News

Mengagumi Al-Quran, Thomas Jefferson Pun Mencoba ‘Membuat’ Injil

Pada tahun 1765, 11 tahun menjelang Deklarasi Kemerdekaan AS, Thomas Jefferson membeli Alquran. Sejak itu, konon, ia secara intensif mempelajari Islam, sesuatu yang kala itu dinilai menghina keimanannya yang Protestan. Di sisi lain Jefferson pun mempelajari Bibel, bahkan mencoba membangun alkitab itu sesuai idenya.

Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat, tentu saja bukan seorang ateis, meski dalam pemikiran dan sikapnya kadang dianggap cenderung seperti itu. Ia bahkan tak pernah menyebut dirinya seperti itu.

Kita sering membaca betapa Jefferson seringkali menyebut, bahkan menyitir Alquran selama masa-masa ia berkiprah untuk Amerika Serikat. Yang public ketahui, pada tahun 1765, 11 tahun menjelang Deklarasi Kemerdekaan AS, Thomas Jefferson membeli Alquran. Sejak itu, konon, ia secara intensif mempelajari Islam, sesuatu yang kala itu dinilai menghina keimanannya yang Protestan.

Tapi sejak awal publik melihatnya berpemikiran sangat bebas. Pendulum pemikirannya berayun begitu jauh hingga mungkin wajar bila orang menganggapnya begitu. “Saya harap dia bukan seorang yang tak percaya (unbeliever) seperti yang seolah ia wakili,”kata Joseph Priestley, seorang pendeta Nonkonformis dan ahli kimia Inggris, setelah Jefferson datang dan mendengar ceramahnya di Philadelphia pada 1797.

Selintas, orang banyak mungkin akan mencium sangitnya sikap ‘durhaka’ Jefferson laiknya bau belerang. Ketika ia dengan gempita melawan para Federalis pada tahun 1798, sekian banyak rumors pun bermunculan. “Alkitab akan dilemparkan ke dalam api unggun, penyembahan suci kita akan berubah menjadi tarian kegilaan Jacobin. Para istri dan anak perempuan kita tak akan mendapatkan tempat terhormat, sedangkan para putra kita akan diubah menjadi murid Voltaire dan Marat Si Naga,” demikian rumos itu. (Jean Paul Marat adalah salah seorang wartawan, politisi dan pemimpin kaum Jacobin yang radikal dalam Revolusi Prancis—redaksi).

Dua tahun kemudian, ketika berita kemenangan Jefferson di Pilpres AS menyebar, tersebar laporan bahwa seorang ibu rumah tangga yang saleh di New England mengubur Alkitab keluarga mereka atau menyembunyikannya di sumur, ketakutan akan ada razia Alkitab dari pemerintah baru.

Tidak pernah ada ‘serangan’, ‘razia, atau apapun bentuknya terhadap perilaku keberagamaan warga AS. Yang ‘diserang’ Jefferson hanya satu salinan Alkitab yang dimilikinya sendiri. Bukan dengan api untuk membakarnya, melainkan hanya dengan pisau silet. Itu pun tidak merupakan tindakan penodaan, melainkan semacam sikap nyeleneh, mungkin sedikit gila. Dia melakukan pemotongan dan penempelan (cut and pasted), mengedit dan menyuntingnya secara redaksional. Dia menyebut teks yang dihasilkannya dari mengumpulkan ayat-ayat pilihannya dari Perjanjian Baru dengan cara itu, sebagai “Kehidupan dan Moral Yesus dari Nazaret” (The Life and Morals of Jesus of Nazareth). Publik kemudian mengenalnya sebagai “Injil Jefferson” (Jefferson Bible).

Injil tambal sulam itu mendapatkan komentar Peter Manseau secara fasih dan instruktif dalam “The Jefferson Bible: A Biography”, bukunya yang diterbitkan untuk memperingati 200 tahun Injil tersebut, 2020 lalu. Jefferson sendiri menyelesaikan “Injil’’-nya itu pada 1820, setelah bertahun-tahun memotong, menggunting, menempel dan mengedit. Manseau, kurator sejarah agama Amerika di National Museum of American History, dengan hati-hati menelusuri perjalanan ‘ziarah’ hidup Jefferson: dari Anglikanisme di mana ia dibesarkan, melalui uraian John Locke dan Issac Newton, serta polemik kaum kafir dari Henry Saint John, Viscount Bolingbroke, ke titik di mana dia menulis surat untuk keponakan pada tahun 1787.

“Pertanyakan dengan berani bahkan soal keberadaan Tuhan; karena, jika ada, dia harus lebih menyetujui penghormatan akal, daripada ketakutan yang menutup kedua mata,” tulisnya memberi keponakannya itu keberanian untuk menjalani pencarian kebenaran.

