KPK Cegah Delapan Tersangka Pemerasan RPTKA Kemnaker ke Luar Negeri


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mencegah delapan tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) untuk bepergian ke luar negeri, terhitung sejak Rabu (4/6/2025).

“Maka pada tanggal 04 Juni 2025, KPK telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 883 Tahun 2025 tentang Larangan Bepergian Ke Luar Negeri terhadap 8 (delapan) orang berinisial SUH (PNS), HAR (PNS), WP (PNS), GW (PNS), DA (PNS), PCW (PNS), JS (PNS) dan AE (PNS) terkait dengan perkara dimaksud,” kata juru bicara KPK, Budi Prasetyo, melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis (5/6/2025).

Masa pencegahan berlaku selama enam bulan kedepan atau  hingga 4 Desember 2025, dan dapat diperpanjang kembali sesuai kebutuhan penyidikan.

Budi menjelaskan, langkah pencegahan dilakukan agar para tersangka bersikap kooperatif selama proses penyidikan, khususnya saat dilakukan pemanggilan untuk melengkapi berkas perkara.

“Tindakan larangan bepergian ke luar negeri tersebut dilakukan oleh Penyidik karena keberadaan Ybs di wilayah Indonesia dibutuhkan dalam rangka proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana tersebut di atas. Keputusan ini berlaku untuk 6 (enam) bulan,” jelasnya.

Sebelumnya, KPK telah mengumumkan identitas para tersangka beserta nilai aliran dana hasil pemerasan yang mereka terima mencapai Rp53,7 miliar:

1. Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK (2024–2025): Rp18.000.000.000
2. Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp13.900.000.000
3. Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA Direktorat PPTKA (2021–2025): Rp6.300.000.000
4. Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA (2024–2025): Rp2.300.000.000
5. Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1.800.000.000
6. Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1.100.000.000
7. Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA (2017–2019): Rp580.000.000
8. Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK (2020–2023): Rp460.000.000

Selain delapan tersangka tersebut, KPK juga mencatat adanya aliran dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA sebagai uang “dua mingguan”. Dana itu juga digunakan untuk berbagai kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama pribadi maupun keluarga para tersangka.

Konstruksi Perkara

Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kementerian Ketenagakerjaan mengungkap praktik korupsi yang berlangsung secara sistematis dan terorganisir. RPTKA merupakan dokumen penting yang wajib dimiliki oleh setiap perusahaan yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Proses penerbitannya dilakukan melalui Direktorat PPTKA yang berada di bawah Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemenaker.

Modus pemerasan dilakukan secara berjenjang oleh para tersangka. Para verifikator hanya memproses permohonan dari pihak yang sebelumnya telah memberikan sejumlah uang, sementara permohonan dari pihak yang tidak membayar diperlambat atau diabaikan. Dalam beberapa kasus, pemohon bahkan harus datang langsung ke kantor Kemnaker dan “dibantu” oleh pegawai dengan syarat menyetorkan dana ke rekening tertentu.

Pegawai Kemenaker juga mengatur jadwal wawancara Skype secara manual sebagai bagian dari proses pengajuan RPTKA. Jadwal ini hanya diberikan kepada pemohon yang bersedia membayar, sementara yang tidak, ditunda tanpa kepastian. Padahal, keterlambatan penerbitan RPTKA bisa mengakibatkan denda harian bagi perusahaan sebesar Rp1 juta.

Tersangka yang menjabat sebagai pejabat tinggi, seperti SH, HY, WP, dan DA, diduga memerintahkan verifikator seperti PCW, ALF, dan JMS untuk memungut uang dari pemohon. Dana hasil pemerasan ini kemudian dibagikan secara rutin, digunakan untuk membayar makan malam pegawai, serta dibelanjakan untuk kebutuhan pribadi. Sebanyak 85 pegawai Direktorat PPTKA pun ikut menikmati dana tersebut.

Total dana hasil pemerasan yang berhasil dihimpun diperkirakan mencapai sekurang-kurangnya Rp53,7 miliar, namun hingga kini baru Rp5,4 miliar yang dikembalikan ke negara melalui rekening penampungan KPK. Penyidik juga telah menyita sejumlah barang bukti, termasuk 13 kendaraan mewah dan dokumen dari agen pengurusan TKA. Penelusuran lebih lanjut tengah dilakukan, termasuk kemungkinan praktik pemerasan serupa yang telah terjadi sebelum tahun 2019.