Market

Krisis Moneter dan Ekonomi Semakin Dekat

Minggu, 20 Nov 2022 – 07:51 WIB

Resesi Global Pecah di Kuartal IV-2022, Kondisi Indonesia Berbeda - inilah.com

(Foto: iStockphoto.com)

Suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, the Fed, sudah naik dari 0 persen menjadi 4 persen. Tujuannya, untuk mengendalikan inflasi yang sangat tinggi. Sayangnya, kenaikan suku bunga the Fed sejauh ini masih belum dapat mengatasi inflasi sesuai harapan.

Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) mengatakan, inflasi Oktober 2022 masih cukup tinggi yaitu 7,7 persen. Meskipun turun dibandingkan inflasi September 2022 yang sebesar 8,2 persen, inflasi Oktober ini masih terbilang cukup tinggi.

“Itu masih jauh lebih tinggi dari target inflasi the Fed sebesar 2 persen. Selain itu, inflasi bulanan pada Oktober 2022 masih naik 0,4 persen dibandingkan bulan sebelumnya,” katanya di Jakarta, akhir pekan ini.

Karena itu, ia memperkirakan the Fed masih akan menaikkan suku bunga pada rapat dewan gubernur (FOMC) bulan Desember yang akan datang, menjadi antara 4,50 persen hingga 4,75 persen.

“Kenaikan suku bunga the Fed harus diikuti oleh kenaikan suku bunga bank sentral negara-negara lainnya. Kalau tidak, dolar akan hengkang, kurs terdepresiasi. Ini terjadi dengan rupiah. Bank Indonesia terlambat merespons kenaikan suku bunga the Fed sehingga kurs anjlok, dan cadangan devisa terkuras,” timpal dia.

Suku bunga acuan Bank Indonesia hanya naik menjadi 5,25 persen. Kenaikan ini dinilainya agak terlambat. Di samping juga tidak cukup tinggi sehingga selisih bunga acuan antara Bank Indonesia dengan the Fed terbilang sangat kecil, memicu dolar keluar dari Indonesia.

“Bank Indonesia sepertinya tidak mempunyai pilihan lain lagi, kecuali juga menaikkan suku bunga acuan pada bulan depan, menjadi antara 5,75 persen atau 6,00 persen,” tuturnya.

Kenaikan suku bunga Bank Indonesia membuat suku bunga kredit juga ikut naik, kemungkinan akan menjadi lebih dari 10 persen. Semua ini akan menekan aktivitas ekonomi. Konsumsi dan investasi akan melemah.

Anjloknya kurs rupiah membuat harga barang-barang import menjadi lebih mahal, memicu inflasi, mengurangi daya beli dan konsumsi masyarakat, dan menekan aktivitas ekonomi.

“Ini baru tahap awal, puteran pertama,” tukas Anthony.

Selanjutnya, kenaikan suku bunga the Fed pada saatnya akan berhasil mengendalikan inflasi. Artinya harga komoditas akan turun. Hal ini membuat pertama, defisit neraca transaksi internasional, yaitu neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan, akan semakin besar sehingga menekan kurs rupiah.

Kedua, sambung dia, penerimaan negara akan anjlok, yang pada gilirannya bisa memicu krisis keuangan negara (fiskal).

Terakhir, arus defisit transaksi internasional akan dibarengi dengan defisit transaksi finansial dari investor portfolio yang hengkang, akan menambah tekanan terhadap kurs rupiah semakin berat, dan bisa semakin terpuruk.

Keluarnya investor portfolio bisa memicu gagal bayar utang luar negeri swasta dan BUMN. “Kalau ini berlanjut semakin banyak kasus gagal bayar, maka niscaya bayang-bayang krisis moneter bisa menjadi kenyataan lagi,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button