Pada Injil yang dibuatnya itu, yang setiap item ia sebutkan sebagai ‘sila’—precepts—Jefferson lebih memilih Yesus sebagai sang ahli etika, Yesus sang filsuf. Yesus sang penulis “kode moral paling luhur dan baik yang pernah ditawarkan kepada manusia.” Pada sisi Yesus seperti itulah, Jefferson benar-benar seorang fans fanatik. Ia terkesan kurang bersetuju dengan penggambaran Yesus sang pencipta penuh debu, serta anak Tuhan. Jefferson menghargai Yesus karena –menurut dia, dirinya menghargai Socrates dan “master kita semua, Epicurus” —sebagai pikiran yang indah.

Sementara menurutnya, Matius, Markus, Lukas, Yohanes, tak lebih dari para pengacau yang meraba-raba cerita, yang “sering lupa, atau tidak memahami, apa yang telah jatuh darinya… memberikan kesalahpahaman mereka sendiri sebagai dikta, dan mengungkapkan secara tidak dapat dipahami bagi orang lain apa yang mereka sendiri tidak mengerti.”

Baginya, itu seolah menggali keluar “The Real Jesus” dari apa yang dia sebut “sampah penulis biografinya”. Ia seolah kurang simpati dengan persoalan berjalan di atas air, pengusiran setan, penumpangan tangan, teleportasi, klaim keilahian, kebangkitan, dll.

“Memisahkan bagian-bagian itu semudah itu,” tulis Jefferson kepada John Adams pada tahun 1814, “seperti mengambil berlian dari dunghills.”

Meski itu dilakukan sebagai hobby di masa tuanya setelah pensiun di Monticello, Manseau menegaskan bahwa “Kehidupan dan Moral Yesus dari Nazareth” secara artistik cukup radikal seperti halnya secara teologis: “Kaum Dadaist mungkin telah mengenalinya sebagai découpé. Seandainya itu datang dari meja William Burroughs satu generasi kemudian, itu akan disebut cut-up. Saat ini, analog yang paling tepat untuk pencapaian Jefferson mungkin adalah pengambilan sampel music,”tulis Manseau.

Dalam penelitian Manseau, Markus adalah penginjil yang paling jarang dia gunakan (31 kutipan, dibandingkan dengan 90 dari Injil menurut Matius). Injil Yohanes ditampilkan sedikit lebih banyak (33 kali).

Injil Jefferson diakhiri dengan Yesus pas di dalam kubur, mulut gua tertutup rapat, tertelan oleh batu yang tidak boleh dipindahkan. Tidak ada kata-kata lagi. Kebangkitan ditutup.

Jefferson yang sudah berambut putih menyimpan Injilnya untuk dirinya sendiri dan lingkungan intelektual terdekatnya, mungkin mengindahkan kekhawatiran teman-teman seperti Pendeta Charles Clay, yang menulis kepadanya pada tahun 1814, yang swebaiknya memang tidak saya terjemahkan: “My fears are … that your Name will be degraded from the Venerable Council of true, genuine, Useful Philosophy; & Condemned to be Ranked with the wild Sophisters of Jacobinism the Theosophies of Masonry, With Martinists, Swedenborgers, & Rosecrusians, with the Epopts & Magi of Illuminism &c.”

Hal itu memang tidak terjadi. Meskipun warisannya ambigu, tidak ada yang mengklasifikasikan Jefferson dengan epopts Illuminisme. Pada tahun 1895, buku besar merah besar tempat dia menempelkan potongan kitab sucinya berada di Museum Nasional Amerika Serikat. Setelah tindakan Kongres pada tahun 1904, setiap anggota baru dari kedua majelis diberikan salinan Jefferson Bible cetakan pemerintah, sebuah praktik yang akan berlanjut selama setengah abad.

Perwakilan John Fletcher Lacey, yang mengajukan rancangan undang-undang tersebut, menyebut Injil itu sebagai “Konsolidasi dari ajaran-ajaran Juru Selamat yang indah dan murni dalam bentuk yang kompak, bercampur dengan narasi yang begitu banyak seperti yang menurut pengacara Virginia dapat dipercaya sebagai fakta harian.”

Menurut James Parker yang menulis soal ini di The Atlantic pada hari-hari peringatan 200 tahun Injil ini, 2020, dengan disinformasi yang begitu hiruk pihuk saat ini, kita membutuhkan Injil Jefferson lebih dari sebelumnya.

“Ia adalah demonstrasi teladan rasionalisme dan otonomi intelektual. Dengan tenang orang bijak itu membungkuk di atas teks; dengan tenang dia mencopot apa yang tidak masuk akal. Tapi teks seperti ini menghasilkan anti-teksnya sendiri, datang dari segala sesuatu yang ditinggalkan: Injil Jefferson dalam sisi negative.”

“Penyensoran, bagaimanapun adalah penyensoran. Sama saja: yang tertindas, yang dihapus, tidak akan dengan mudah hilang dan dilupakan. Secara pribadi, bukan Thomas Jefferson, yang saya butuhkan adalah Yesus dan mukjizat-Nya, dan sifat ilahi-Nya. Saya membutuhkan gema surgawi yang mereka berikan pada kata-katanya. Misteri, keajaiban, kebingungan — itulah intinya. Seperti ragi yang membuat roti, seperti harta karun yang terkubur di ladang.” [ ]

*Petikan bebas dari tulisan James Parker di The Atlantic

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button