Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi sekaligus Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu (kiri belakang) dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (9/7/2025).(Foto: inilah.com/ Rizki Aslendra)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan EDC (Electronic Data Capture) Android BRILink di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk untuk periode 2020–2024.
Kelima tersangka tersebut yakni mantan Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto (CBH), Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk yang juga mantan pejabat BRI Indra Utoyo (IU), SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI Dedi Sunardi (DS), Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi Elvizar (EL), dan Direktur Utama PT Bringin Inti Teknologi Rudy S. Kartadidjaja (RSK).
Penetapan tersangka dilakukan setelah KPK menemukan alat bukti permulaan yang cukup.
“Dari fakta-fakta yang telah diperoleh sebagaimana tersebut di atas, telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam Pengadaan EDC Android pada PT BRI (Persero) Tbk tahun 2020–2024 yang dilakukan secara melawan hukum,” kata Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi sekaligus Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (9/7/2025).
Para tersangka disangkakan telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. KPK mencatat, total kerugian keuangan negara mencapai Rp744.540.374.314 atau Rp744,5 miliar.
Asep menjelaskan bahwa perhitungan kerugian negara dilakukan dengan metode real cost, yaitu selisih biaya yang seharusnya dikeluarkan BRI jika pembelian dilakukan langsung kepada pihak principal tanpa perantara.
Rinciannya, kerugian negara untuk pengadaan EDC FMS (skema sewa) pada 2021–2024 sebesar Rp503.475.105.185, sedangkan kerugian untuk pengadaan BRILink (skema beli putus) tahun 2020–2024 sebesar Rp241.065.269.129.
“Sehingga total dugaan Kerugian Negara untuk Pengadaan EDC Android di BRI tahun 2020 sampai 2024, baik beli putus maupun FMS/sewa adalah sebesar Rp744.540.374.314,” jelas Asep.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Konstruksi Perkara
Kasus ini bermula sejak tahun 2019, sebelum proses pengadaan resmi dimulai. Saat itu, Elvizar—pemilik dan Direktur Utama PT Pasifik Cipta Solusi (PCS)—melakukan serangkaian pertemuan dengan Indra Utoyo (saat itu menjabat Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI) serta Catur Budi Harto (Wakil Direktur Utama BRI). Dalam pertemuan tersebut disepakati secara tertutup bahwa PT PCS dan PT Bringin Inti Teknologi (BRI IT) akan menjadi vendor pengadaan EDC Android di BRI, melangkahi proses lelang terbuka dan adil.
Sebagai bentuk pengondisian proyek, Indra Utoyo memberikan arahan kepada bawahannya agar hanya dua merek EDC Android Sunmi dan Verifone yang dilakukan Proof of Concept (POC), padahal saat itu ada vendor lain yang membawa merek seperti Nira, Ingenico, dan Pax. Proses POC dilakukan tanpa pengumuman terbuka. Selanjutnya, Term of Reference (TOR) dan spesifikasi teknis disusun sedemikian rupa agar hanya dua perusahaan tersebut yang bisa memenuhi kriteria.
Atas permintaan Elvizar, Catur Budi Harto juga mengarahkan Dedi Sunardi untuk bertemu dengan Elvizar dan Rudy Suprayudi Kartadidjaja guna memastikan TOR sesuai dengan spesifikasi produk yang telah diplot. Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) pun tidak merujuk ke harga resmi dari principal, tetapi bersumber dari harga vendor yang telah dikondisikan dan SPK pilot project yang telah diatur sebelumnya.
Dalam pelaksanaan proyek, pekerjaan Full Managed Service (FMS) yang seharusnya dijalankan oleh pemenang tender justru disubkontrakkan seluruhnya kepada pihak ketiga tanpa izin resmi dari BRI. Praktik ini makin memperbesar potensi kerugian negara.
Selain pengaturan proyek, para tersangka juga menerima keuntungan pribadi. Catur Budi Harto menerima gratifikasi berupa dua ekor kuda dan satu unit sepeda dari Elvizar senilai Rp525 juta. Dedi Sunardi menerima sepeda mewah merk Cannondale senilai Rp60 juta. Sementara Rudy Suprayudi Kartadidjaja menerima fee sebesar Rp5.000 per unit per bulan dari PT Verifone Indonesia, yang totalnya mencapai Rp10,9 miliar. Rudy juga tercatat menerima uang dari Irni Palar dan Teddy Riyanto senilai Rp19,72 miliar atas proyek BRILink dan FMS.
Rangkaian kejahatan korupsi ini menimbulkan kerugian negara sebesar lebih dari Rp744 miliar dan telah menyeret lima tersangka yang kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.