KPK Anggap Somasi Kasus CSR BI Bentuk Pengawasan


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai somasi yang dilayangkan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), yang mendesak penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI), sebagai bentuk pengawasan masyarakat.

“KPK melihat hal itu sebagai salah satu peran dari masyarakat untuk mengawasi kerja-kerja Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Anggota Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (9/5/2025).

Budi menegaskan, penyidik KPK masih mendalami alat bukti melalui pemeriksaan sejumlah saksi guna menetapkan pihak-pihak yang diduga terlibat sebagai tersangka.

Apabila alat bukti yang dikumpulkan telah dinilai cukup, KPK akan mengumumkan tersangka beserta perannya dalam perkara ini.

“KPK pada waktunya tentu akan menyampaikan secara lengkap konstruksi perkaranya dan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut,” ucapnya.

Budi juga memastikan bahwa tidak ada intervensi dari pihak luar dalam penanganan perkara ini. Menurutnya, kasus tersebut memiliki kompleksitas tersendiri sehingga diperlukan bukti yang cukup untuk membuat perkara menjadi terang.

“Ya tentu setiap penanganan perkara punya kompleksitasnya masing-masing. KPK terus mempelajari dan mendalami setiap informasi dan keterangan yang diperoleh oleh tim penyidik sehingga membuat terang penanganan perkara ini,” ujarnya.

Ia pun berharap proses penegakan hukum dalam perkara CSR Bank Indonesia dapat berjalan efektif.

“Sehingga bisa segera memberikan kepastian status hukum kepada pihak-pihak terkait dan tentunya juga dalam upaya optimalisasi asset recovery bisa dilakukan dengan optimal,” pungkasnya.

Somasi KPK

Sebelumnya diberitakan, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, mengirimkan surat somasi kepada pimpinan KPK, termasuk Setyo Budiyanto dan jajaran.

Boyamin mendesak lembaga antirasuah itu segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana CSR BI.

“Maka seharusnya KPK bisa untuk segera melakukan penetapan Tersangka dan melakukan penahanan terhadap pihak-pihak yang terlibat, agar menjadi kejelasan dan terbongkar pihak mana saja yang terlibat dalam kasus korupsi dana CSR BI,” kata Boyamin dalam surat somasi tersebut, Jumat (9/5/2025).

Ia mempertanyakan pernyataan Ketua KPK Setyo Budiyanto yang menyebut tidak ada kendala dalam penanganan perkara tersebut. Menurutnya, penyidikan kasus CSR BI berjalan lambat karena belum adanya penetapan tersangka.

“Dimana dalam proses penyidikan perkara tersebut Kami menilai proses penyidikan seakan-akan berjalan di tempat dan lamban, padahal di sisi lain Pimpinan KPK menyatakan tidak ada kendala dalam penyidikan kasus tersebut,” ucap Boyamin.

Boyamin menegaskan, somasi ini diajukan untuk memastikan bahwa KPK bekerja secara profesional dan tidak bisa diintervensi oleh pihak mana pun guna menghentikan penyidikan secara diam-diam.

Ia juga menyatakan bahwa apabila dalam waktu 14 hari KPK belum menetapkan tersangka dan melakukan penahanan, pihaknya akan mengajukan gugatan praperadilan sebagai bentuk pengawasan.

“Kami akan mengajukan gugatan pra peradilan dan menarik KPK sebagai pihak Termohon, sebagai bukti keseriusan Kami dalam mengawal penyidikan perkara ini sampai tuntas dan terdapat kepastian hukum,” ujarnya.

Dalam perkara ini, dua anggota DPR dari Komisi XI periode 2019–2024 diduga terlibat, yakni Satori (S) dari Fraksi NasDem dan Heri Gunawan alias Hergun (HG) dari Fraksi Gerindra. Keduanya telah diperiksa KPK pada Jumat (27/12/2024), namun belum ditetapkan sebagai tersangka karena penyidik masih mendalami alat bukti.

KPK sebelumnya mengungkap dugaan suap dana CSR BI yang diduga mengalir ke kantong pribadi anggota DPR RI Komisi XI, termasuk Satori dan Hergun.

Heri Gunawan dan Satori

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa dana CSR dari BI disalurkan ke sejumlah yayasan yang terafiliasi dengan oknum anggota DPR, termasuk kerabat dan keluarga dari Satori maupun Hergun. Dengan demikian, dana tersebut tidak langsung masuk ke rekening pribadi.

“Jadi begini, BI memiliki CSR. Tapi, CSR itu tidak langsung kepada orang, kepada person. CSR itu harus melalui yayasan. Harus melalui yayasan,” ujar Asep kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, dikutip Jumat (21/2/2025).

Asep mengungkapkan bahwa karena dana CSR ini diberikan kepada Komisi XI, Satori dan Hergun mendirikan yayasan sebagai perantara untuk menerima aliran dana tersebut.

“Jadi setiap orang, karena ini juga memang diberikan kepada Komisi XI, di mana Saudara S ini ada di situ, ini masih termasuk juga Saudara HG ya, itu yayasannya, jadi membuat yayasan. Kemudian melalui yayasan tersebutlah uang-uang tersebut dialirkan,” jelasnya.

Setelah dana CSR cair ke yayasan milik orang terdekat Satori dan Hergun, uang itu kemudian ditransfer kembali ke rekening pribadi mereka melalui modus nominee.

“Yang kami temukan, yang penyidik temukan selama ini adalah, ketika uang tersebut masuk ke yayasan, ke rekening yayasan, kemudian uang tersebut ditransfer balik ke rekening pribadinya, ada yang masuk ke rekening saudaranya, ada ke rekening orang yang memang nomineenya mewakili dia,” ujar Asep.

Dana tersebut lalu digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti pembelian aset properti.

“Setelah itu, dia tarik tunai, diberikan kepada orang tersebut, dan dibelikan properti, kepada yang lain-lain, menjadi milik pribadi, tidak digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial,” kata Asep.

Untuk menutupi aliran dana tersebut, pihak yayasan membuat laporan fiktif seolah-olah seluruh dana CSR digunakan untuk kegiatan sosial sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada BI.

“Tidak keseluruhannya tapi, tetap ada kegiatan sosialnya, ada, tapi itu hanya digunakan untuk kamuflase untuk laporan. Jadi dari 10 misalkan, 10 bikin rumah dikerjakan misalkan 3. Nah itu digunakan untuk laporan. Jadi tetap karena BI juga menerima meminta laporan,” jelasnya.