Market

Korupsi Rangkap Jabatan, Aparat Hukum Wajib Segera Bertindak

Larangan rangkap jabatan sesuai perintah undang-undang ditengarai telah terabaikan. Banyak menteri, wakil menteri, dan pejabat teras kementerian (termasuk staf ahli dan staf khusus) mempunyai rangkap jabatan.

Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) mengatakan, pelanggaran larangan rangkap jabatan yang sudah diatur di dalam UU No 39/2008 mempunyai dua implikasi.

Pertama, mereka yang melanggar larangan rangkap jabatan seperti dimaksud Pasal 23 harus diberhentikan, sesuai perintah Pasal 24 ayat (2) huruf d: Menteri diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden karena melanggar ketentuan larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

Implikasi kedua adalah, mereka yang mempunyai rangkap jabatan berarti menerima uang (gaji, honor, atau sejenis lainnya) secara tidak sah. “Sebab, rangkap jabatan merupakan jabatan yang tidak sah, seperti dimaksud Pasal 23,” kata Anthony di Jakarta, Minggu (12/3/2023).

Sebagai konsekuensi, mereka yang mempunyai rangkap jabatan termasuk melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara terang-terangan. “Karena mereka memperkaya dirinya sendiri atas penghasilan yang tidak sah, merugikan keuangan negara dan BUMN,” ungkap dia.

Bagi pejabat yang memberi izin rangkap jabatan yang melanggar pasal 23 UU No 39/2008 juga termasuk melakukan tindak pidana korupsi, karena memperkaya orang lain dan merugikan keuangan negara.

Mereka, sambung Anthony, melakukan tindak pidana korupsi ini secara bersama-sama dan terstruktur, melalui izin rangkap jabatan.

“Penghasilan tidak sah, atau korupsi, yang diperoleh pejabat yang mempunyai rangkap jabatan yang dilarang undang-undang bisa mencapai ratusan miliar sampai triliunan rupiah per tahun,” ungkap Anthony.

Oleh karena itu, dia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung harus segera bertindak dan memeriksa potensi tindak pidana korupsi dengan modus rangkap jabatan ini.

Menteri, termasuk Wakil Menteri, dilarang mempunyai rangkap jabatan. Hal ini tertuang di dalam undang-undang No 39 tahun 2008 (UU No 39/2008) tentang Kementerian Negara.

Pasal 23 menyatakan: Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai, (a) pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (b) komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau (c) pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Pengertian larangan rangkap jabatan yang dimaksud di dalam undang-undang ini ditegaskan Anthony, seharusnya juga termasuk pejabat teras di kementerian, yaitu para eselon satu, eselon dua, staf ahli dan staff khusus menteri.

“Karena pejabat teras tersebut merupakan kepanjangan tangan dari menteri,” tuturnya.

Faktanya, Sri Mulyani, Menteri Keuangan, mempunyai 30 rangkap jabatan lainnya. Begitu juga dengan menteri lain.

Selain itu, banyak wakil menteri dan pejabat teras kementerian, yaitu eselon satu, eselon dua, staf ahli dan staf khusus menteri, mempunyai rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan negara alias BUMN. Artinya, mereka melanggar pasal 23 huruf b.

Di atas semua itu, rakyat menunggu tindakan nyata penegak hukum. “Pelanggaran sudah di depan mata, apa mau didiamkan terus, membuat Indonesia menjadi negara gagal?” imbuh Anthony seraya mempertanyakan.

Terkait rangkap jabatan, sebelumnya Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan dirinya tidak menerima gaji di luar gajinya sebagai Menkeu. Namun, ia tidak menampik bahwa dirinya mendapatkan honor di luar gajinya yang ia terima selama ini.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button