pertanggungjawaban publik? Apakah negara tidak merasa perlu menyigi lebih dalam, hanya karena laporan “tampak baik-baik saja”?
Ini bukan sekadar tanya teknis akuntansi. Ini soal kejujuran. Soal integritas pengelolaan uang negara. Karena uang itu bukan milik direksi, bukan milik kementerian, apalagi para komisaris. Itu adalah uang publik. Uang petani. Uang rakyat.
KPK dan Kejagung: Diam atau Tidak Mampu?
Sampai hari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru menyatakan menerima laporan masyarakat dan tengah menelaahnya. Tidak lebih. Belum penyelidikan, apalagi penyidikan. Kejaksaan Agung, yang semestinya bisa proaktif, juga belum bergerak meski Komisi III DPR telah secara terbuka mendesak pemeriksaan.
Mengapa lambat? Karena PT Pupuk Indonesia bukan sembarang entitas. Ia raksasa—dengan jaringan bisnis dari distribusi, produksi, hingga logistik. Di belakangnya ada politik. Ada jabatan. Ada keuntungan. Dan mungkin saja, ada yang sedang dilindungi.
Inilah salah satu problem klasik dalam pemberantasan korupsi kita: institusi penegak hukum terlalu berhati-hati jika menyentuh lingkar strategis kekuasaan. Mereka lebih sigap menangkap kepala desa yang salah anggaran daripada menggugat direktur BUMN yang menyembunyikan triliunan.
Ketika “Audit” Tak Lagi Sakral
Selalu ada pembelaan formal dalam setiap skandal. Dalam kasus ini, manajemen Pupuk Indonesia bersembunyi di balik kata sakti: “sudah diaudit”. Tapi kita tahu, bukan audit yang menyelamatkan negara dari korupsi, melainkan kehendak untuk jujur.
Laporan keuangan bisa disulap. Angka bisa dipoles. Neraca bisa dibungkus jargon teknis. Tapi akal sehat publik tidak bisa dibohongi. Ketika dana triliunan tak muncul dalam laporan yang katanya transparan, publik berhak bertanya: ada apa yang disembunyikan?
Jangan lupa, kasus Jiwasraya juga diawali dengan laporan keuangan yang “baik-baik saja”. Begitu pula Asabri, Garuda, dan sederet BUMN lain yang akhirnya rontok karena kebenaran disembunyikan di balik laporan tahunan yang rapi.
Pupuk, Petani, dan Pengkhianatan
Pupuk bukan sekadar komoditas bisnis. Ia adalah instrumen negara untuk menjaga harga pangan, menjamin hasil panen, dan mengamankan distribusi. Ketika PT Pupuk Indonesia diguncang dugaan penyimpangan, maka yang terdampak langsung adalah jutaan petani kecil yang bergantung pada pupuk bersubsidi.
Ingat: ini bukan uang direksi. Ini uang subsidi. Ketika ada penyimpangan dalam perusahaan pengelola pupuk, maka dampaknya merambat sampai ke sawah. Harga naik, distribusi terganggu, dan pada akhirnya, negara kehilangan kendali atas ketahanan pangan.
Jika dana Rp8,3 triliun benar disembunyikan, maka kita sedang menyaksikan bentuk pengkhianatan yang paling brutal: menggunakan instrumen kesejahteraan untuk memperkaya elite tertentu.
Di Mana Negara?
Sampai saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Presiden. Belum ada investigasi terbuka dari Kementerian BUMN. Bahkan DPR, meski sebagian telah bersuara, belum menunjukkan ketegasan politik untuk mendorong audit forensik atau panitia khusus.
Mengapa? Karena negara kita, dalam banyak kasus, kerap tidak hadir ketika korupsi terjadi di lingkar dalam kekuasaan. Yang menjadi sasaran adalah musuh politik, bukan kejahatan itu sendiri.
Padahal, negara harusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi uang publik. Dalam menjaga agar BUMN tidak menjadi bancakan. Dalam memastikan bahwa pupuk menyuburkan pangan, bukan menyuburkan rekening gelap.
Akal Sehat Publik yang Dicabik
Yang paling menyedihkan bukanlah kerugian triliunan itu. Tapi normalisasi atas penyimpangan. Ketika publik bersuara, dijawab dengan “sudah diaudit”. Ketika masyarakat curiga, dijawab dengan “sesuai PSAK”. Semua dibungkus narasi teknokratis agar rakyat diam dan percaya.
Tapi publik hari ini tidak bodoh. Mereka tahu kapan negara menyembunyikan sesuatu. Mereka bisa membedakan mana audit dan mana manipulasi. Dan mereka muak dengan pola yang terus diulang: skandal—diam—lupa.
Skandal ini harus menjadi momentum untuk menegaskan bahwa tidak ada yang kebal hukum, bahkan jika ia adalah perusahaan milik negara. Penegak hukum harus segera bertindak. Audit forensik independen harus segera dilakukan. Dan negara harus hadir—bukan sekadar membela, tapi memastikan bahwa uang rakyat tidak dibajak elite.
Jika tidak, jangan salahkan publik jika kehilangan kepercayaan. Karena ketika pupuk menyuburkan korupsi, yang tumbuh bukan pangan, tapi kehancuran.