Nilai tukar rupiah Indonesia diperdagangkan pada rekor terendah terhadap dolar AS di tengah kekhawatiran atas kebijakan Presiden Prabowo Subianto. Pelemahan rupiah juga mengingatkan pada krisis keuangan Asia tahun 1997-1998. Fenomena ini ikut menjadi sorotan media asing.
Rupiah terus mengalami tekanan oleh ketidakpastian pasar yang berasal dari pemberlakuan tarif bea masuk besar-besaran dari Presiden AS Donald Trump. Namun sebenarnya kemerosotan mata uang tersebut sudah dimulai beberapa minggu sebelum pengumuman “Hari Pembebasan” dari Trump tersebut.
Al Jazeera, media yang banyak mengungkap peristiwa di Timur Tengah dan berbasis di Qatar ini menyoroti tentang terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. “Sejak pelantikan Presiden Indonesia Prabowo Subianto Oktober tahun lalu, nilai tukar rupiah telah merosot sekitar 8 persen terhadap dolar di tengah kekhawatiran mengenai kepemimpinan mantan jenderal tersebut terhadap ekonomi terbesar dan negara berpenduduk terpadat di Asia Tenggara,” tulis Al Jazeera.
Anjloknya nilai tukar rupiah mengingatkan jatuhnya mata uang pada 1998 sehingga menyebabkan krisis keuangan yang turut mengakhiri tiga dekade pemerintahan otoriter Presiden Soeharto.
Kapan Pelemahan itu Dimulai?
Nilai tukar rupiah terus merosot sejak sebelum Prabowo menjabat, mencapai titik terendah sepanjang masa di angka 16.850 pada Selasa (9/4/2025). Meskipun rupiah telah mengalami pasang surut selama 28 tahun terakhir – termasuk selama pandemi COVID-19 – penurunannya di bawah ambang batas 1998.
“Secara psikologis penting bagi masyarakat Indonesia karena peran mata uang tersebut dalam penggulingan Soeharto,” kata Hal Hill, seorang profesor emeritus ekonomi Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia (ANU).
“Jika nilai tukar rupiah Indonesia merosot cukup dalam, orang-orang akan mulai gelisah dan berpikir hal itu akan terulang kembali seperti krisis sebelumnya,” tutur Hill kepada Al Jazeera.
Apa yang menjadi pendorong penurunan tersebut? Mata uang terdepresiasi karena beberapa alasan, termasuk ketidakpastian politik, inflasi, ketidakseimbangan perdagangan dengan negara lain, dan spekulasi oleh investor.
Dalam kasus Indonesia, kebijakan Prabowo – termasuk program makan siang gratis senilai US$30 miliar, rencana untuk melemahkan independensi bank sentral, dan pembatasan terhadap perusahaan asing seperti Apple – telah mengguncang kepercayaan investor terhadap perekonomian.
“Ini semua tentang meningkatnya ketidakpastian dan penurunan signifikan dalam kepercayaan pasar,” kata Arianto Patunru, seorang ekonom dan peneliti di ANU Indonesia Project, mengatakan kepada Al Jazeera.
Pendirian dana kekayaan negara Danantara oleh Prabowo dengan menggunakan dana pemerintah sebesar $20 miliar, dan dorongannya untuk mengizinkan anggota militer menduduki lebih banyak jabatan sipil merupakan sebuah langkah yang menurut para kritikus mengingatkan pada pemerintahan diktator Soeharto.
Bulan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang secara luas diakui atas perannya dalam mengarahkan Indonesia melewati krisis keuangan global 2007-2009, sempat menepis rumor bahwa ia berencana mengundurkan diri di tengah gejolak di pasar keuangan dan mata uang.
Di samping tantangan dalam negerinya, Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, pada saat yang sama tengah bergulat dengan pukulan ganda berupa perlambatan ekonomi China dan dampak perang dagang Trump yang meningkat. Dalam pengumuman “Hari Pembebasan” pekan lalu, Trump mengumumkan tarif sebesar 32 persen terhadap impor dari Indonesia.
Bagaimana Situasi Perekonomian Indonesia?
Masih menurut laporan Al Jazeera itu, Indonesia, negara berpenghasilan menengah dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita sebesar $4.960 pada tahun 2024, telah menyaksikan pertumbuhan ekonomi yang solid dalam beberapa tahun terakhir. PDB naik lebih dari 5 persen tahun lalu, setelah ekspansi serupa pada tahun 2023 dan 2023.
Tetapi angka-angka utama tersebut tidak menggambarkan kemerosotan nyata dalam taraf hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Jumlah orang Indonesia yang diklasifikasikan sebagai kelas menengah oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan pengeluaran bulanan antara Rp2 juta ($118) dan Rp9,9 juta ($585), turun dari 57,3 juta pada 2019 menjadi 47,8 juta tahun lalu. Penurunan ini disebabkan oleh faktor-faktor termasuk inflasi yang lebih tinggi dan efek COVID-19 yang masih ada.
Pada bulan Maret, mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri menggambarkan kelas menengah negara ini sebagai populasi yang tertekan secara ekonomi dengan daya beli yang melemah dan tabungan yang terbatas.
“Indonesia sedang berada dalam periode yang paling menantang dan sulit sejak krisis keuangan Asia 1997-1998 dan ada alasan domestik dan internasional untuk itu,” kata Hill dari ANU.
“Alasan domestik adalah presiden baru. Komunitas bisnis masih berusaha mencari tahu ke mana ia ingin melangkah dan mengelola situasi fiskal, dan itu dikombinasikan dengan lingkungan eksternal.”
Achmad Sukarsono, seorang analis di firma konsultan Control Risks di Singapura, kepada Al Jazeera mengatakan tantangan ekonomi negara ini memunculkan pertanyaan tentang prioritas Prabowo. “Ketika pemerintah seharusnya lebih fokus pada faktor-faktor yang menyebabkan menyusutnya kelas menengah saat ini, pemerintah justru lebih sibuk dengan program-program yang tidak mengatasi penurunan daya beli dan gelombang PHK di tengah memburuknya kondisi sektor manufaktur padat karya,” kata Sukarsono.