Market

Krisis Keuangan dan Target Ekonomi 2023 Bikin Sri Mulyani Sulit Tidur Nyenyak

Baru sehari Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluhkan krisis keuangan mengancam dunia. Tak hati-hati bisa menjalar ke Indonesia. Tahun depan, dia mendapat tugas berat, ekonomi harus tumbuh 5,9 persen. Berat.

Ketua Komisi XI DPR, Kahar Muzakir mengatakan, DPR menyetujui asumsi dasar makroekonomi yang tersemat dalam Rancanangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023. Termasuk pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,3 sampai 5,9 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Adapun inflasi disetujui berkisar 2 sampai 4 persen, nilai tukar rupiah Rp14.300-Rp14.800, dan tingkat suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun disepakati sekitar 7,34 – 9,16 persen. “Tidak ada perubahan sesuai usul pemerintah. Untuk itu saya ketuk,” katanya dalam rapat kerja Komisi XI DPR bersama pemerintah, Jakarta, Rabu (8/6/2022).

Untuk tingkat pengangguran, ditargetkan 5,3 – 6 persen, kemiskinan 7,5 – 8,5 persen, dan rasio gini berada di rentang 0,375 hingga 0,378. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diperkirakan berkisar 73,31 hingga 73,49, Nilai Tukar Petani (NTP) ditarget sekitar 105 sampai 107, dan Nilai Tukar Nelayan (NTN) sebesar 107 sampai 108.

Saat rapat dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Selasa (7/6/2022), Menkeu Sri Mulyani mengkhawatirkan lesunya perekonomian dunia melahirkan krisis keuangan. Untuk itu, Indonesia perlu hati-hati.

“Sekarang kita harus hati-hati dengan tren suku bunga naik, potensi krisis keuangan di berbagai dunia mungkin akan terjadi,” tegas Sri Mulyani.

Tren peningkatan suku bunga sudah mulai terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Dimulai dari Amerika Serikat (AS) yang secara agresif menaikkan suku bunga sejak Maret 2022 dan terus berlanjut hingga tahun depan.

Kenaikan suku bunga dibutuhkan untuk meredam lonjakan inflasi akibat kenaikan harga komoditas pangan dan energi yang diperburuk oleh perang Rusia dan Ukraina. Kawasan Eropa serta Amerika Latin ikut merespons dengan hal serupa.

Kebijakan tersebut juga penting bagi negara berkembang untuk mengamankan nilai tukar agar tidak jatuh. Hal ini dianggap mampu menyeimbangkan kenaikan yield US Treasury, sehingga aliran modal tidak terlalu deras keluar. “Emerging market akan bergerak lebih cepat karena tidak mungkin behind the curve,” jelasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button