Koruptor APD COVID Layak Dihukum Mati, Hakim Pemberi Vonis Ringan Harus Disanksi


Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menyatakan kekecewaannya atas vonis hakim menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara terhadap eks Pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana, terdakwa korupsi pengadaan APD COVID-19.

“Sangat-sangat kecewa dan hakimnya layak diberi sanksi oleh Mahkamah Agung (MA), karena melanggar peraturan MA nomor 1 tahun 2020. Di mana kerugian negara di atas 100 miliar dalam perkara korupsi, maka dengan ancaman hukuman seumur hidup,” ucap Boyamin kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Minggu (8/6/2025).

“Maka Majelis Hakim yang memberikan hukuman ringan, bahkan hanya tiga tahun kepada penyelenggara negara yang melakukan korupsi, maka itu sangat mencederai rasa keadilan masyarakat dan juga mencederai pemerintahan itu sendiri, mengkhianati negara itu sendiri,” kata dia menambahkan.

Ia mendesak jaksa untuk melakukan banding, karena bila merujuk pada UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), maka dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp100 miliar, seharusnya Budi layak untuk diberikan hukuman mati.

“Kenapa? Ini dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu dalam keadaan bencana, karena ini kan Covid-19. Ini kan pengadaan yang harusnya bagus, namun justru (dibeli) dengan harga mahal, tapi belum tentu (barangnya) bagus. (Hukumannya) ini kan sebenarnya bukan layak hanya ancaman hukuman seumur hidup, tapi hukuman mati,” ungkapnya.

Boyamin menjelaskan, berdasarkan ketentuan dalam pasal 2 dan 3 terutama ditekankan dalam keadaan tertentu, termasuk bencana COVID-19 ini sehingga ancaman hukumannya adalah vonis hukuman mati.

“Jadi kalau hanya tiga tahun, itu menurut saya sangat mencederai dan sangat tidak masuk akal. Karena dia kan penguasa, pejabatnya gitu, dia harusnya tahu pengadaan barang jasa itu kan prinsipnya adalah yang memenuhi syarat dan harga murah, yang menguntungkan negara, maksudnya yang tidak mahal,” ujarnya.

Jika ajukan banding, dia berharap, nantinya hakim tinggi dapat memperberat hukuman terhadap Budi, sesuai dengan Peraturan MA.

“Dan kalau masih kasasi lagi juga, MA harus menegakkan MA itu sendiri, karena yang membuatkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020 itu kan MA sendiri, harusnya itu ditegakkan oleh hakim-hakim agung dengan cara ya menghukum seumur hidup. Dan saya minta juga kepada jaksa, selain juga mengenakan korupsi dalam pengertian yang sudah tentukan, ya harus kejar uangnya dengan pencucian uang sehingga menyita aset-asetnya,” tutur Boyamin.

Dia mendorong, hakim yang menyidangkan kasus ini harus dieksaminasi oleh MA dan Komisi Yudisial, karena tidak sesuai Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020. Jika nanti ditemukan ketidakprofesionalan dengan memberikan hukuman ringan, menurutnya, perlu dan layak diberikan sanksi etik.

“Dan kepada pemborongnya juga, meskipun dihukum 11 tahun, belum cukup bagi saya, seumur hidup gitu. Dan untuk uang pengganti itu kan belum banyak yang disita, maka ya harus segera diterapkan pencucian uang,” ucap dia.

Diketahui, Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti, menyatakan Budi bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kekuasaannya dalam proyek pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kemenkes, yang mengakibatkan kerugian negara.

“Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun,” kata Hakim Syofia saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).

Selain pidana penjara, Budi juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp100 juta. Jika tidak dibayar, denda tersebut akan digantikan dengan pidana kurungan selama dua bulan.

“Serta denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 2 bulan,” tambah hakim.

Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa hal yang memberatkan adalah Budi dinilai tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi dan telah menurunkan kepercayaan publik terhadap Kementerian Kesehatan. Sementara itu, hal yang meringankan adalah Budi bersikap sopan selama persidangan dan memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya.

Budi terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan kedua. Namun, hakim tidak menjatuhkan pidana pengganti karena Budi tidak menikmati secara langsung hasil dari tindak pidana korupsi tersebut.

Vonis yang dijatuhkan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya, jaksa menuntut Budi dengan pidana empat tahun penjara serta denda sebesar Rp200 juta. Jika tidak dibayar, denda itu akan diganti dengan kurungan selama tiga bulan.

Dalam surat dakwaan, jaksa menyebut para terdakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp319 miliar dalam proyek pengadaan APD di Kemenkes.

Nilai kerugian tersebut merujuk pada Laporan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan APD Kemenkes yang menggunakan Dana Siap Pakai (DSP) dari BNPB Tahun 2020. Laporan itu tercatat dalam dokumen Nomor PE.03.03/SR/SP-680/D5/02/2024 tanggal 8 Juli 2024.

Jaksa menyatakan para terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum dalam proses negosiasi harga pengadaan 170 ribu set APD. Namun, negosiasi tersebut dilakukan tanpa dasar surat pesanan.

“Melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak 5 juta set, menerima pinjaman uang dari BNPB kepada PT PPM dan PT EKI sebesar Rp10 miliar untuk membayarkan 170 ribu set APD tanpa ada surat pesanan dan dokumen pendukung pembayaran,” kata jaksa.

“Serta menerima pembayaran terhadap 1.010.000 set APD merek BOH0 sebesar Rp711.284.704.680 (Rp711 miliar) untuk PT PPM dan PT EKI,” tambahnya.

Jaksa juga mengungkapkan bahwa PT EKI tidak memiliki izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK). Selain itu, PT EKI dan PT PPM tidak menyerahkan bukti kewajaran harga kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kesepakatan negosiasi APD.

“Melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat, yaitu efektif, transparan, dan akuntabel yang bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1191/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan,” tegas jaksa.

Atas perbuatan tersebut, ketiga terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan pertama.